Yao Chen bukanlah siapa-siapa. Bukan seorang kultivator, bukan pula seorang ahli pedang. Pangeran hanya memiliki dua persoalan : bela diri dan istrinya.
Like dan komen agar Liu Xiaotian/Yao Chen dapat mencapai tujuan akhir dalam hidupnya. Terimakasih.
Peringatan! Novel berisi beberapa adegan yang diperuntukkan bagi orang dewasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WinterBearr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 - Manusia Salmon
Mereka menyebut dirinya sebagai Ratu Iblis bukanlah tanpa sebab. Hanya dengan satu jentikan jari, tiga gadis berjubah coklat bergegas menghampirinya.
Wajahnya datar tanpa ekspresi, rambut pendeknya sedikit berantakan di bawah tudung. Dengan nada tenang, ia melapor, “Dua prajurit terlihat di depan Kedai Yǔ Táng, dan sisanya, sekitar delapan orang sedang berada di dalamnya," tegas gadis itu sambil merapatkan kedua tangan di depan dada—bentuk hormat. "Setiap sudut Kota Tianlan telah diperketat semenjak insiden itu.”
"Kerja bagus, Ning Zixuan. Tidak masalah, Itu adalah konsekuensinya setelah kita hampir saja membunuh putra Fenlong," balas Sang Ratu tanpa menoleh ke belakang. Dia merapatkan tudung jubahnya dengan garis senyuman sadis. "Yue!"
"Ya? Ratu iblis," balas Yue Zhen. Meskipun telah berusia lebih dari dua puluh tahun, Yue masih aktif dalam tugasnya sebagai salah satu anggota tetap gadis berpisau. Senyuman manis, rambut hitam panjang yang dikuncir ke atas dan tubuh ramping nan ideal menjadi nilai tambah tersendiri. Itulah mengapa Sang Ratu kerap mengajak Yue kemanapun ia pergi. Yue Zhen terlihat begitu dewasa dengan penampilannya dan itu akan sangat berguna.
"Markas rahasia kita sedang kedatangan banyak tamu yang tidak diundang," ujar Hua Huifang, merapikan jubah coklat milik Yue Zhen. "Bukankah alangkah baiknya jika kita menyambut mereka dengan senyuman ramah?"
Yue melempar senyuman ke arah ratunya sebelum berpaling pergi.
“Eleh... selalu saja ada prajurit pengganggu. Kenapa kita harus menyelinap seperti tikus? Tak bisakah kita hadapi mereka secara langsung? Aku ingin mengasah kemampuan anak-anakku,” keluhnya sembari merenggangkan tangan di belakang kepala.
Qiao Li memang begitu, selalu begitu. Seringai kilauan taring selalu menghiasi wajahnya yang nakal. Kulitnya lebih gelap dibandingkan kedua temannya, mencerminkan hari-hari yang ia habiskan di bawah matahari, seolah tidak peduli dengan penampilan yang feminim. Satu tangkai ranting liar menancap di sudut bibirnya, suaranya keras dan senjata yang dia bawa berjejalan keluar, meminta tolong di balik jubah. Dia adalah gadis masokis pecinta senjata.
Huifang hanya melirik sekilas, tidak menghiraukan Qiao Li yang memang selalu menggerutu.
Berbeda dengan pakaian ruqun yang di pakai teman-temannya—kecuali Qiao Li, Yue Zhen lebih pede mengenakan Qipao tanpa lengan yang nampak melekat sempurna dengan tubuh rampingnya. Para prajurit yang berjaga di depan Kedai Yǔ Táng berhenti sejenak, mata mereka menelusuri setiap detail tubuh Yue yang terlihat dari bawah tudung jubahnya yang terbuka sebagian, tersingkap oleh angin. Setiap langkah terasa ringan, luar biasa anggun di mata para prajurit, bagaikan angin sejuk musim semi yang berbisik di antara daun ginko yang berguguran.
Yue, dengan senyum manis yang dipaksakan, menundukkan kepala sedikit saat ia mendekati prajurit terdekat. Bibirnya tipis, lembut seperti sutra, melengkung, dan tanpa mengucap apapun, tubuhnya telah berbicara lebih dari cukup. Lalu ketika mata mereka bertemu, sepasang matanya lantas mampu melumpuhkan hati lelaki di hadapannya.
"Si-siapa ya?" tanyanya terbata-bata, suaranya serak. Jelas sekali, ia hampir kehilangan fokus hanya dengan kehadiran Yue.
Yue mendekat, kali ini cukup dekat hingga wangi bunga plum yang dipakai mendominasi dengan sempurna.
"Ssst..." Dia menaruh jari telunjuk di bibirnya, mendekati prajurit itu lebih jauh, suaranya lirih namun menggoda. "Kami hanya pedagang biasa... dari barat jauh... datang untuk mencari tempat beristirahat di kota kalian."
Prajurit lain, yang berdiri di belakang, tak mampu menahan diri. "Pe... pedagang dari mana? Sepertinya... kalian tidak terlihat seperti pedagang biasa. Jika tidak keberatan, luangkan waktu Nona untuk bermain bersama kami, aku akan mentraktirmu segelas teh." Matanya menyapu dari atas ke bawah, menelan ludah dengan tatapan penuh nafsu. Sudah mirip anjing yang menjulurkan lidahnya.
Kedua prajurit itu saling tatap, merasa bahwa ini adalah hoki tahunan yang sedang mereka dapatkan.
Yue menoleh ke arahnya, memiringkan kepalanya sedikit, memperlihatkan lehernya yang jenjang. "Terima kasih atas tawarannya, tapi... " Yue mendekatkan wajahnya lebih dekat, begitu dekat hingga prajurit itu bisa merasakan hangat setiap hembusan nafas wanita itu di lehernya. “Jika kalian benar-benar ingin berkenalan lebih jauh, mungkin lain kali, di tempat yang lebih pribadi.”
"P-Pribadi? Aku rasa kami bisa mengatur itu," ujarnya secepat kilat. "Lalu apa yang bisa kami bantu untuk sekarang, Nona?"
Yue tersenyum lalu menyentuh dadanya dengan telunjuk. "Tenanglah... kami hanya butuh tempat yang nyaman di tempat ini. Aku mendengar jika kedai teh ini juga memiliki sebuah penginapan di bawahnya."
"T-Tentu saja, Nona. Kedai ini... memang menyediakan tempat penginapan. Tak perlu khawatir. Kami... kami bisa mengawal kalian jika perlu," katanya sambil mencoba memalingkan tatapannya, namun jelas ia tak mampu, berharap Yue menurunkan sedikit kerah pakaiannya dengan telunjuk yang masih menggantung di sana.
Yue, tanpa mengubah senyumannya, menoleh ke arah Qiao Li yang berdiri tak jauh dari sana, sengaja memutar bola matanya, kesal melihat tingkah mesum para prajurit.
Sedangkan Qiao Li malah mengangkat bahu lalu menjulurkan lidahnya sambil tersenyum, tidak peduli dengan perasaan temannya.
"Jadi... bolehkah kami masuk sekarang?" bisik Yue. "Kalian juga tidak perlu repot-repot mengawal kami."
Sang prajurit akhirnya hanya bisa mengangguk kaku, membukakan pintu kedai dengan kikuk. "Baiklah... Si-silakan, Nona. Nikmati waktumu di dalam...," ujarnya seramah mungkin, tak mampu memalingkan tatapannya dari tubuh menggoda Yue yang bergerak masuk.
Namun saat mereka melangkah melewati pintu masuk kedai, salah satu prajurit senior sedang berjalan keluar. Prajurit senior itu dengan berani berusaha menghentikan Huifang dengan tangan kasarnya. Ia mencengkeram pergelangan tangan Sang Ratu. Yue, yang berjalan paling depan lantas berhenti, matanya menajam dan senyum genitnya sirna. Namun sebelum Yue bisa berbuat sesuatu, terdengar suara logam yang menggesek tajam, suaranya begitu cepat, namun terdengar familiar.
Ning Zixuan, yang berada di belakang Huifang, telah menarik keluar belati pendeknya, matanya dingin seperti es. Hatinya terbakar seperti api neraka.
Beruntung sebelum situasi menjadi lebih tegang, Xiao Lan tanpa berpikir panjang merangkul prajurit senior itu, menepuk punggung pria itu seolah mereka adalah kawan lama. "Tuan...," ucapnya sambil tertawa renyah, mencoba mengalihkan perhatian. "Kami hanyalah sekumpulan pedagang dari Gurun Hēishā. Kau tahu... di tempat kami, kontak fisik seperti itu dianggap sangat tidak sopan." Melirik ke arah tangan prajurit itu yang masih mencengkeram erat Huifang.
"Aku yakin kau tak ingin mendapat masalah, kan? Lagipula, di tempat kami... mereka yang tidak tahu sopan santun seringkali menemui nasib kurang menyenangkan." Xiao Lan tersenyum sinis, dan dengan santainya menarik kembali tangan prajurit itu dari lengan ratunya. Sedangkan Hua Huifang masih terlelap dalam diam, tapi siapa yang tahu akan apa yang ada dalam pikirannya kala itu, bahkan Yao Chen tidak pernah menggandeng tangannya seperti ini.
"Gurun Hēishā? Aku belum pernah mendengar nama itu... ". Takut dipermalukan di depan rekan-rekannya, dia dengan cepat mengendurkan pegangannya. "Maafkan aku... aku tak tahu jika kalian adalah tamu dari negeri yang sangat jauh. Maklum, sekarang situasi kerajaan sedang dalam kondisi darurat, jadi aku menyarankan kalian untuk lebih berhati-hati, terlebih kalian adalah sekumpulan wanita muda."
Setelah prajurit itu melepaskan tangan Hua Huifang, kelompok mereka akhirnya berhasil masuk ke dalam kedai. Suasana di dalam ruangan terasa berbeda, lebih damai, namun penuh dengan aura mistis karena minimnya jendela penerangan. Lantainya terbuat dari kayu tua yang berderit setiap kali mereka melangkah, dan barisan lilin yang hampir habis terbakar hanya memberikan cahaya samar. Orang-orang di kedai juga sebagian besar adalah anggota dari kultus iblis. Jadi tidak ada yang perlu di khawatirkan selain para prajurit tadi.
Mereka berjalan menuju sudut kedai, di mana sebuah tangga sempit menuju ruang bawah tanah tersembunyi di balik tirai berpemberat. Ketika mereka berjalan turun, Qiao Li, dengan nada datar dan tanpa basa-basi, memanggil Sang Ratu. “Ratu,” ujarnya santai sambil menggigit tangkai ranting di mulut.
Tanpa menoleh, Hua Huifang menjawab dengan nada yang sama, "Aku sedang tidak membawa kantong muntah."
"Begitu ya." Qiao Li mengangkat bahunya sambil menatap rekan di sebelahnya. “Yue sepertinya akan alergi terhadap laki-laki. Dia terlalu sering mengemban tugas semacam itu," sambil menunjuk Yue yang menutup mulutnya dengan tangan, pipinya membulat biru.
Hua Huifang menoleh sedikit, melihat Yue yang hampir muntah. "Kalau begitu jangan ditahan, muntahlah di dalam tong itu," jawabnya dengan santai, menunjuk sebuah tong kayu di dekat mereka.
Yue, tak mampu menahan diri lagi, ia segera berlari menuju tong itu. Sambil menutup mulutnya yang penuh, dia akhirnya muntah tanpa henti, mengingat betapa menjijikkan tatapan para prajurit itu.
Sementara Ning Zixuan, yang melihat reaksi Yue, mendekati Hua Huifang dengan ekspresi serius, “Ratu Iblis, apakah kita perlu membunuh orang-orang genit itu?”
Hua Huifang hanya mengangkat bahu. “Terserah." Nadanya terdengar bosan—tidak peduli. "Tapi bukankah sedari tadi ada yang terus merengek karena ingin mengasah kemampuan anak-anaknya?”
Mendengar itu, Qiao Li, yang berada di belakang, langsung melompat kegirangan. “Aku! Aku! Biarkan aku!” serunya, penuh semangat. "Tenang saja, aku akan melakukannya cepat dan memisahkan setiap bagian tubuh mereka seperti ikan salmon." Dia bahkan sampai melompat ke atas punggung Ning Zixuan, yang hanya bisa mendesah kesal namun tak terkejut dengan tingkah Qiao Li yang memang selalu kekanak-kanakan.