Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Setelah melihat seseorang yang tampak memantau Creative Hub dan Cafenya dari kejauhan, Siera kembali fokus pada kegiatannya. Suasana cafe mulai sedikit lengang, tidak seramai tadi pagi. Pelanggan yang biasanya memenuhi tempat itu kini hanya tersisa beberapa orang. Siera pun memutuskan untuk mengambil waktu istirahat sambil makan siang.
“Kak Sie, mau disiapin apa buat makan siangnya?” tanya Tiwi, pelayan café yang setia menemani hari-hari Siera.
“Yang kayak biasa aja, Wi,” jawab Siera sambil melepas apron dan duduk di salah satu sudut café yang sepi.
“Oke, Kak. Salmon Fried Rice, ya,” ujar Tiwi sambil tersenyum, sudah hafal betul menu favorit bos cantiknya itu.
Siera mengangguk pelan, kemudian menyandarkan punggungnya ke kursi. Matanya menyapu ruangan, memastikan segalanya berjalan lancar. Namun, pikirannya kembali teringat pada pria asing yang sempat ia lihat tadi. Langkah pria itu ragu-ragu, tapi pandangannya seolah mengamati sesuatu dengan cermat.
Siapa dia? Pikir Siera sambil mengetuk-ketukkan jarinya di meja. Entah kenapa, bayangannya tak bisa hilang begitu saja.
Tak lama kemudian, Tiwi kembali dengan sepiring nasi goreng salmon yang masih mengepul hangat. “Ini, Kak. Selamat makan, ya.”
“Thanks, Wi,” jawab Siera sambil tersenyum kecil. Ia mengambil sendok dan mulai menyantap makan siangnya. Namun, matanya sesekali melirik ke arah pintu kaca café, berharap bisa melihat sosok pria itu lagi.
Sambil menikmati makan siangnya, Siera mengeluarkan ponselnya untuk mengecek apakah ada pesan yang masuk. Sejak pagi, ia bahkan tidak sempat menyentuh ponselnya sama sekali. Dengan satu tangan masih memegang sendok, ia membuka layar ponsel dan mulai memeriksa notifikasi.
Matanya langsung tertuju pada pesan dari sahabatnya, Cindy.
“Dia balik, Sie?” begitu isi pesan singkat itu.
Siera menghentikan suapannya. Alisnya berkerut, mencoba mencerna kata-kata itu. “Dia Balik?” pikir Siera. Siapa yang dimaksud Cindy?
Lama ia menatap layar, mencoba mengingat sesuatu, hingga perasaannya tiba-tiba terasa tidak nyaman. Bayangan seseorang mulai muncul di benaknya, meski ia belum sepenuhnya yakin.
Dengan cepat, Siera membalas pesan itu.
“Siapa yang balik, Cin?” tanyanya, mengetik tanpa ragu.
Tak butuh waktu lama, ponselnya bergetar. Pesan balasan dari Cindy masuk.
“Kamu serius nggak tahu? Arka, dia udah balik.”
Mata Siera membelalak. Nama itu membuatnya tercekat. Suasana café yang tadi terasa tenang mendadak berubah menjadi bising di telinganya. Siera menyandarkan punggung ke kursi, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat.
“Arka?” ia mengetik dengan tangan yang sedikit gemetar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya.
Beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar lagi.
“Iya, sahabat lo yang jahat main pergi gitu aja.”
Siera membaca pesan itu berulang kali, memastikan dirinya tidak salah paham. Kata-kata Cindy terasa seperti tamparan yang mengembalikan semua kenangan yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam. Siera menelan ludah, mencoba menghalau rasa sesak yang perlahan memenuhi dadanya. Jemarinya mulai mengetik, meski pikirannya masih kalut.
“Kok lo tahu dia balik? Lo ketemu dia?” balasnya, berusaha mencari tahu lebih banyak.
Tak lama, balasan dari Cindy muncul lagi.
“Gue nggak ketemu langsung. Gue dengar dari temen gue yang kerja di Perusahaan dia. Katanya dia balik buat ngurus perusahaan keluarganya itu di sini. Kalua lo mau tahu lebih banyak, kenapa nggak coba hubungi dia lagi?”
Hubungi langsung? Pikiran itu membuat Siera ingin tertawa pahit. Bagaimana ia bisa menghubungi seseorang yang bahkan tak pernah memberi kabar setelah bertahun-tahun?
“Gue udah nggak ada kontak dia, Cin. Lagian buat apa gue cari? Uadah nggak penting,” balasnya singkat, mencoba menyembunyikan emosinya di balik layar ponsel.
Ia mengembuskan napas panjang setelah mengirimkan pesan itu, mencoba mengingat kenangan lama yang sebenarnya ingin ia lupakan. Raka bukan hanya sekadar sahabat bagi Siera. Dia adalah seseorang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, hingga semuanya berubah saat Raka pergi tanpa jejak.
Siera kembali mengingat waktu itu, tak lama setelah Raka memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar kota, kedua orang tua Arka juga mengambil keputusan besar. Mereka kembali ke Australia untuk mengurus perusahaan keluarga yang berkembang pesat di sana. Kepergian mereka terasa seperti penutup bab yang tiba-tiba dalam hidup Siera, meninggalkan banyak pertanyaan tanpa jawaban.
Flashback On
“Tante yakin mau pindah juga?” tanya Siera dengan nada sedih, matanya tampak berkaca-kaca.
Begitu mendengar kabar bahwa Mama dan Papa Arka akan pindah ke Australia, Siera langsung bergegas ke rumah mereka. Hatinya dipenuhi campuran emosi, kehilangan, kecewa, dan bingung.
“Maafin Tante ya, Sayang,” ujar Arumi lembut sambil menatap gadis itu dengan penuh kasih. “Perusahaan Paman sedang berkembang pesat di sana, jadi butuh pengawasan langsung dari Paman.”
“Tante nggak akan lupain Siera, kan?” tanya Siera dengan suara bergetar.
Arumi tersenyum kecil, lalu mengusap pipi Siera dengan penuh kelembutan. “Ya nggak dong, Sayang. Tante dari dulu udah anggap kamu kayak anak perempuan Tante sendiri. Masa Tante lupa sih sama kamu?”
Mendengar itu, Siera tak mampu menahan emosinya. Ia langsung memeluk Arumi erat-erat. “Sie pasti bakalan kangen Tante,” gumamnya lirih.
“Tante juga bakalan rindu kamu, Sayang,” jawab Arumi sambil mengusap punggung Siera. Ada rasa berat di hatinya, tapi ia tahu keputusan ini adalah yang terbaik untuk keluarganya.
Setelah beberapa saat, Siera melepas pelukan itu, mengusap matanya yang mulai memerah. “Ngomong-ngomong, Tante, udah ada kabar dari Arka belum?” tanyanya, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang terbersit di wajahnya.
Pertanyaan itu membuat Arumi terdiam sejenak. Ia tahu Arka selalu mengabarinya, tetapi anaknya itu memintanya untuk tidak memberitahu Siera. Alasan Arka masih menjadi misteri bagi Arumi, tapi ia memilih untuk menghormati permintaan anaknya.
“Mungkin Arka masih sibuk, Sayang, makanya nggak sempat ngabarin,” ujar Arumi akhirnya, menggeleng pelan untuk mempertegas jawabannya.
Siera mengangguk kecil, meskipun jawaban itu tidak sepenuhnya memuaskan. Ia tahu betul Arka bukan tipe orang yang lupa begitu saja. Tapi mengapa kali ini rasanya ia benar-benar diabaikan?
Hati Siera semakin berat, tapi ia memilih untuk tidak melanjutkan pertanyaan itu. “Kalau Tante sempat bicara sama Arka, bilangin ya… suruh kabarin Siera,” ucapnya dengan suara nyaris berbisik, seolah takut suaranya akan pecah jika ia bicara lebih keras.
Arumi hanya tersenyum dan mengangguk, meski ada rasa bersalah yang menyelinap di hatinya.
Flashback Off
Siera kembali dari lamunannya, tatapannya kosong sejenak sebelum kenyataan kembali meresap. Kabar tentang kembalinya Arka, setelah sekian lama menghilang, membangkitkan campuran rasa penasaran dan amarah dalam dirinya.
Ia meletakkan ponselnya di meja, lalu menatap ke luar jendela café. Orang-orang berlalu lalang dengan santai, seolah tidak ada yang salah. Tapi bagi Siera, dunia yang selama ini ia rasa tenang, tiba-tiba terasa terusik oleh nama yang dulu pernah mengisi sebagian besar hidupnya.
“Kenapa sekarang?” gumamnya pelan.