Kisah tentang cinta yang terjebak dalam tubuh yang berbeda setiap malam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rendy Purnama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Cahaya di Tengah Kegelapan
Setelah pengakuan yang mengungkapkan luka terdalam Arya, aku bisa merasakan ada perubahan dalam dirinya. Meski ia masih membawa beban rahasia masa lalunya, langkahnya terasa lebih ringan, dan senyumnya mulai tampak lebih tulus. Tapi di balik ketenangan itu, aku tahu proses penerimaan diri Arya masih panjang, dan aku ingin selalu ada di sisinya, menjadi tempatnya bersandar.
Beberapa hari kemudian, Arya memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih berani. Ia ingin bertemu dengan ayahnya untuk mencari kejelasan tentang masa lalunya. Baginya, pertemuan ini bukan untuk mencari kesalahan, tapi untuk memahami cerita yang selama ini tersembunyi. Ia ingin menutup babak penuh kebimbangan dalam hidupnya dan membuka lembaran baru tanpa beban.
Di hari yang ditentukan, Arya meminta aku menemaninya. Meski ia merasa siap, aku bisa melihat betapa gugupnya ia menghadapi pertemuan yang mungkin akan mengubah pandangannya terhadap ayahnya selamanya. Kami berangkat bersama ke rumah ayahnya, yang kini terasa seperti tempat penuh kenangan yang sekaligus menyakitkan.
---
Saat kami sampai, ayah Arya tampak terkejut melihat kami berdiri di depan pintu. Ia menyambut kami dengan ramah, meski aku bisa merasakan kebingungan di balik senyumnya. Kami duduk di ruang tamu, dan hening yang tidak nyaman menyelimuti ruangan. Akhirnya, Arya memulai percakapan dengan suara pelan namun tegas.
"Ayah, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan. Selama ini, aku selalu merasa ada yang salah, ada sesuatu yang tidak pernah aku pahami sepenuhnya," Arya berhenti sejenak, mengumpulkan keberanian. "Apakah benar bahwa aku bukan anak kandung ayah?"
Ayah Arya terdiam, terkejut dengan pertanyaan yang begitu langsung. Ekspresi wajahnya berubah, campuran antara kesedihan dan ketidakberdayaan. Ia menunduk, tampak berpikir keras, sebelum akhirnya mengangguk pelan.
"Iya, Arya. Kamu benar," jawabnya dengan suara bergetar. "Kamu bukan anak kandung ayah, tapi kamu adalah anak yang ayah pilih untuk cintai dan besarkan dengan sepenuh hati."
---
Air mata mulai mengalir di pipi Arya. Meski kebenaran ini sudah ia duga, mendengarnya langsung dari mulut ayahnya membuatnya merasa lega dan terluka pada saat yang sama. Ayah Arya melanjutkan ceritanya, bercerita tentang masa lalu yang penuh dengan keputusan sulit dan perasaan yang rumit.
"Dulu, ketika aku bertemu dengan ibumu, ia sudah mengandungmu. Aku tahu itu sejak awal, tapi aku mencintai ibumu dan menerima kehadiranmu sebagai anugerah. Aku menganggapmu sebagai anak kandungku sendiri, dan aku tidak pernah merasa ada perbedaan di antara kita," ucap ayahnya sambil menggenggam tangan Arya. "Namun, setelah ibumu pergi, aku merasa sulit untuk mengisi kekosongan dalam dirimu. Aku tahu kamu merasakan hal itu, dan aku menyesal karena tidak mampu memberikan yang terbaik."
Arya terdiam, mencerna setiap kata yang diucapkan ayahnya. Ia bisa merasakan ketulusan dalam penjelasan itu, dan untuk pertama kalinya, ia melihat sisi rapuh dari seorang pria yang selama ini dianggapnya sebagai sosok yang tegar.
---
"Ayah, aku hanya ingin tahu satu hal lagi," kata Arya, suaranya bergetar. "Mengapa ayah tidak pernah mengatakan yang sebenarnya? Mengapa aku harus tahu dari percakapan yang tak sengaja aku dengar?"
Ayah Arya terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab dengan penuh penyesalan. "Karena aku takut, Arya. Aku takut kamu akan merasa terluka, merasa tidak diterima, atau merasa tidak diinginkan. Aku takut kehilanganmu. Sejak ibumu pergi, kamu adalah satu-satunya yang tersisa, dan aku tidak ingin melihatmu menderita karena kenyataan ini."
Air mata Arya mengalir lebih deras, tapi kali ini bukan karena kesedihan semata, melainkan campuran antara lega, haru, dan pemahaman. Ia menyadari bahwa di balik kebohongan ini, ada niat baik dari ayahnya, niat untuk melindungi hatinya dari luka yang mungkin ia tak sanggup hadapi saat itu.
---
Setelah momen penuh kejujuran itu, hubungan antara Arya dan ayahnya perlahan mulai pulih. Meski luka di hati Arya belum sepenuhnya sembuh, ia mulai memahami bahwa cinta bisa hadir dalam bentuk yang berbeda. Cinta tidak selalu hadir dalam hubungan darah, tapi juga dalam ketulusan dan pengorbanan yang tidak terlihat.
Aku, yang menyaksikan pertemuan itu dari awal hingga akhir, merasa lega. Arya kini memiliki jawaban yang ia cari selama ini, dan aku melihat ketenangan yang perlahan kembali ke dalam dirinya. Dalam perjalanan pulang, kami berjalan beriringan tanpa banyak bicara, membiarkan perasaan yang mengalir tanpa perlu diucapkan.
Malam itu, Arya menghubungiku dan mengucapkan terima kasih. "Terima kasih sudah ada di sisiku. Kamu adalah cahaya di tengah kegelapan yang aku rasakan," katanya dengan suara lembut.
Aku hanya tersenyum, merasa bahagia karena bisa menjadi bagian dari proses penyembuhan Arya. Meski masih banyak perjalanan yang harus ia tempuh, aku berjanji untuk tetap berada di sisinya, menjadi pendukung yang setia.
---
Bab ini menandai akhir dari pencarian Arya akan kebenaran tentang dirinya, sekaligus awal dari perjalanan baru menuju penerimaan dan cinta yang lebih dalam. Ia kini mengerti bahwa meski hidupnya penuh dengan rahasia dan kesulitan, ada banyak orang yang mencintainya dan mendukungnya tanpa syarat. Dan dalam proses itu, aku berharap cinta di antara kami akan semakin tumbuh, menjadi kekuatan yang akan membantu kami melewati segala rintangan di masa depan.