Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 11 Benalu
“Kania?” Suara lembut namun penuh kehangatan itu menyapa. Alana menghampiri Kania dan langsung memeluknya erat. “Mama kangen, sayang. Gimana kabar kamu, hum?” tanya Alana penuh perhatian, membuat Kania merasakan kehangatan yang tak berubah dari pelukan mantan ibu mertuanya itu.
Kania tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan perasaannya. “Aku baik, Tan. Tante sendiri gimana?” balasnya kemudian menambahkan dengan nada menggoda, “Tante tetap cantik, ya.”
Alana tersipu malu, matanya berbinar. “Ah, kamu ini bisa saja, sayang,” sahutnya sambil mengusap bahu Kania. Setelah sejenak, Alana menarik napas dalam dan menatap Kania serius.
“Sebenarnya, selama ini kamu kemana? Kamu menghilang tanpa kabar. Keluarga kamu juga tidak mau memberitahu. Mama juga kecewa pada Adrian. Bagaimana bisa dia memutuskan berpisah sehari setelah kalian menikah?"
Nada suara Alana penuh rasa bersalah, membuat Kania bisa merasakan bahwa hati wanita itu terluka melihat perpisahan mereka.
“Mama dan papa waktu itu harus segera ke luar negeri, kalau saja kami bisa menunda keberangkatan mungkin… Mungkin sekarang rumah tangga kalian masih utuh.”
Kania menundukkan kepala, menelan kepahitan yang kembali membayang dalam ingatannya.
“Gapapa, Tante. Aku sudah mengikhlaskan semuanya,” jawabnya berusaha meyakinkan dirinya sendiri lebih daripada meyakinkan Alana.
Alana menghela napas panjang, tampak ragu sejenak sebelum kembali membuka mulut. “Sebenarnya, apa yang terjadi antara kamu dan Adrian? Setiap kali Mama bertanya padanya, Adrian selalu menghindar dan menolak memberi penjelasan. Mama tahu, pasti ada alasan, tapi… kamu tahu Mama, Mama nggak ingin berpikir yang tidak-tidak,” ujar Alana dengan suara tenang namun penuh pengertian. Ia tak ingin menempatkan Kania di posisi sulit atau membuatnya merasa terpojok.
Kania tersenyum kecil yang terlihat pahit. Ia menoleh, memandang Alana dan menggeleng perlahan. “Aku juga nggak tahu, Tante. Setelah malam itu... Adrian langsung menceraikan aku tanpa alasan jelas.”
“Malam itu?” Alana mengerutkan kening, menatap Kania dengan penuh tanya. “Apa kalian sudah—”
“Jangan salah paham, Tante,” potong Kania cepat, menyadari kemana arah pertanyaan itu. “Tidak terjadi apa-apa malam itu. Kami hanya mengobrol biasa dan keesokan paginya, tiba-tiba Adrian mengajukan cerai.” Senyumnya kaku. ”Nggak perlu Tante pikirkan. Yang penting sekarang, mas Adrian sudah bahagia dengan kehidupannya.”
Namun, di balik senyuman getir itu, hati Kania serasa terhimpit. Sambil menahan perasaan yang mulai berkecamuk. Hingga pandangannya tanpa sengaja tertuju ke arah sosok wanita cantik yang berjalan mendekat dengan anggun, tangan seorang pria yang sangat dikenalnya digandeng erat.
Deg.
Sosok itu tak lain adalah Laras, seorang wanita yang dulunya Kania kenal baik–sahbatnya. Tak lama, Alana menyadari ke mana Kania menatap dan ikut menoleh.
“Dia–”
“Oh, itu Laras. Istri Adrian sekarang,” kata Alana dengan nada biasa.
Hati Kania mencelos mendengar kata-kata Alana. Laras, istri Adrian? Bagaimana bisa? Bukankah dulu Laras selalu berkata bahwa ia membenci Adrian, menyebut pria itu dingin dan angkuh? Apa yang berubah sekarang? Pikiran Kania penuh tanya yang tak terjawab, namun ia berusaha menata perasaannya.
Seolah menyadari kegelisahan Kania, Alana mengusap punggungnya lembut. ”Mau Mama kenalkan?” tawarnya.
Kania tersenyum tipis, meski hatinya terasa remuk. “Tidak perlu, Tante,” gumamnya pelan. “Kalau mas Adrian sudah menikah lagi, aku ikut senang.”
Alana menatap Kania penuh empati, namun sebelum ia sempat berbicara lagi, suara Laras menyapa mereka berdua.
“Hai, Kania. Apa kabar?” sambutnya sambil mengulurkan tangan dengan senyum yang terkesan formal. “Sudah lama sekali kita tidak bertemu.”
Kania menatap tangan Laras sejenak sebelum akhirnya menyambutnya, membalas dengan senyum yang samar.
“Iya, sudah lama sekali. Sampai-sampai… rasanya seperti menumbuhkan benalu di taman yang indah,” ujarnya dengan nada tenang, tapi ada sentuhan sindiran di dalamnya.
Perkataan itu langsung membuat Laras menegang, matanya menyipit dan tangannya refleks mengepal, namun ia menahan diri untuk tidak membalas lebih jauh.
Ketegangan antara mereka begitu kentara.
Alana tampak bingung dan mulai menyadari ada sesuatu yang tak terucapkan di antara keduanya.
Kania hanya tersenyum getir, lalu berpamitan pada Alana. “Tante, aku harus pergi. Terima kasih sudah menyapa dan–.” Kania menggantungkan kalimatnya, memandang Adrian sekilas, lalu berkata dengan lembut, “Aku doakan kalian bahagia.”
Alana menatapnya dengan mata berkaca-kaca, tahu bahwa perpisahan itu lebih dalam daripada yang terlihat.
Sementara itu, Laras hanya bisa menatap kepergian Kania dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah menyimpan rahasia yang tak ingin diungkap.
Kania melangkah pergi, meninggalkan pertemuan yang tak terduga itu dengan perasaan yang masih menyisakan tanda tanya dan luka di hatinya.
“Kania, tunggu!” Adrian menepis tangan Laras dengan kasar.
“Mas, mau kemana kamu?” Laras menahan tangan Adrian lalu mendekatinya. “Jangan lupa, Mas, hanya keluargaku yang bisa menyembuhkan kakek,” ancamnya.
“Shit!” maki Adrian.