Follow my Instagram : @nataniacatherin_
Hai semua! dukung terus cerita yang akuu buat yaa, kalau kamu suka, like ya, kalau ada kesalahan dari cerita ku, berikan saran, agar kedepannya aku bisa bercerita dengan baik untuk novel terbaru ku..✨❤️
"Cinta dan Cemburu"
Kisah tentang Catherine yang harus menghadapi perasaan rumit antara cinta dan cemburu. Dalam perjalanan hubungan dengan Akbar, ia menemukan sisi lain dari dirinya dan orang yang dulu sering menyakitinya. Di tengah kedekatannya dengan Naufal, Akbar yang penuh kecemburuan mulai menunjukkan sisi gelapnya. Namun, meskipun penuh dengan rintangan, Catherine harus memilih antara cinta yang tulus dan hubungan yang penuh ketegangan. Akankah ia bisa menemukan kedamaian di antara perasaan yang bertarung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chaterine Nathania Simatupang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persaingan yang Tak Terhindarkan
Beberapa minggu setelah kejadian di perpustakaan, Catherine merasa semakin mantap dengan sikap barunya. Dia tidak lagi peduli dengan pendapat orang-orang tentang dirinya, bahkan tentang Theresia dan Akbar. Namun, perubahan itu tidak luput dari perhatian Theresia, yang merasa Akbar mulai sering memperhatikan Catherine.
Suatu hari di kantin, Theresia duduk bersama gengnya dan Akbar. Sambil menyeruput minumannya, dia memutar mata ke arah Catherine yang sedang duduk di meja paling ujung bersama Jenny. "Lihat deh, si Catherine. Dia pikir dirinya jadi keren gara-gara bisa jawab satu pertanyaan di kelas. Padahal, dia cuma orang yang numpang eksis," ujar Theresia dengan nada sinis.
Akbar hanya terdiam, tidak menanggapi komentar Theresia. Dalam diamnya, dia mulai memperhatikan Catherine lebih sering. Ada sesuatu yang berbeda pada dirinya sekarang—sikap percaya diri yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
Awal dari Konfrontasi
Pada suatu pagi, saat Catherine sedang berjalan menuju kelas, Theresia dengan sengaja memblokir jalannya bersama beberapa teman gengnya.
"Hei, Catherine," Theresia menyeringai, melipat tangannya di dada. "Aku dengar kamu mulai berani sekarang. Berani ngomong di depan umum, berani ngejawab orang-orang."
Catherine menatap Theresia tajam, tanpa rasa takut sedikit pun. "Oh, jadi sekarang lo jadi ahli komentar? Mungkin lo cuma iri karena gue bisa ngomong lebih terang dan lebih jelas daripada lo," jawab Catherine dengan suara penuh sindiran.
Theresia mendengus, sementara teman-temannya tertawa kecil. "Pintar? Kamu? Hah! Jangan mimpi deh, Catherine. Paling juga kebetulan. Kamu nggak akan pernah bisa jadi siapa-siapa. Cuma orang bodoh yang ngomong kayak gitu."
Catherine merasa darahnya mendidih. Tidak ada yang lebih menyebalkan daripada sikap Theresia yang selalu merasa lebih baik dari orang lain. Dia maju selangkah, mendekat ke arah Theresia, dan berbicara dengan suara yang terdengar keras.
"Lu nggak usah sok jadi cewek paling hebat, Theresia," kata Catherine, wajahnya memerah karena marah. "Lu cuma cewek sialan yang suka nginjek orang lain buat ngerasa lebih tinggi. Lu kira semua orang bakal takut sama omongan lu? Hah, sialan banget."
Theresia tampak terkejut, tapi Catherine tidak memberi kesempatan untuk membalas. "Lu pikir lu siapa? Lu cuma cewek munafik yang nggak bisa lihat apa-apa selain dari kaca mata sendiri. Semua orang tahu siapa lu, Theresia. Caper nggak jelas, anjing banget."
Saat itu, Akbar yang berada di dekat mereka mendengar percakapan itu dan langsung melangkah mendekat, terlihat kebingungan.
"Theresia, cukup," katanya, mencoba meredam situasi.
Catherine menatap Akbar tajam, wajahnya penuh emosi. "Nggak perlu kamu bela-bela orang ini, Akbar. Gue nggak butuh pembelaan dari orang yang masih bisa mentolerir sikap bajingan kayak gitu!"
Akbar terdiam, terlihat bingung dan sedikit cemas, tapi Catherine sudah terlanjur kesal. "Aku bisa ngadepin mereka sendiri. Gak perlu ada yang merasa harus ngelindungin gue dari mereka. Jadi, kamu—" Catherine menunjuk Theresia dengan penuh kebencian, "—mending pergi jauh-jauh dan gak usah ganggu gue lagi!"
Catherine melangkah pergi dengan kepala tegak, sementara Theresia berdiri di sana, terbengong dengan kemarahan yang mulai merembes di wajahnya.
Theresia yang Semakin Cemburu
Setelah kejadian itu, Theresia mulai merasa tidak nyaman. Dia mulai menyadari bahwa perhatian Akbar terhadap Catherine tidak bisa diabaikan.
"Kenapa kamu selalu ikut campur kalau aku berurusan sama Catherine?" tanya Theresia suatu sore, ketika mereka sedang duduk di taman sekolah.
Akbar menghela napas, mengalihkan pandangannya. "Karena kamu sering berlebihan, Theresia. Kamu terlalu keras sama dia."
"Dia tuh cuma cari perhatian! Kamu nggak sadar, ya?" Theresia memprotes dengan nada tinggi.
"Atau mungkin kamu yang terlalu terobsesi buat jatuhin dia?" balas Akbar, membuat Theresia terdiam.
Pertarungan di Depan Umum
Beberapa hari kemudian, di tengah pelajaran olahraga, Theresia kembali membuat ulah. Saat permainan bola basket sedang berlangsung, dia dengan sengaja menyenggol Catherine, membuat Catherine jatuh keras ke lantai. Lapangan yang semula penuh sorak-sorai langsung hening. Semua orang memandang ke arah Catherine, menunggu reaksinya.
"Ups, sorry. Aku nggak sengaja," kata Theresia dengan nada mengejek, senyumnya penuh arti, seakan menikmati momen itu.
Catherine bangkit perlahan, menepuk seragam olahraganya dengan tenang. Tapi kali ini, matanya menyala dengan kemarahan yang tidak bisa lagi ia tahan. Dia menatap Theresia tajam, langkahnya mantap mendekati gadis itu.
"Theresia, perempuan durjana kayak lu nggak perlu sok sopan bilang 'maaf'. Jelas-jelas lu sengaja, jadi jangan munafik," kata Catherine dingin, suaranya menggema di tengah lapangan.
Theresia tertegun sejenak, tetapi dia cepat menutupi kegugupannya. "Durjana? Kok kasar banget, sih? Kamu jatuh sendiri salahin orang, emangnya aku peduli?"
Catherine mendekat lebih dekat, membuat Theresia mundur selangkah. "Denger ya, Ther. Lu itu cewek nyinyir yang nggak bisa hidup tanpa ngejatuh-in orang lain. Apa rasanya, hah, ngeliat gue bangkit lagi setelah lu jatuh-in? Menyakitkan, kan, ngeliat gue nggak ada rasa takut sama drama murah lu?"
Cicilia, yang berdiri di dekat Theresia, mencoba membela. "Eh, Catherine, nggak usah lebay deh. Jatuh ya jatuh aja, nggak usah bikin drama."
Jenny, yang berdiri di tepi lapangan, langsung melangkah maju dengan wajah penuh emosi. "Cicilia, lu mending tutup mulut deh. Durjana nomor dua nggak usah ikut campur kalau nggak ngerti. Nggak semua orang suka main kotor kayak kalian."
Theresia, yang kini mulai kehilangan kendali, mencoba membalas. "Kalau kamu merasa jadi korban terus, itu salah kamu sendiri, Catherine. Kamu yang terlalu lemah!"
Catherine tertawa sinis mendengar itu. "Lemah? Salah besar. Justru lu yang lemah, Ther. Cuma orang lemah yang perlu ngejatuhin orang lain buat ngerasa berharga. Hidup lu cuma drama, sementara gue? Gue tetap berdiri meskipun dihancurin sama orang kayak lu!"
Theresia mencoba membuka mulut lagi, tetapi Catherine memotongnya dengan suara lantang. "Ingat ini, Ther. Gue nggak akan biarin lu atau siapapun nginjek harga diri gue lagi. Dan kalau lu mau perang, ayo kita lihat siapa yang menang!"
Saat suasana semakin memanas, guru olahraga akhirnya datang melerai. "Cukup! Apa yang terjadi di sini?"
Theresia berusaha memasang wajah tak bersalah, tetapi Catherine langsung menjawab dengan nada tegas. "Theresia sengaja menjatuhkan saya, Pak. Kalau perlu bukti, tanya teman-teman di sini."
Guru itu menatap Theresia dengan tajam. "Theresia, masuk ke ruang guru sekarang. Kita akan bicara nanti."
Theresia mendengus kesal, lalu pergi dengan wajah merah padam. Catherine menatap punggungnya dengan tatapan dingin. Jenny menepuk pundaknya, memberikan dukungan.
"Bagus, Cat. Akhirnya dia ngerasain balasan dari lu," kata Jenny dengan senyum puas.
Catherine hanya mengangguk. Dalam hatinya, dia tahu bahwa ini adalah langkah besar untuk membuktikan bahwa dia tidak akan pernah tunduk pada mereka lagi.
Akbar yang Bingung
Di sisi lain, Akbar merasa semakin bingung dengan perasaannya. Dia tahu bahwa Theresia sering kelewatan dalam memperlakukan Catherine, tetapi dia juga tidak bisa memungkiri bahwa Catherine telah berubah menjadi seseorang yang menarik perhatiannya.
Suatu hari, dia mencoba berbicara dengan Catherine lagi, berharap bisa memperbaiki kesalahannya di masa lalu.
"Catherine, tunggu," panggilnya ketika Catherine sedang berjalan pulang.
Catherine berhenti, tetapi tidak berbalik. "Apa lagi, Akbar? Kamu mau minta maaf lagi? Kalau iya, aku udah bosan dengarnya."
Akbar mendekat, berdiri di depannya. "Aku serius kali ini. Aku tahu aku salah. Aku tahu aku nggak punya hak untuk memperbaiki semuanya. Tapi aku mau kamu tahu bahwa aku benar-benar menyesal."
Catherine menatapnya dingin. "Bagus kalau kamu menyesal. Tapi itu nggak berarti aku akan lupa. Jadi, kalau kamu cuma mau basa-basi, lebih baik jangan buang waktuku."
Theresia Tidak Mau Kalah
Theresia yang melihat Akbar semakin sering memperhatikan Catherine merasa amarahnya memuncak. Dia mulai merencanakan cara untuk menghancurkan Catherine, kali ini dengan sesuatu yang lebih besar. Dia menyebarkan rumor tentang Catherine di sekolah, berharap itu bisa menjatuhkan reputasinya.
Namun, Catherine tidak terpengaruh. Dia sudah cukup kuat untuk menghadapi segala rintangan yang Theresia berikan. Dengan bantuan Jenny, dia mulai membuktikan bahwa dirinya lebih dari sekadar rumor.
"Catherine, kamu harus tunjukkan ke mereka kalau kamu nggak bisa diintimidasi," kata Jenny suatu hari.
"Aku tahu," jawab Catherine. "Dan aku akan pastikan mereka tahu siapa aku sebenarnya."
Catherine merasa ada yang berubah dalam dirinya. Perasaan lembut yang dulu dia simpan untuk Akbar mulai pudar, digantikan oleh rasa kesal dan kecewa. Dia lelah menunggu sesuatu yang tidak pasti, lelah merasa direndahkan, dan lelah terus berharap pada seseorang yang tampaknya tidak pernah benar-benar peduli.
Di lain sisi, Akbar tidak berhenti mencoba mendekatinya. Dia mungkin tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka, tapi dia merasa ada jarak yang semakin lebar, dan itu membuatnya bingung.
Frontal dengan Akbar
Suatu siang di perpustakaan, Catherine sedang membaca buku ketika Akbar tiba-tiba muncul dan duduk di depannya tanpa izin.
"Cat," panggil Akbar, mencoba menarik perhatiannya.
Catherine mengangkat wajahnya perlahan, menatapnya dengan pandangan datar. "Ada apa? Kalau mau duduk di sini, aku nggak janji bakal ramah."
Akbar terdiam sejenak, tidak menyangka respons Catherine akan sefrontal itu. "Aku cuma mau ngobrol. Kenapa kamu berubah belakangan ini? Kamu kelihatan... beda."
Catherine mendengus pelan. "Berubah? Apa aku harus tetap sama supaya kamu atau Theresia puas? Dengar, Akbar, aku capek. Aku nggak punya waktu buat drama kamu."
"Kok jadi drama? Aku cuma mau—"
"Jangan sok peduli," potong Catherine dingin. "Kalau kamu peduli, kamu nggak bakal ikut ketawa waktu Theresia dan gengnya nge-bully aku dulu. Kamu bahkan nggak pernah benar-benar minta maaf."
Akbar terdiam lagi. Kata-kata Catherine menusuk, tapi dia tahu itu benar. "Aku tahu aku salah, dan aku beneran minta maaf."
"Terlambat, Akbar. Minta maaf itu bukan cuma soal ngomong, tapi juga soal bukti. Kalau kamu cuma mau basa-basi, lebih baik cari orang lain. Aku nggak ada waktu buat hal kayak gini," ujar Catherine sambil menutup bukunya dan pergi meninggalkan Akbar.
Percakapan dengan Jenny
Catherine duduk di taman sekolah bersama Jenny, mencoba menenangkan dirinya setelah pertemuan tadi. Jenny, yang tahu persis apa yang terjadi, hanya memandang sahabatnya dengan senyum kecil.
"Aku lihat tadi di perpustakaan. Akbar lagi, ya?" tanya Jenny, mencoba memancing.
Catherine menghela napas panjang. "Iya. Aku nggak tahu kenapa dia tiba-tiba sok perhatian. Padahal dulu dia nggak peduli sama aku."
"Baguslah kalau kamu sadar. Akbar itu nggak pantas buat kamu," kata Jenny tegas.
Catherine tersenyum tipis. "Aku tahu. Aku cuma dulu terlalu bodoh buat nyadar. Sekarang aku udah nggak peduli. Kalau dia mau minta maaf, biarin aja. Aku nggak butuh dia lagi."
Jenny tertawa kecil. "Itu sahabatku! Kamu nggak butuh validasi dari siapa pun, apalagi dari cowok kayak dia."
Rasa yang Mulai Hilang
Hari-hari berlalu, dan Catherine semakin merasa tidak ada lagi rasa yang tertinggal untuk Akbar. Bahkan saat dia melihatnya berjalan di koridor bersama Theresia, perasaan sakit hati yang dulu sering menghantui kini tidak lagi terasa.
Ketika Akbar mencoba menyapa di kelas atau di kantin, Catherine hanya menjawab seadanya, tanpa senyum, tanpa basa-basi.
"Cat, kenapa kamu jadi jutek banget sih ke aku?" tanya Akbar suatu hari, ketika mereka kebetulan berada di perpustakaan yang sama lagi.
Catherine mendongak dari bukunya, menatap Akbar dengan mata tajam. "Jutek? Oh, maaf kalau menurut kamu aku jutek. Tapi kamu sendiri gimana? Selama ini kamu nggak lebih baik dari aku."
"Aku nggak ngerti maksud kamu," kata Akbar bingung.
"Kamu nggak perlu ngerti. Yang jelas, aku nggak ada urusan sama kamu lagi. Jadi, berhenti pura-pura peduli," jawab Catherine sebelum beranjak pergi.
Jenny yang Selalu Mendukung
Jenny merasa bangga melihat Catherine yang sekarang. Dia tahu Catherine sudah banyak melalui hal-hal sulit, dan sekarang sahabatnya itu akhirnya menemukan kekuatannya sendiri.
"Catherine yang dulu pasti nggak bakal ngomong kayak gitu ke Akbar," kata Jenny sambil tersenyum.
"Dulu aku terlalu bodoh untuk ngelawan," jawab Catherine sambil tertawa kecil. "Sekarang aku cuma pengen fokus ke diriku sendiri. Aku nggak mau buang waktu buat orang-orang yang nggak penting."
Jenny memeluk sahabatnya dengan hangat. "Dan aku akan selalu ada di sini buat kamu, apa pun yang terjadi."
Meskipun rasa cinta Catherine pada Akbar telah memudar, dia menemukan sesuatu yang lebih berharga—harga dirinya sendiri dan sahabat yang selalu ada untuk mendukungnya. Akhirnya, dia merasa bebas dari perasaan yang selama ini membebaninya.