Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.
Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.
Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Hari Dalam Kegelapan
11.1. Harapan dalam Kegelapan
Setelah mendengar kabar bahwa suhu di luar sudah tidak sepanas sebelumnya, suasana dalam bunker terasa sedikit lebih tenang. Meskipun kegelapan masih melanda, ada secercah harapan yang mengalir dalam hati setiap orang. Mereka saling berpandangan, merasakan lega bahwa mungkin, hanya mungkin, mereka bisa bertahan hidup.
Dua puluh hari tanpa makanan dan minuman adalah waktu yang panjang. Tangan-tangan mereka yang dulu kuat kini mulai terlihat keriput, dan wajah-wajah mereka tampak semakin pucat. Namun, berkat dzikir yang tiada henti, semangat mereka masih menyala.
Ulama itu berdiri di tengah kelompok, suara tegasnya menggema dalam kegelapan. “Saudaraku, kita telah melewati dua puluh hari ini dengan penuh kesabaran. Ingatlah, Allah selalu bersama hamba-Nya yang beriman. Jangan pernah berhenti berdzikir, karena itu adalah sumber kekuatan kita.”
Di sudut bunker, Maria, seorang wanita yang tampak semakin lemah, berusaha untuk berbicara. “Ulama, apakah kita masih akan bertahan seperti ini selamanya? Apa tidak ada harapan lain?” Suaranya bergetar, mencerminkan kecemasan yang menggerogoti hatinya.
Ulama itu mengangguk, menempatkan tangannya di bahu Maria. “Harapan selalu ada. Selama kita terus berdoa dan berdzikir, Allah pasti akan menunjukkan jalan. Kegelapan ini mungkin terasa menakutkan, tetapi ingatlah, di balik setiap kegelapan ada cahaya.”
Seorang pria bernama Farhan, yang duduk di samping Maria, menambah semangatnya. “Kita sudah sampai sejauh ini. Kita tidak boleh menyerah! Ingat, setiap dzikir yang kita panjatkan membawa kita lebih dekat kepada Allah.”
Suara-suara penuh harapan mulai memenuhi ruang gelap itu. Mereka saling mendukung dan membangkitkan semangat satu sama lain, meskipun perut mereka bergemuruh karena lapar. Kegelapan dan rasa lapar membuat mereka merasa seolah-olah terperangkap dalam dunia yang tak berujung, tetapi dzikir memberikan mereka sedikit kelegaan.
“Kalau kita terus seperti ini, bagaimana nasib kita ke depan?” tanya seseorang, nada suaranya penuh kekhawatiran.
Ulama itu menjawab dengan tegas, “Kita akan bertahan! Dzikir kita adalah makanan bagi jiwa, dan Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya yang beriman menderita tanpa sebab.”
Di tengah ketegangan, seorang pria bernama Amir berusaha mengalihkan perhatian dengan humor. “Siapa yang berani tebak-tebakan? Kita butuh sedikit hiburan di tengah kegelapan ini!”
“Di sini? Dalam gelap gulita?” tanya seorang wanita skeptis.
“Ya, kenapa tidak? Kita perlu menjaga semangat!” jawab Amir dengan semangat.
Akhirnya, mereka mulai saling bertukar lelucon dan tebak-tebakan, suasana menjadi lebih hidup meskipun masih dalam kegelapan. Tawa menggema di dalam bunker, seakan-akan mengusir ketakutan yang menyelimuti mereka.
Ulama itu tersenyum mendengar tawa mereka. “Ingat, tawa dan dzikir adalah obat bagi hati yang gelisah. Teruslah berdzikir, dan kita akan melalui ini semua bersama-sama.”
Dengan harapan baru, mereka kembali ke dzikir, suara mereka bersatu dalam kegelapan, mengusir rasa takut yang menyelimuti hati.
11.2. Udara Dingin yang Mengejutkan
“Ulama, saya ingin membuka pintu bunker ini!” suara Rafi terdengar keras di tengah kegelapan. “Di luar sudah tidak panas, saya ingin menghirup udara segar. Di sini penat sekali!”
Ulama itu merenung sejenak, mendengarkan kerumunan di sekitarnya yang juga tampak setuju. “Jika kalian semua setuju, silakan. Tapi ingat, tetap waspada.”
Semua berseru setuju, berharap bisa merasakan sedikit kebebasan. Rafi maju ke pintu, merasakan jantungnya berdebar karena rasa penasaran dan sedikit ketakutan. Dia memutar pegangan pintu dan membukanya perlahan.
Begitu pintu terbuka, angin dingin menerobos masuk, menyentuh wajah-wajah mereka. “Brrr…!” beberapa orang terkejut saat hawa dingin itu menyengat. Rafi terbatuk kaget. “Wow, ini bukan sekadar dingin! Ini es!”
Di luar, meski gelap gulita, udara terasa sejuk. Bumi yang biasanya hangat kini dingin karena sudah dua puluh hari tidak terpapar sinar matahari. Rafi menghirup udara dalam-dalam, tetapi alih-alih merasa segar, dia malah menggigil.
“Jangan buka terlalu lebar!” seru Maria, suaranya cemas. “Kita bisa terjebak dalam kegelapan dan dingin ini!”
Ulama itu segera mendekat. “Tutup kembali pintunya, Rafi. Ini bukan saat yang tepat untuk mengambil risiko. Kita sudah terlalu lama di sini.”
Rafi menutup pintu dengan cepat, tetapi rasa dingin itu masih membekas. “Tapi setidaknya kita tahu, di luar tidak seburuk yang kita bayangkan,” katanya berusaha optimis.
Di dalam bunker, suasana kembali tegang. “Bagaimana kita bisa bertahan di sini?” tanya seseorang, suaranya penuh kecemasan.
“Dengan dzikir!” ulama itu menjawab tegas. “Ulangi kata-kata suci itu. Ingat, Allah tidak akan meninggalkan kita. Semangat kita harus lebih kuat dari kegelapan di luar.”
Ketika semua orang mulai berdzikir, Rafi merasakan kekuatan baru mengalir dalam diri. Meski dingin dan gelap melanda, dzikir mereka menjadi sumber harapan dan kehangatan di tengah kesulitan.
“Baiklah, kita harus terus berdoa dan berdzikir,” Rafi berseru, berusaha mengusir rasa dingin yang menggigit. “Kita bisa melewati ini bersama.”
Dengan semangat itu, mereka melanjutkan dzikir, suara mereka menyatu dalam kegelapan, mengusir rasa takut dan kebingungan, menyiapkan hati dan jiwa untuk apa pun yang akan datang.
11.3. Suara Misterius di Kegelapan
Hari ke-20 di dalam bunker berlalu dengan perlahan. Suasana semakin mencekam, udara dingin yang menyusup dari luar terus meresap ke dalam, namun dzikir yang diulang-ulang menjadi satu-satunya penghibur bagi orang-orang yang tinggal di sana. Mereka mulai terbiasa dengan ritme kehidupan tanpa cahaya, tanpa makanan, dan tanpa minuman.
Namun di malam itu, sesuatu yang aneh terjadi. Ketika semua orang sedang beristirahat dan berdzikir, sebuah suara samar terdengar dari luar bunker. Awalnya, hanya sedikit yang memperhatikan. Suara itu terdengar seperti gesekan, atau mungkin langkah kaki. Beberapa orang mulai mengerutkan dahi, bertanya-tanya apakah mereka hanya berhalusinasi karena terlalu lama berada di dalam kegelapan.
"Apakah kalian dengar itu?" tanya seorang pria berbisik. Suaranya bergetar penuh kekhawatiran.
Beberapa orang mengangguk. Maria, yang duduk di dekat ulama, merasakan bulu kuduknya meremang. "Itu bukan imajinasi kita, kan? Suara itu nyata..."
Rafi, yang tadi membuka pintu, maju lagi. "Apakah ada sesuatu di luar sana?"
Ulama itu, yang selalu terlihat tenang, kali ini sedikit mengernyit. "Tetap tenang, semua. Jangan biarkan rasa takut menguasai kita."
Tiba-tiba suara itu menjadi lebih keras, terdengar seperti sesuatu yang menggeretakkan benda logam di atas tanah. Suara misterius itu bergema di seluruh bunker. Orang-orang mulai berbisik-bisik, ketakutan menyelimuti mereka.
"Apa itu?" tanya Maria dengan nada cemas. "Apakah ini akhir kita?"
"Ayo, jangan berpikir negatif!" seru ulama. "Bertahanlah. Dzikir akan melindungi kita dari segala marabahaya."
Namun, suara itu semakin mendekat. Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh kecil di dekat pintu bunker. Sesuatu atau seseorang tampaknya berada di luar, mencoba masuk.
Rafi berdiri dengan cepat, merasa terpaksa mendekati pintu lagi. "Apakah kita harus memeriksanya?"
"Tunggu!" kata ulama dengan tegas. "Kita tidak tahu apa yang ada di luar sana. Mungkin ini cobaan lain. Jangan terburu-buru."
Semua diam, kecemasan menggantung di udara. Suara itu semakin dekat, dan orang-orang mulai merasa putus asa. Tapi tiba-tiba, suara itu berhenti.
Hening.
Tidak ada yang berani bergerak, tidak ada yang berbicara. Bahkan napas mereka terasa terhenti. Waktu seperti berjalan lambat, detik-detik berlalu dengan ketegangan yang tak tertahankan.
Rafi menelan ludah. "Apakah... apakah mereka pergi?"
Ulama itu menghela napas panjang, kemudian bicara dengan suara yang tegas, meski masih pelan. "Dzikir. Kita hanya punya dzikir. Apa pun yang terjadi, ingatlah bahwa hanya dengan mengingat Allah, kita akan diberi kekuatan."
Semua orang mulai berdzikir lagi, mencoba mengusir rasa takut yang menguasai mereka. Mereka tidak tahu apa yang menunggu di luar, tetapi di dalam bunker itu, dalam kegelapan yang pekat, mereka harus bertahan.
11.4. Bayangan Misterius
Hari ke-20 dalam bunker menjadi semakin menegangkan setelah suara misterius dari luar berhenti tiba-tiba. Semua orang mulai berdzikir lagi, berusaha menenangkan diri dari ketakutan yang membayangi. Udara dingin semakin meresap, membuat tubuh mereka menggigil dalam kegelapan yang pekat.
Tiba-tiba, salah satu penghuni bunker, seorang pria muda bernama Hamid, yang duduk di sudut ruangan, bersuara lirih. "Aku melihat sesuatu... sesuatu di luar sana..."
Orang-orang di sekitarnya langsung membelalakkan mata, meski dalam kegelapan. Suara Hamid yang bergetar membuat mereka penasaran dan sekaligus takut.
"Apa maksudmu?" tanya Maria dengan nada takut-takut.
Hamid melanjutkan, "Ketika pintu bunker tadi sedikit terbuka... aku melihat sesuatu, seperti... bayangan besar. Aku tidak yakin apa itu, tapi sepertinya... makhluk besar berdiri di luar."
"Apa?!" seru Rafi, yang tadinya berniat membuka pintu lagi. "Kau pasti hanya berhalusinasi. Kita semua sudah berada di sini terlalu lama, mungkin pikiran kita mulai bermain-main dengan kita."
Namun, Hamid bersikeras. "Aku tidak gila! Aku melihatnya. Ada sesuatu yang besar di luar sana, lebih besar dari manusia biasa."
Suasana kembali mencekam. Setiap orang mulai memikirkan kemungkinan terburuk, mulai dari makhluk asing hingga binatang buas yang mungkin muncul akibat bencana. Namun, ulama tetap tenang dan berkata, "Apapun itu, ingatlah, cobaan ini tidak datang kecuali atas kehendak Allah. Jangan biarkan rasa takutmu mengalahkan imanmu. Dzikir adalah benteng kita."
Namun, Hamid tampak tidak tenang. "Apa kita hanya akan diam saja? Bagaimana jika itu mencoba masuk? Kita bahkan tidak tahu apakah bunker ini cukup kuat untuk melindungi kita!"
Ulama menatapnya tajam dalam kegelapan, suaranya penuh wibawa. "Hamid, kita harus percaya. Ketika kita berpegang pada iman, segala cobaan akan terasa ringan. Jangan biarkan dirimu terperangkap dalam ketakutan."
Tapi sebelum Hamid bisa menjawab, terdengar bunyi berderak lagi dari arah pintu bunker. Kali ini, bunyi itu lebih keras, seolah ada sesuatu yang menyentuh pintu dari luar. Orang-orang langsung tegang.
"Ada sesuatu di luar!" teriak seseorang di sudut bunker. Kegelisahan mulai merayap di hati semua orang. Beberapa di antara mereka mulai berbisik dan panik.
Rafi berdiri dan bergerak menuju pintu, tapi ulama segera menghentikannya. "Jangan bergerak ke sana. Tetap di sini. Kita harus bersatu dalam dzikir."
Orang-orang mulai berdzikir lebih keras, berharap suara itu akan menjauh. Namun bunyi berderak dari luar semakin kuat, seakan-akan ada makhluk besar yang sedang mondar-mandir di luar bunker, mencari celah untuk masuk.
"Apakah kita akan selamat dari ini?" tanya Maria dengan suara bergetar.
Ulama menjawab dengan tegas, "Jika kita tetap teguh dalam iman dan dzikir, insya Allah kita akan selamat. Apapun yang terjadi di luar sana adalah ujian untuk kita. Bertahanlah, karena ini baru permulaan."
Mereka semua mulai berdzikir lebih khusyuk, berharap bahwa apapun yang ada di luar bunker akan pergi. Detik demi detik berlalu dalam kecemasan, namun suara itu tetap ada, tidak bergerak lebih jauh, tetapi juga tidak pergi. Gelap, dingin, dan ketakutan melingkupi mereka.
Saat malam semakin larut, ulama berbicara lagi dengan suara pelan namun penuh kekuatan, "Kita tidak sendiri. Allah bersama kita. Jangan biarkan bayangan di luar itu menguasai hati kalian. Dzikir adalah kunci kita untuk bertahan. Teruskan, jangan berhenti."
Dan begitu mereka semua tenggelam dalam dzikir, suara dari luar perlahan-lahan mulai menghilang. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di luar, tetapi di dalam bunker, mereka terus bertahan, hari demi hari, dengan iman yang semakin kuat.
11.5. Suara Misterius Terungkap
Ketegangan di dalam bunker semakin memuncak. Semua penghuni berkeringat dingin meski udara luar terasa begitu dingin menusuk. Mereka masih terdiam setelah suara berderak itu menghilang, namun rasa cemas belum juga sirna. Beberapa orang mulai berbisik-bisik di antara mereka, sementara yang lain masih sibuk berdzikir.
Tiba-tiba, terdengar suara keras dari arah pintu bunker. DUUUM!
"Pintu itu ditabrak!" teriak seseorang di sudut bunker. Orang-orang langsung terlonjak panik, beberapa di antaranya berdiri, seolah-olah bersiap untuk melarikan diri meski mereka tahu tidak ada jalan keluar.
"Tenang! Tenang semua!" seru ulama dengan suara tegas, meski kali ini pun nadanya terdengar sedikit gentar. "Kita harus tetap bersatu dalam dzikir. Apa pun yang ada di luar sana, kita akan selamat jika terus meminta perlindungan Allah."
Namun, di tengah kepanikan itu, seorang pria bernama Ridwan, yang duduk dekat pintu, tiba-tiba mendekat dan mengintip melalui celah kecil di bawah pintu besi bunker. Matanya menyipit saat mencoba melihat sesuatu dalam kegelapan pekat.
Beberapa saat kemudian, Ridwan tertawa kecil. "Astaghfirullah... kalian tidak akan percaya apa yang ada di luar sana."
"Apa?!" tanya Maria yang mendekat penasaran. Orang-orang lainnya mulai merapat, meskipun mereka masih merasa takut.
Ridwan berdiri dan membalikkan tubuhnya, menatap semua orang dengan ekspresi bingung, namun juga penuh keheranan. "Itu gajah."
Suasana hening sejenak.
"Apa maksudmu gajah?" tanya Rafi, tidak yakin apakah Ridwan sedang bercanda atau tidak.
"Ya, seekor gajah besar di luar sana. Dia menabrakkan tubuhnya ke pintu bunker ini. Mungkin karena dia juga sedang kebingungan, mungkin mencari tempat berlindung dari kegelapan ini."
Orang-orang di dalam bunker sejenak terdiam. Kabar bahwa suara misterius itu ternyata berasal dari seekor gajah terasa aneh sekaligus melegakan. Beberapa orang mulai tertawa kecil karena rasa lega, namun juga bingung bagaimana seekor gajah bisa bertahan hidup dalam kondisi dunia yang begitu hancur.
"Astagfirullah... jadi selama ini kita takut pada seekor gajah?" kata seorang pria dengan nada tak percaya.
"Yah, gajah juga makhluk Allah, kan? Mungkin dia juga sedang bertahan hidup," kata ulama dengan suara tenang, sambil berusaha meredakan ketegangan yang tersisa. "Tapi ingat, kita tidak tahu apa yang terjadi di luar sana. Gajah ini mungkin hanya salah satu dari sedikit makhluk yang masih hidup. Kita harus tetap waspada dan terus berdzikir."
Namun, Ridwan tidak bisa menahan tawanya lagi. "Bayangkan... kita semua hampir gila karena suara seekor gajah!"
Tawa mulai menyebar di antara penghuni bunker. Suasana yang semula mencekam berubah menjadi lebih ringan, meskipun udara di dalam bunker tetap bacin dan kegelapan terus menyelimuti mereka. Setidaknya, untuk sesaat, mereka bisa merasakan sedikit kelegaan di tengah cobaan yang begitu berat.
"Aku tidak percaya. Seekor gajah," gumam Rafi sambil menggelengkan kepalanya, antara tertawa dan bingung.
"Tapi ingat," kata ulama lagi, suaranya lebih serius kali ini. "Cobaan kita belum selesai. Dunia luar masih gelap, dan kita masih harus bertahan. Jangan sampai kita lengah hanya karena seekor gajah."
Mereka semua mengangguk, kembali tenggelam dalam dzikir, namun dengan sedikit senyum di wajah mereka, setidaknya merasa sedikit lebih kuat setelah melalui ketakutan yang ternyata tak beralasan.