Di tengah gelapnya kota, Adira dan Ricardo dipertemukan oleh takdir yang pahit.
Ricardo, pria dengan masa lalu penuh luka dan mata biru sedingin es, tak pernah percaya lagi pada cinta setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang seharusnya menyayanginya.
Sementara Adira, seorang wanita yang kehilangan harapan, berusaha mencari arti baru dalam hidupnya.
Mereka berdua berjuang melewati masa lalu yang penuh derita, namun di setiap persimpangan yang mereka temui, ada api gairah yang tak bisa diabaikan.
Bisakah cinta menyembuhkan luka-luka terdalam mereka? Atau justru membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan?
Ketika jalan hidup penuh luka bertemu dengan gairah yang tak terhindarkan, hanya waktu yang bisa menjawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Selina Navy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Adira tak hanya terluka karna perlakuan abangnya, Boy. Ia juga terluka karna sang Ibu.
Ingatan Adira mengenai perubahan besar dalam keluarganya sebenar nya kini sudah mulai memudar, tapi ada satu malam dimana kejadian malam itu yang tak pernah bisa memudar dari ingatan Adira. Karna itu awal mula dari semua luka yang Adira punya.
Kala itu ia terbangun malam dan melihat sesuatu yang tak pernah ia bayangkan terjadi.
Ibunya, yang biasanya hangat dan penuh kasih sayang, tiba-tiba kerasukan.
Malam itu, dibawah remang cahaya lampu, Ibu Adira seperti bukan dirinya sendiri. Dengan suara yang besar seperti suara seorang pria ibunya meraung-raung menjawab pertanyaan dari seseorang yang ada dihadapan sang ibu, dan terlihat beberapa orang menahan kedua tangan ibunya yang terus mau mengamuk.
Adira kecil yang baru bangun tak memahami aoa yang terjadi, dia masih mengantuk dan tante yang entah kapan datang menyadari Adira terbangun. Lalu tante nya berkata lembut,
"Tidur lagi ya Adira.. besok sekolah kan?, "
Adira yang mata nya masih sangat berat pun mengiyakan dan kembali tertidur.
Setelah kejadian tersebut, segalanya berubah.
Ibu Adira yang dulunya lembut dan penuh kasih sayang tak lagi sama. Dia menjadi lebih tempramental, mengamuk tanpa alasan dan perilakunya semakin tidak stabil.
Ada saat-saat ibunya akan terlihat normal menjadi seperti biasanya, mengurusi rumah dan memasak. Tapi ada juga saat-saat dimana amarah nya tiba-tiba muncul seperti badai yang datang tanpa peringatan, dia mengamuk dengan berkata hal yang tak terdengar jelas.
Sialnya, saat ibunya sedang dalam mode mengamuk, biasanya hanya Adira yang ada dirumah. Sehingga ia selalu jadi sasaran amukan ibunya.
Berbagai siksaan mulai ia alami, seolah Adira menjadi penyalur bagi emosi dan frustasi yang meluap-luap dari ibunya.
Ibunya akan menjambak rambutnya dengan kasar, menariknya tanpa ampun hingga kulit kepalanya terasa seperti terkoyak.
Atau, kuku panjang ibunya akan mencengkeram kulit Adira, mencubit dengan keras sampai meninggalkan bekas luka merah atau memar yang butuh waktu lama untuk sembuh. Pukulan-pukulan datang tanpa henti, tanpa alasan yang jelas.
"MAU KEMANA KAMU!" ucap ibu Adira dengan tangannya yang menjambak kuat rambut Adira.
"Aaaaa! Sakit ma.. " tangis Adira merasakan sakit di kulit kepala dan juga hatinya.
"BERANI KAMU YA! " sambung ibunya dengan amarah memukul-mukul badan Adira.
Adira kecil hanya mampu menangis sambil meringkuk melindungi dirinya dengan kedua lengannya.
"PANDAI PULA KAMU MELAWAN!! " teriak ibu Adira sambil mencubit kencang lengan Adira dengan kuku panjangnya.
"Udah ma...sakit... " Adira terisak-isak menangis.
Begitu lah yang terjadi, ibu Adira berubah menjadi sosok yang asing, seorang wanita yang dulu menggendongnya dengan kasih sayang kini menjadi sumber rasa sakit dan ketakutan.
Adira pun tumbuh dengan rasa takut yang terus menerus. Rasa takut itu menjadi luka yang tertanam dalam di jiwanya, membuatnya semakin sulit membuka dirinya dengan orang lain.
Adira sebenarnya bisa saja menceritakan semua penderitaannya pada ayahnya, seseorang yang dia sangat sayangi dan hormati.
Namun, terjadi satu momen yang begitu membekas dalam ingatan Adira.
Saat Adira sudah puas menangis karena habis menerima amukan dari Boy dan juga ibunya, Adira mencoba merapikan kamarnya.
"Sibuk amat neng," ucap ayah Adira yang ternyata sedari tadi mengintip dari pintu kamar Adira.
"Ayah? Hehe, " ucap Adira senang melihat ayah nya dirumah, itu berarti ia bisa tenang karna tak kan ada yang menyakitinya.
"Lagi apa sih emangnya anak ayah?," tanya ayah Adira menghampirinya ke meja belajar Adira.
"Cuma lagi rapi-rapi in meja aja kok yah, buku Adira berantakan banget, " jawab Adira sibuk menyusun buku sekolah nya dari yang besar ke kecil hingga berjejer rapi.
"Apa ini nak??," tanya ayah Adira begitu melihat lengan Adira yang penuh lebam dan bekas cubitan kuku.
"Aiiss.. kok sekarang ayah lihat, Adira bodoh kenapa gak ganti lengan panjang tadi.. " keluh Adira dalam hati.
"Apa ini!" tanya Adira lagi sambil meraih lengan Adira dan memperhatikan dengan fokus setiap lebam dan luka.
Tenggorokan Adira tercekik, ia panik tak mampu menjawab.
"Adira, siapa yang buat kamu jadi begini" desak ayah Adira menatap mata Adira.
"Nnggg... mama yah.." jawab Adira pelan.
Wajah ayah Adira terlihat geram menahan emosi. Lalu ia berjalan ke luar kamar Adira menuju kamar nya dan istrinya.
"RIANAAAA!!" teriak ayah Adira menggema ke seluruh rumah mereka.
Adira kecil tersentak, ia begitu terkejut karena ini pertama kali nya ia mendengar suara ayah nya meninggi.
Melihat sosok istri nya tak ada di kamar mereka, ayah Adira berjalan penuh amarah menuju ruang TV. Sementara Adira mengikuti ayah nya dari belakang.
"APA YANG KAU LAKUKAN PADA ANAKKU?! " teriak ayah Adira begitu melihat istrinya sedang duduk dengan pandangan kosong di atas sofa.
Ibu Adira tak merespon hanya terus diam dan memandangi wajah ayah Adira dengan tatapan kosong. Adira ketakutan, sepertinya benar dugaan nya, kalau hal tentang penyiksaan yang ia alami sebaik nya tak usah diceritakan pada ayahnya.
"KENAPA KAU MENYAKITINYA! HAA! BAHKAN SEUJUNG JARI PUN AKU TAK PERNAH MENYAKITINYA!! " teriak ayah Adira lebih keras lagi, rasanya suara nya kini bisa terdengar hingga ke sebrang jalanan besar didepan rumah mereka.
Ayah Adira mengucapkan kata itu sambil melempar kursi plastik yang ada di dekatnya. Kursi itu terlempar kuat ke dinding dan patah.
Adira tak pernah menyangka sosok ayah nya yang tenang bisa begini mengamuk hanya karna melihat lenganya lebam dan terluka.
"Ayah.." ucap Adira lirih menangis.
Pertengkaran ayah dan ibu Adira pun berlangsung dengan penuh caci dn makian. Semua barang yang ada di dekat mereka terlempar kesana -kemari.
Namun, alih-alih karna suara barang yang pecah, suara ayah dan ibu Adira yang saling berteriak jauh lebih memekakkan telinga Adira dan menyayat luka dalam hatinya.
Adira sama sekali tak suka pemandangan ini. Bukan ini yang dia mau, dia tak mau ayah dan ibunya bertengkar.
Sejak kejadian itu, Adira lebih memilih diam. Dia tak ingin menambah beban ayah nya yang sudah sibuk mencari nafkah, mengurusi rumah juga mengurusi anak-anak nya.
Bagi Adira, lebih baik diam menahan sakit dari pada harus melihat amukan dan pertengkaran ayah dan ibunya.
"Gak usah mengadu Adira, jangan nambah-nambahin beban ayah, " ucap Adira dalam hati.
Adira pun membangun tembok tinggi di sekeliling hatinya, agar tak ada satu orang pun yang tau apa yang terjadi pada dirinya.
"Sakit nak?," tanya ayah Adira dengan sangat lembut.
"Udah enggak kok yah, " jawab Adira dengan lembut juga.
"Lain kali cerita semunya sama ayah ya, " sambung ayah Adira.
"Hmmm, " jawab Adira sambil memasang senyum palsu di wajahnya.
"Maaf ayah, Adira bohong, mulai saat ini Adira gak mau cerita sedih lagi sama ayah, biar ayah gak ikutan sedih juga," ucap Adira dalam hatinya.
Adira pun tetap tersenyum dan menjaga sikap di depan ayahnya dan semua orang. Sementara luka-luka yang diperoleh nya dalam hatinya terus bertambah tanpa ada yang menyadarinya.
(ehemmm/Shhh//Shy/)