Ayu menggugat cerai suaminya karena tak ingin dimadu. Memiliki tiga orang anak membuat hidupnya kacau, apalagi mereka masih sangat kecil dan butuh kasih sayang yang lengkap, namun keadaan membuatnya harus tetap kuat.
Sampai pada suatu hari ia membanting setir menjadi penulis novel online, berawal dari hobi dan akhirnya menjadi miliarder berkat keterampilan yang dimiliki. Sebab, hanya itu yang Ayu bisa, selain bisa mengawasi anak-anaknya secara langsung, ia juga mencari wawasan.
Meskipun penuh rintangan tak membuat Ayu patah semangat. Demi anak-anaknya ia rela menghadapi kejam ya dunia sebagai single Mom
Bergulirnya waktu, nama Ayu dikenal di berbagai kalangan, disaat itu pula Ikram menyadari bahwa istrinya adalah wanita yang tangguh. Berbagai konflik pun kembali terjadi di antara mereka hingga masa lalu yang kelam kembali mencuat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Single Mom
Tatapan Ayu kosong. Ucapan Ikram yang lebih memilih wanita lain itu masih terngiang-ngiang di otaknya. Seolah kebersamaannya sepuluh tahun tak ada artinya lagi.
Kini ia harus siap menjalani kesendirian bersama dengan ketiga anaknya yang masih sangat kecil. Ia harus bisa melawan ketakutan yang terkadang terselip.
Takut tidak bisa membesarkan ketiga anaknya dengan baik, dan takut mereka tidak bisa bersekolah tinggi seperti harapannya.
Ayu melepas mukenanya lalu membangunkan Hanan yang masih tenggelam di alam mimpi.
"Kakak waktunya sekolah, cepetan mama mau kerja," ucap Ayu menyibak selimut sang putra.
"Sebentar lagi, Ma. Aku masih ngantuk."
Ya, sejak perdebatan itu Ayu memutuskan bekerja di sebuah restoran untuk menghidupi ketiga anaknya. Sebab, Ikram sudah tak lagi mengirim uang padanya. Bahkan, pria itu tak pulang sama sekali.
Ingin sekali Ayu pergi sejauh mungkin dari rumah itu, namun ia belum memiliki uang untuk menyewa rumah, hingga ia harus bekerja. Terlebih, Hanan pun kekeh dan tidak ingin pergi.
Ayu berdiri di samping ranjang dengan kedua tangan dilipat.
Dalam hati ingin membentak, namun bibirnya kelu. Anak bukan ajang pelampiasan kemarahannya saat emosi terhadap Ikram. Namun, mereka adalah sumber kekuatan yang harus dijaga, sekarang dan selamanya.
Meskipun cinta Ikram untuk anak-anaknya mulai surut, Ayu tidak peduli dan akan tetap menyayangi mereka seutuhnya.
"Ini bukan saatnya bermalas-malasan, Nak. Mama mau kerja," ucap Ayu menegaskan. Ia tak bisa membuang waktu yang cukup berharga.
Hanan mengangkat kepalanya. Memaksakan matanya yang terasa berat untuk terbuka.
"Iya, Ma." Turun dari ranjang dan ke kamar mandi.
Ayu menyiapkan kebutuhan Hanan, setelah itu bergantian mengurus Alifa. Seharusnya tahun ini bocah itu juga akan sekolah, namun harus gagal karena keadaan orang tuanya yang berada ambang perceraian.
"Alifa, bangun yuk! Mama mau kerja, Nak." Mengusap kening Alifa dengan lembut. Mencium kedua pipinya sampai bocah itu membuka mata.
Melihat jam yang ada di nakas. Ternyata waktunya sudah terlalu mepet hingga Ayu harus mengangkat tubuh mungil Alifa ke kamar mandi.
Jika dulu Hanan diantar jemput mobil sendiri, kini Ayu menitipkan Hanan pada sahabat nya yang juga satu sekolah.
Ayu memandikan dan mengganti baju Adiba. Memasukkan beberapa popok ganti ke dalam tas. Kemudian menghampiri Alifa yang duduk di ruang tamu.
"Ayo, Nak. Kita harus berangkat sekarang."
Menggandeng tangan Alifa dan melangkah cepat. Buru-buru takut terlambat dan dimarahi oleh atasan.
Sebelum ke restoran, Ayu menitipkan Alifa di sebuah panti, karena ia tak bisa membawa kedua anaknya sekaligus, takut ditegur pihak restoran dan juga sesama waitress. Hanya Adiba yang selalu bersamanya. Ia belum tega meninggalkan bocah itu bersama orang lain.
Layaknya pelayan yang lain, Ayu bekerja sesuai prosedur, anak bukan halangan baginya untuk mencari rezeki.
"Ayahnya ke mana?" Salah tayu pelayan bertanya pada Ayu yang nampak sibuk memindahkan Adiba ke punggung.
"Sudah satu bulan papanya gak pulang," jawab Ayu singkat, tangannya terus mengelap meja.
Ini kali pertama Ayu mengungkap tentang suaminya pada orang lain.
Seorang wanita cantik yang bernama Runi menghampiri Ayu.
"Kenapa kamu gak pergi saja, sih. Ngapain laki-laki seperti itu diharapkan."
Ayu membalikkan tubuh. Menatap beberapa teman seperjuangannya yang berdiri di sampingnya.
"Aku sudah tidak mengharapkannya lagi. Aku belum pergi karena masih butuh uang untuk menyewa rumah. Gak mungkin aku ajak anak-anak tidur di kolong jembatan, dan gak mungkin aku meminta uang pada suamiku yang sudah jelas memiliki wanita lain," jelas Ayu panjang lebar.
Mereka yang mendengar ikut prihatin dengan kondisi Ayu, meskipun begitu wanita itu tak ingin dibantu.
"Semangat." Memeluk Ayu dengan erat. Memberikan dukungan untuk tetap tersenyum dibalik masalah yang membelit.
Waktu begitu cepat berlalu, sehari penuh Ayu bekerja, ia hanya beristirahat saat menjalankan kewajibannya, selebihnya menjalankan aktivitasnya dengan rajin.
"Da—da…"
Lambaian tangan terus mengiringi saat Ayu keluar dari restoran. Ia segera menjemput Alifa dan Hanan sebelum pulang ke rumah.
Entahlah, ini adalah awal dari kehancuran atau justru kebangkitannya dari kebodohan, Ayu merasa berada di titik terendah. Meskipun begitu, ia mengesampingkan semua kesulitan demi anak-anak.
Hanan tersenyum lebar saat melihat Sang mama yang sudah tiba. Bocah itu berhamburan memeluk Ayu, seperti yang dilakukan Alifa.
"Maaf ya, mama terlambat. Lain kali mama akan menjemputmu tepat waktu." Ayu mengecup kening Hanan.
Ayu pulang ke rumah jalan kaki karena jaraknya yang tinggal dekat.
Kesepian kini dirasakan jelas oleh Hanan dan Alifa, dulu saat malam mereka bisa bermain dengan Ikram, kini ia hanya bisa bertanya-tanya tentang keberadaan papanya.
"Aku mau dipeluk papa, Ma." Alifa merengek sambil menarik baju Ayu. Dari semua anaknya hanya gadis kecil itu yang paling dekat dengan Ikram, hingga sepenuhnya merasakan kehilangan.
Ayu tersenyum tipis. Membaringkan Adiba yang sudah setengah terlelap. Bergantian menggendong Alifa mengelilingi rumah. Memperlihatkan keindahan malam supaya bisa lupa dengan sosok yang terus di carinya.
"Mulai sekarang Alifa gak boleh menanyakan papa lagi. Mama bisa memberikan apapun yang pernah diberikan papa," rayu Ayu meyakinkan.
Alifa menyandarkan kepalanya di dada Ayu, berharap bisa terlelap meskipun tanpa kehangatan seorang ayah.
Pekerjaan Ayu tak selesai di situ saja. Pasca menidurkan Alifa dan Adiba, ia harus mengurus Hanan yang masih sibuk bermain game.
"Kakak, cepetan tidur!" Ayu memeriksa semua pintu dan jendela. Menutup gorden dan mengunci pintu.
Hanan berdecak kesal, sedikitpun tak menghiraukan Ayu. Beralih posisi memunggungi sang mama.
"Kakak dengerin mama gak sih? Sudah malam, sini!" Merebut benda dari tangan Hanan yang membuat sang empu cemberut.
Hanan menatap Ayu yang nampak merapikan ponsel miliknya ke dalam tas tanpa membantah sepatah kata pun.
"Mulai hari ini kakak gak boleh main lagi. Mama gak suka," ucap Ayu menekankan.
Hanan beranjak dan berlari ke kamarnya. Suara pintu tertutup dengan keras menandakan bahwa bocah itu marah.
Ayu meredam amarahnya. Bagaimanapun juga ia harus mendidik anaknya seorang diri dan tidak boleh emosi. Ia membuka pintu kamar Hanan menatap sang putra yang berbaring di atas ranjang.
"Hanan marah sama mama?" tanya Ayu mengusap punggung Hanan yang ada di balik selimut.
Tidak ada jawaban, Hanan memilih untuk memejamkan mata. Pura-pura tidak melihat Ayu yang duduk di tepi ranjang.
"Hanan harus belajar hidup tanpa papa. Mulai sekarang harus mandiri dan bisa melakukan apapun sendiri."
"Tapi kalau papa gak melarang aku main game, Ma," protes Hanan.
Seketika Ayu menangkup kedua pipi Hanan.
"Jangan samakan mama dan papa. Mulai sekarang dan seterusnya Hanan harus pintar dan tidak bergantung lagi pada papa," Ayu menegaskan.
Hanan hanya bisa mencerna setiap kata yang meluncur dari bibir Ayu.
nambah kesni nambah ngawur🥱