Pembaca baru, mending langsung baca bab 2 ya. Walaupun ini buku kedua, saya mencoba membuat tidak membingungkan para pembaca baru. thanks.
Prolog...
Malam itu, tanpa aku sadari, ada seseorang yang mengikuti ku dari belakang.
Lalu, di suatu jalan yang gelap, dan tersembunyi dari hiruk-pikuk keramaian kota. Orang yang mengikuti ku tiba-tiba saja menghujamkan pisau tepat di kepalaku.
Dan, matilah aku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Misteri Dibalik Hilangnya Naya
Cerita Pak Jatmiko
Sore itu aku merasa jenuh. Uang mulai menipis, karena biaya pembangunan rumah melebihi hitungan awal. Orang yang bertanggung jawab atas pembangunan rumah ku di kali Gimun, hampir setiap hari meminta uang dengan alasan kehabisan matrial, atau apalah namanya. Tapi, pembangunan rumah itu memang terbilang cukup cepat, dalam hitungan bulan saja sudah hampir selesai.
Bukan, bukan itu inti ceritanya. Itu hanya kiasan saja karena cerita ini akan selalu terhubung dengan rumah itu.
Ketika lelah selesai bekerja, aku berniat untuk jalan jalan ke alun alun kota malang yang berada di sebelah barat pasar besar. Suasana sudah mulai sejuk setelah seharian penuh cuaca sangat panas. Berjalan tanpa arah, dan hanya muter muter di alun alun. Selain masalah uang pembangunan rumah, orang tuaku juga sudah mulai berisik soal menikah.
Aku sudah berusia sekitar tiga puluh sembilan tahun. Bekerja di sebuah Bank di tanjung, di sebelah selatan pom bensin tanjung.
Galau, soal uang, galau juga karena sudah menjadi Bujang Lapuk. Aku sempat berpikir untuk pergi saja dari kota Malang ini. Tapi, aku sudah terlanjur membangun rumah di kali Gimun. Dan ortu sudah mulai sakit sakitan. Jadi, aku mengurungkan niatku untuk pergi merantau.
Di dalam kegalauan hati ku saat ini. Aku melihat ada seseorang gadis sedang tertidur di bawah pohon beringin yang ada di salah satu sudut alun alun kota malang. Roknya tersingkap, dan terlihat jelas celana dalamnya.
Aku harus membangunkan dia, dan menegurnya tentang roknya itu. Tapi, belum sempat aku membangunkan dia, dia sudah bangun terlebih dahulu. Dia menatapku curiga, sehingga aku salah tingkah.
"Ma... Maaf, tadi, kamu tertidur, dan celana dalam mu keliatan." kataku tanpa basa basi. Aku bujang sejak lahir, jadi tidak tahu harus bagaimana caranya mengawali pembicaraan dengan lawan jenis. "Aku berniat membangunkan kamu dan mengingatkan kamu soal celana dalammu."
Di tengah tengah pembicaraan ku, dia melihat ke arah roknya, begitu sadar bahwa kata kataku benar, dia langsung menutup roknya dengan kedua tangannya. Setelah aku selesai berbicara seperti tadi, dia pun menjawab. "Ah, iya Pak. Terima kasih atas perhatiannya."
"Sama sama. Jadi, aku permisi dulu ya. Hati hati, kalau mau tidur, tidurlah di tempat yang nyaman. Jangan sembarang main tidur di segala tempat."
"Aah. Bapak ini. Aku tidak sengaja tertidur kok. Aku asli Surabaya, di sana sangat panas, dan ini pertama kalinya aku ke malang. Dan di malang udaranya sangat sejuk. Dan... Dan... Dan tadi, setelah minum es, aku berniat istirahat sebentar di bawah pohon ini. Siapa tahu kalau aku tertidur." Naya begitu akrab ketika berbincang denganku, seolah kita sudah lama kenal. Dan saling kenal.
"Tapi, tadi siang sampai sore ini, kota malang lagi panas panasnya lho." jawabku.
"Eeh. Bohong, sejuk lho. Kalau di Surabaya bisa tiga kali lipat panasnya." Gadis itu berdiri dan menjulurkan tangannya. "Naya Rivera. Salam kenal."
Aku menerima jabatan tangannya. Tangannya begitu halus di tanganku. Begitu kecil dan terlihat rapuh. "Jatmiko. Salam kenal juga. Emangnya Surabaya sepanas itu?" dia mengangguk sambil melepaskan tangannya. "Aku tidak bisa membayangkannya. Mungkin, aku tidak bisa hidup di sana."
"Hahaha. Pak Jatmiko bisa saja. Oh, ya. Kalo boleh tau, bapak tau ada kos kosan di dekat UB ga? Yang murah meriah gitu."
"UB? Universitas Brawijaya Malang?" dia mengangguk sambil tersenyum manis. "Wah, kalau di sana banyak sih, tapi mahal mahal. Kalau di sekitar kos ku tinggal juga aga tinggi harganya. Kira kira, kamu cari yang per bulannya berapa?"
"Engg. Aku kira sekitar seratus ribu rupiah deh."
"Waduh, kalau di dekat UB sudah tiga ratus. Kalau di dekat kos ku dua ratus lima puluh. Ah!! Atau Begini saja. Rumahku sudah hampir selesai di bangun. Dan mungkin akan langsung kosong karena bapak ibu tidak mau tinggal di sana. Dan aku sudah ngekos. Gimana kalau Dek Naya mengontrak di rumahku? Seratus ribu deh perbulannya. Itung itung juga supaya ada yang menghuni nya."
"Jauh kah dari UB ke rumah bapak?"
"Cukup jauh sih. Em, sebagai pelayanannya, gimana kalau kamu aku antar jemput ke UB? Pake sepeda motor butut sih. Kalau kamu berminat, ayok sekarang kita lihat lihat rumahku."
Nex
"Eh, ada Pak Jatmiko." Pemborong bangunan yang bekerja di rumahnya Pak Jatmiko menyapa ketika aku memasuki halaman rumah di kali Gimun. "Kebetulan sekali, ini rumahnya sudah beres. Tinggal di cek, apakah ada yang kurang atau bagaimana."
"Eh, Pak Buang. Tak kira sudah pulang dari tadi." aku menjawab sapaannya kepadaku. "Boleh boleh, ayok. Sekalian, ayo Naya, kita lihat lihat, siapa tahu kamu cocok." aku mempersilahkan Naya memasuki rumahku yang baru saja selesai di bangun itu.
Saat masuk ke dalam rumah, bau cat dari cat tembok masih tercium sangat kuat. Lalu, masih ada barang barang tukang masih berserakan. Ember ember berisikan air kotor masih ada di sana sini m, dan andang terbuat dari besi masih belum di berserakan. Namun, rumahku itu terlihat sangat bagus dan aku yakin, kalau sudah benar benar bersih, rumah itu akan menjadi rumah yang nyaman untuk di tinggali.
Pak Buang memimpin langkah kaki. Pertama, dia mengajak kita melihat lihat ruang tamu. Ruang tengah, lalu dapur utama dan kamar mandi bawah yang sederhana, dan kamar kecil yang aku kira cocok untuk kamar pembantu.
Setelah puas di lantai pertama, kami di ajak ke lantai dua. Tangga menuju lantai itu berada tepat di tengah tengah ruangan di lantai dua. Ada tiga kamar tidur yang berjejer di sebelah timur. Dan di pojok Utara ada kamar mandi utama yang ukurannya dua kali lipat dari pada yang ada di bawah.
Kamar tidur ukurannya sepertinya sama, sudah ada rak buku di setiap sudut, dan meja rias tepat di bawah jendela yang menghadap ke arah timur. Menghadap balkon. Dan ujung selatan ada balkon besar yang terhubung ke balkon balkon kamar di lantai dua.
"Bagaimana Mbak Naya? Apakah cocok dengan kriteria kamu?" tanyaku ke Naya Rivera, dia mengagumi rumahku yang baru saja selesai di bangun itu. Dia tidak langsung menjawab, tapi berjalan menuju kamar tidur yang berada di ujung selatan.
"Kalo kamar yang ini aku mau." katanya sambil membuka jendela yang menghadap ke arah balkon. "Cuma kamar ini saja yang view nya bagus."
"Jadi? Deal?" Tanyaku.
"Deal!" dia menjabat tanganku sebagai tanda dia setuju.
"Aku boleh mengisi nya dengan barang barang favorit ku kan?" tanya dia.
"Tentu saja. Kan kamu sudah menyewa nya, jadi kamar ini sudah menjadi hak kamu selama satu bulan di hitung sejak kamu menempatinya nanti."
"Yess!! Tapi, Pak Jatmiko tidak lupa dengan tawaran yang satunya kan?"
"Yang mana ya?"
"Idih Pak Jatmiko ini lho. Antar jemput aku ke UB."
"Dengan senang hati, Nona manis."
Nex
Semenjak saat itu lah, Naya Rivera tinggal di rumah yang ada di kali Gimun ini. Bulan demi bulan tanpa terasa berlalu begitu cepat. Karena sesekali aku menginap di rumah itu juga, pada suatu malam, kami di grebek oleh Pak RT dan Pak RW. Dan di paksa untuk menikah.
Sebenarnya, aku tidak keberatan sama sekali. Tapi, aku sangat kasihan kepada Naya. Dia masih belum genap sembilan belas tahun. Sedangkan aku sudah hampir empat puluh tahun. Tapi, dia takut di laporkan ke polisi dan takut dengan ancaman pidana karena sudah berbuat mesum sebelum menikah, dia akhirnya mau.
Singkat cerita. Kami resmi menjadi suami istri dan menjalani kehidupan yang tenang. Hingga di bulan ke dua pernikahan kami, dia hilang entah kemana.