Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.
Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.
Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Mau Kehilangan
Nino beberapa kali melirik jam dinding. Sekarang sudah pukul delapan malam, tetapi Karina belum juga pulang. Ia mulai gelisah, beberapa kali juga menarik napas dalam agar tetap tenang. Jika Karina dapat dihubungi, mungkin ia tidak akan sekhawatir ini.
Nino sudah beberapa kali mencoba menelepon, tetapi hanya suara operator yang menyahut. Akhirnya, Nino bangkit, lalu menyambar kunci mobil yang ada di meja. Ia akan mencari istrinya.
Ketika Nino sudah siap berangkat dan sedang menuju mobilnya, sebuah mobil berhenti di depan gerbang. Seseorang keluar dari sana. Nino menghela napas lega saat melihat Karina. Akhirnya, ia hanya berdiri, menunggu di teras.
“Kamu mau ke mana, Mas?” tanya Karina sambil memerhatikan penampilan pria itu.
“Mau nyari kamu.”
Karina mengernyit.
“Aku telepon nomor kamu gak aktif. Aku khawatir.”
Karina segera memeriksa ponselnya. Ia menekan tombol on/off dan ternyata ponselnya mati karena baterainya habis.
“Maaf ya, Mas, ternyata hp-nya mati. Kamu gak apa-apa, kan?” Karina balik mengkhawatirkan Nino.
Nino tersenyum. “Gak apa-apa, kok. Ayo, masuk.” Nino merangkul pinggang wanita itu sambil berjalan masuk ke rumah.
Banyak hal yang dipikirkan Karina sejak tadi. Kepalanya terasa mau pecah dengan semua yang terjadi hari ini. Terlalu banyak kejutan, terlalu banyak hal yang membuatnya tertegun untuk berpikir cukup keras, dan terlalu banyak sesuatu yang membuatnya ingin menangis.
Karina duduk di sofa, disusul oleh Nino yang duduk di sampingnya. Untuk beberapa saat mereka diam dan Nino menyadari perubahan Karina. Rasanya, pagi tadi dia tidak seperti ini.
“Kamu kenapa?” Akhirnya Nino bertanya.
Karina sedikit tergagap. “A-aku gak apa-apa, kok.”
“Kamu gak bisa bohong sama aku.”
Karina menoleh pada Nino. Ia membuang napas pelan. Kemudian, kembali mengalihkan pandangannya, menatap jauh menerawang.
“Mas, menurut kamu … cinta yang tulus itu seperti apa?”
Nino terheran-heran dengan pertanyaan istrinya.
“Kamu tulus cinta sama aku, kan?” Karina tidak berusaha untuk menatap Nino.
Nino semakin heran dengan pertanyaan Karina.
“Kamu kenapa, sih? Pertanyaannya kok aneh begitu?”
Karina menoleh dengan tatapan yang tidak bisa diartikan oleh Nino. “Aku meragukan cinta kamu, Mas.”
Kening Nino berkerut. “Kamu ngomong apa, sih? Kenapa kamu tiba-tiba begini?”
Selama perjalanan pulang, ucapan Kevin terus terngiang-ngiang kepalanya. Walaupun Amira sudah meyakinkan, tetapi entah kenapa Karina masih saja belum percaya. Entah karena masa lalunya yang juga terluka sebab cinta yang belum usai dari mantan suaminya, Karina jadi mempunyai masalah kepercayaan dalam hal ini. Yang ia terima selama ini seakan-akan hanya semu, diperparah dengan ucapan yang semakin membuat dirinya benar-benar merasa hanya cangkang kosong yang siap dibuang kapan saja. Karina lelah jika hanya terus mengejar cinta orang lain yang tidak akan pernah ia dapatkan.
“Kamu gak pernah cinta sama aku, Mas.” Air mata Karina mulai menetes. “Kamu gak pernah menganggap aku ada dan hanya menganggap aku sebagai orang lain.” Karina mulai terisak. Isi kepalanya terlalu berisik, ia hanya bisa mengingat ucapan Kevin dan membuatnya semakin tersiksa.
“Kamu jangan bicara omong kosong, Karin.” Nino mengguncang kedua bahu wanita itu. “Karin, lihat aku, apa selama ini yang aku lakukan untuk kamu itu kurang meyakinkan? Apa yang harus aku lakukan agar kamu percaya aku tulus sama kamu?”
Karina menggeleng tanpa menjawab apa pun di tengah isak tangis yang semakin jelas terdengar.
“Kalau aku gak tulus sama kamu, aku gak akan peduli segala tentang kamu. Aku gak akan cari tahu apa yang kamu gak suka, apa yang kamu suka, aku gak akan peduli itu semua, Karina.” Napas Nino mulai terasa berat. Ia mulai putus asa. “Selama ini aku berusaha mati-matian melihat kamu sebagai diri kamu bukan Clarissa. Sekarang kamu mau tutup mata? Hah?! Kamu mau aku melakukan apa lagi, Karin? Apa kamu mau aku menyerahkan nyawaku juga agar kamu percaya?”
Air mata Karina semakin deras mengalir. Karina tidak lagi berani menatap mata yang mengatakan semua kebenaran yang baru saja diucapkannya. Suara tangisannya kini terdengar penuh dengan kesedihan yang mendalam.
“Aku takut kehilangan kamu, Mas.” Karina berujar di tengah tangisannya yang sedu sedan. Mengungkapkan perasaan yang selama ini ia takutkan saat kembali mencintai orang lain. Hanya itu yang mampu ia katakan, di antara ribuan kata yang sudah ia siapkan saat sampai di rumah. Padahal, bukan itu poin yang ingin ia sampaikan pada Nino. Namun, ternyata perasaan itu yang mendominasinya sejak lama.
Akhirnya, Nino mendekap erat Karina. Ia juga merasakan ketakutan yang sama.
“Kamu gak akan kehilangan aku. Kita akan selalu bersama-sama. Sampai kapanpun.”