Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kisah Singkat di Perpustakaan
Perpustakaan memang bukanlah tempat yang disukai oleh penghuni kampus, kecuali bila mereka tipikal kutu buku atau sang ambisius dan juga para senior yang ingin lulus dengan cum claude. Alasan mengapa tempat ini menjadi urutan terakhir di hari-hari biasa adalah karena suasananya yang membosankan dan sunyi senyap lantaran setiap orang sibuk dengan isi kepala masing-masing. Tempat yang menyiksa bagi sang ekstrovert akut karena mereka harus menahan suara mereka bila mereka menginjakan kaki di dalam perpustakaan. Ya, itu adalah alasan paling masuk akal mengapa perpustakaan selalu kosong di hari biasa (di luar hari ujian) dan letaknya yang juga tidak terlalu sering dilewati oleh para mahasiswa sebab ada di ujung koridor lantai dua, bangunan paling pojok di kampus. Namun, apapun alasannya yang jelas itu menjadi keuntungan bagi Edzhar, karena tempat itu bisa sedikit membantunya untuk menyepi. Setidaknya dia bisa menghindar sementara dari para gadis-gadis berisik yang mengelilinginya seperti lalat ketika dia berada di luar kelas maupun di dalam kelas.
Diantara sunyi yang Edzhar nikmati, ponselnya bergetar. Edzhar mengeluarkan benda itu dari saku celana yang dia kenakan. Nama Bu Rowenna terpampang di layar. Sejak Edzhar memberikan nomor ponselnya pada wanita yang adalah dosennya itu Edzhar jadi sering mendapatkan panggilan tidak jelas darinya. Tadinya Edzhar berpikir dengan bertukar nomor ponsel dengan sang dosen akan mempermudah komunikasi dan juga berkonsultasi dengannya tetapi diluar dugaan pemikirannya malah terlalu jauh. Bu Rowenna entah bagaimana sedikit agak mengganggunya.
Edzhar meletakan kembali ponsel tersebut di meja perpustakaan dan mengganti mode getaran menjadi mode sunyi. Dia tidak punya niat untuk meladeni wanita itu sama sekali, karena interaksinya dengan Bu Rowenna selalu lebih banyak diisi dengan hal-hal yang menyusahkan. Sejak insiden dia membantu wanita itu membawakan belanjaannya, Bu Rowenna terkesan menganggap hubungan diantara mereka jadi tidak lagi seperti mahasiswa dan dosen lagi. Edzhar berharap kalau itu hanya pemikiran liarnya saja, tetapi bagaimana pun juga dia punya rasa dan cukup peka atas hal itu.
Selain karena tidak enak dengan teman-teman yang lain, interaksi yang terlalu berlebihan dan melihat status mereka saja membuat Edzhar tidak nyaman. Dia akan sangat berterima kasih dan bersyukur bila kebaikan Bu Rowenna tidak memiliki maksud terselubung dan murni membantunya sebagai dosen. Akan tetapi kebanyakan wanita itu kadang nyeleneh.
“Sudah kuduga kau ada disini,” suara seorang perempuan membuat Edzhar menolehkan kepala. Dia nyaris tidak sadar akan kehadiran seseorang disisinya, tetapi begitu menyadari siapa yang duduk di bangku sebelahnya. Seketika senyum Edzhar terbit. Dizza, si gadis ceriwis yang telah berteman dengannya.
“Memangnya di mana lagi aku kalau bukan disini?” sahut pria itu dengan suara rendah.
Kenapa pula gadis ini selalu membuatnya mendadak agak gugup ketika berada di dekatnya? Padahal dia tidak melakukan sesuatu yang mencolok dan hanya bersikap biasa saja.
“Mungkin berada di kantin, makan siang bersama para pemujamu. Terutama si ratu lebah, Daneth,” sahut Dizza memberinya opsi alternatif.
Edzhar mendengus. Dari sekian banyak hal yang bisa dibicarakan kenapa pula gadis itu malah mengingatkannya terhadap para gadis berisik super energik yang selalu mengelilingnya itu?
Tak lama dia melirik untuk sekadar mengintip buku yang terbuka di atas meja. “Apa yang sedang kau baca?”
Edzhar hanya memandang pada gadis itu. “Coba tebak?”
“Aku tidak pandai menebak soal judul buku, kau tahu sendiri kalau aku tidak suka membaca sepertimu. Aku harap aku bisa betah membaca sepertimu, tapi kalau aku lakukan aku hanya akan berakhir tidur disini sampai pagi,” timpal Dizza.
“Aku bisa menenamimu disini,” celetuk Edzhar yang kontan langsung menimbulkan kerutan bingung di wajah gadis itu. Oh tidak, apakah dia baru saja mengatakan sesuatu yang salah?
“Harusnya kau bangunkan aku dong, bukan malah menemani,” balas gadis itu.
Edzhar tersenyum. “Aku tidak akan tega membangunkanmu.”
“Kau pembohong ulung,” jawabnya seraya bangkit dari kursi dan mendekati jendela. “Tapi kata-kata barusan cukup ampuh untuk merayu perempuan lho,” dia terkikik sendiri, Edzhar rasa dia baru saja membuat ekspresi tercengang tanpa dia sadari atas celetukan si gadis. Dan setelahnya kembali obrolan berlalu seputaran pembahasan soal dirinya dan para mahasiswi yang menurut Dizza mengidolakannya.
“Hei, jendelanya kubuka ya? mumpung tidak ada siapa-siapa disini,” ujarnya. Edzhar mengangguk setuju, lagipula ruangan perpustakaan yang luas dan penuh dengan rak buku tinggi mendadak jadi terasa pengap sejak kehadiran Dizza di sekitarnya, atau mungkin ini karena dirinya saja yang lebay sampai tidak bisa bernapas dengan benar jika berada di dekat Dizza?
Letak perpustakaan yang ada di lantai dua, membuat angin yang berhembus masuk ke ruangan jadi lebih kencang. Akibatnya rambut hitam Dizza yang panjang sebahu melayang mengikuti arah angin yang masuk. Dan dia … cantik. Wajah tenang wanita itu memberikan kesan damai di hati Edzhar secara otomatis. Inikah salah satu hal yang membuat Edzhar diam-diam menyimpan rasa pada Dizza? Karena sikap wanita itu jadi sedikit lebih kalem dan tenang saat hanya berdua saja dengannya? Wajahnya seketika memanas menyadari seberapa banyak khayalnya saat ini.
Gara-gara pemikirannya yang terlalu jauh, sekarang Edzhar jadi mati kutu. Dia jadi gugup sendiri dan salah tingkah.
“Kenapa?” kata gadis itu yang tiba-tiba saja sudah mendekat padanya. Kejadiannya begitu cepat dan itu sukses membuat jantungnya nyaris copot.
“A—apa?”
“Kenapa malah balik bertanya? Kan barusan aku yang bertanya. Kenapa kau tiba-tiba diam saja?” tanya gadis itu khawatir. “Kau sakit?”
Cepat kilat Edzhar menggelengkan kepala. “Tidak, aku tiba-tiba kepikiran ujian.”
“Ujian? Disaat begini? ya ampun, kau harus lebih slow menjalani hidup ini, Edzhar,” sahut Dizza sambil menghela napasnya. Setelah itu Dizza kembali berceloteh. Untungya Edhzar berhasil membuat manuver yang bagus sampai topik obrolan mengalir lagi dan Dizza tidak lagi membuat pergerakan yang membuat jantungnya berdebar-debar.
Ya, Edzhar sekarang harus mulai belajar untuk menyimpan rasa dan mengolahnya. Meski memang dia mengaku kalau dia agak kelabakan sedikit kalau harus melihat Dizza. Walau belum bisa berhenti menyukainya, setidaknya Edzhar bisa tetap bersikap normal di sekitar gadis itu.
“Ah gawat!”
“Ada apa?” tanya Edzhar khawatir ketika Dizza membuat ekspresi khawatir di air mukanya.
“Aku baru ingat kalau ada festival dan aku sudah beli tiketnya.”
Dengan kening berkerut, Edzhar menatap gadis itu. “Apa hubungannya denganku?”
“Pertanyaan macam apa itu?” sahut gadis itu seraya menghampirinya dengan raut muka kesal.
“Itu pertanyaan yang akan keluar kalau seseorang bingung dengan argumentasi yang kau berikan, Dizza,” jawab pemuda itu dengan penuh penekanan saat memanggil nama si gadis.
“Apanya yang membuatmu bingung?”
“Maksud pertanyaanku tadi adalah apa hubungannya kau membeli tiket atau tidak denganku, memangnya kau akan pergi denganku?” jelas Edzhar yang sebenarnya agak malu. Kalau bukan karena ini dia bersumpah akan segera meninggalkan Dizza.
“Memangnya kenapa? Aku memang mau pergi denganmu kok,” kata Dizza dengan ekspresi polosnya, sementara Edzhar menatap tidak berkedip.
“Kau tidak pergi dengan Kimber atau Levin?” tanya Edzhar dengan hati-hati.
“Mereka tidak bisa, jadi hanya kita saja yang bisa pergi. Kalau kau tidak mau, berarti hanya aku sendirian,” kata Dizza dengan lugas.
“Kapan?”
“Jadi kau mau?”
“Ya.”
Senyum manis merekah di wajah Dizza. “Hari Minggu nanti.”
Demi Tuhan isi kepala Edzhar sekarang blank. Dizza terlalu mempesona dan gadis itu betulan sudah mencuri hatinya.
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱