Hana tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam semalam. Dari seorang mahasiswi yang polos, ia terjebak dalam pusaran cinta yang rumit. Hatinya hancur saat memergoki Dion, pria yang seharusnya menjadi tunangannya, selingkuh. Dalam keterpurukan, ia bertemu Dominic, pria yang dua kali usianya, tetapi mampu membuatnya merasa dicintai seperti belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Dominic Lancaster bukan pria biasa. Kaya, berkuasa, dan memiliki masa lalu yang penuh rahasia. Namun, siapa sangka pria yang telah membuat Hana jatuh cinta ternyata adalah ayah kandung dari Dion, mantan kekasihnya?
Hubungan mereka ditentang habis-habisan. Keluarga Dominic melihat Hana hanya sebagai gadis muda yang terjebak dalam pesona seorang pria matang, sementara dunia menilai mereka dengan tatapan sinis. Apakah perbedaan usia dan takdir yang kejam akan memisahkan mereka? Ataukah cinta mereka cukup kuat untuk melawan semua rintangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sama-sama takut
Malam itu, di bawah langit yang bertabur bintang, Hana dan Dominic duduk berdampingan di pinggir danau seperti biasa. Suasana begitu tenang, hanya suara angin yang berhembus lembut dan gemerisik air yang sesekali beriak.
Hana menatap refleksi dirinya di permukaan air. Hatinya masih dipenuhi dengan pertanyaan tentang masa lalu Dominic, tentang alasan pria itu selalu ada untuknya. Tapi ia tidak ingin memaksanya bicara.
Lalu tiba-tiba, Dominic memecah keheningan dengan satu pertanyaan yang membuat Hana terdiam.
“Mau jadi pasangan saya?”
Hana menoleh, matanya membelalak. “Apa?”
Dominic menatapnya dengan ekspresi serius, tidak ada tawa atau godaan seperti biasanya.
“Saya tanya, mau jadi pasangan saya?” ulangnya, lebih pelan tapi dengan tekanan yang lebih dalam.
Jantung Hana berdegup kencang.
Ia tidak tahu harus menjawab apa.
Dominic selalu membuatnya nyaman, selalu ada saat ia membutuhkan seseorang, tetapi… apakah ini benar? Apakah ini sesuatu yang harus ia terima begitu saja?
“Kamu serius?” Hana berbisik, suaranya nyaris tidak terdengar.
Dominic mengangguk. “Saya nggak pernah main-main, Hana.”
Hana menggigit bibirnya, dadanya sesak oleh berbagai emosi.
“Aku… Aku nggak tahu. Aku takut.” Ia menelan ludah, mencoba menyusun kata-kata.
“Takut kenapa?” Dominic tetap menatapnya tanpa berkedip.
“Takut kalau ini cuma sesaat. Takut kalau aku cuma pelarian buat kamu. Takut kalau aku akan jatuh terlalu dalam… lalu kamu pergi.” Hana menghela napas, tangannya mengepal di atas lututnya.
Mata Dominic sedikit melembut, tetapi ia tidak langsung menjawab. Ia membiarkan keheningan mengisi ruang di antara mereka, membiarkan Hana mendengar detak jantungnya sendiri yang berdegup panik.
Kemudian, dengan suara tenang namun dalam, Dominic berkata, “Kalau saya bilang saya juga takut, kamu percaya?”
Hana terkejut.
Dominic tersenyum kecil, tapi kali ini, senyum itu penuh dengan kejujuran. “Saya takut… kalau saya nggak bisa jadi pria yang tepat buat kamu. Saya takut kalau kamu akan sadar suatu hari nanti bahwa saya lebih tua, bahwa kamu bisa dapat seseorang yang lebih cocok.”
Hana menatapnya dalam. Ia bisa merasakan ketulusan di balik kata-kata itu.
Dominic bukan hanya sekadar pria yang ingin mengisi kekosongan dalam hidupnya. Ia juga seseorang yang memiliki ketakutannya sendiri.
Lalu tiba-tiba, sesuatu dalam diri Hana menjadi lebih ringan.
Ia mengulurkan tangannya, jemarinya menyentuh jemari Dominic dengan ragu.
“Kalau kita sama-sama takut… Mungkin kita bisa jalanin ini pelan-pelan.” bisiknya.
Dominic menatap tangannya yang kini ada di genggamannya, lalu tersenyum lembut.
“Jadi… itu ‘iya’?” tanya Dominic, nadanya sedikit menggoda.
“Bisa dibilang begitu.” Hana tertawa kecil, meskipun matanya masih berembun.
Dominic menghela napas lega, lalu menarik tangan Hana lebih erat, seolah memastikan bahwa ia benar-benar ada di sana.
Malam itu, tidak ada janji besar yang dibuat.
Hanya dua orang yang sama-sama terluka, mencoba menemukan tempat mereka satu sama lain.
Marini menatap Hana dengan tatapan curiga. Mereka sedang duduk di kafe langganan, tempat biasa mereka berbagi cerita tentang hidup, cinta, dan masalah yang tak pernah ada habisnya. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
Hana, yang seharusnya masih terpuruk setelah patah hati, justru tersenyum lebih sering dari biasanya.
Terlalu sering.
“Apa yang sebenarnya terjadi sama lo, Han?” tanya Marini akhirnya, memandangi sahabatnya yang tengah mengaduk minumannya dengan tatapan menerawang.
Hana tersentak, lalu tertawa kecil. “Kenapa?”
“Lo baru aja ditinggal selingkuh sama cowok brengsek itu, tapi belakangan ini lo malah sering senyum sendiri, jangan bilang lo masih berharap sama Dion.” Marini menyipitkan mata.
Mendengar nama itu, Hana mendadak terdiam. Senyum di wajahnya memudar sedikit, tapi hanya sekejap. Kemudian, ia kembali tersenyum, meskipun matanya menyiratkan sesuatu yang lain.
“Gue udah nggak mikirin Dion, dia udah gue buang ke laut!” katanya pelan.
“Terus kenapa lo kayak orang yang lagi jatuh cinta?” Marini masih belum puas dengan jawaban itu.
Hana tertawa kecil lagi, tapi kali ini ada sesuatu di balik tawanya. Seperti seseorang yang mencoba menutupi sesuatu yang besar.
“Apa mungkin… Lo udah deket sama cowok lain?” Marini mencondongkan tubuhnya ke depan.
Hana tersentak, lalu buru-buru mengambil sedotan dan meminum es kopinya. “Nggak ada yang spesial.”
Marini mendengus. “Lo nggak pernah bisa bohong sama gue, Hana.”
Hana menggigit bibirnya, ragu. Jantungnya berdegup cepat. Ia ingin berbagi cerita, ingin menceritakan semua yang terjadi—tentang Dominic, tentang bagaimana pria itu membuatnya merasa lebih hidup di tengah luka.
Tapi… bagaimana jika Marini tidak setuju? Bagaimana jika sahabatnya menghakimi pilihan hatinya?
“Ada seseorang, kan?” desak Marini lagi. “Lo bisa cerita, Han. Lo tahu itu.”
Hana menatap mata sahabatnya yang penuh perhatian.
Akhirnya, dengan suara yang nyaris seperti bisikan, ia berkata, “Ada seseorang.”
Marini terdiam sesaat, lalu mengangguk. “Siapa?”
Hana menggigit bibirnya. “Dominic.”
Dahi Marini mengernyit. “Dominic? Siapa dia?”
Hana menghela napas panjang. “Dia… pria yang gue temui setelah semuanya hancur. Dia yang bikin gue ngerasa nggak sendirian. Dia lebih tua.”
Marini menatap Hana lekat-lekat, mencoba membaca ekspresinya. “Lebih tua seberapa?”
Hana menelan ludah. “Enam belas tahun.”
Mata Marini melebar. “Enam belas tahun? Dan lo serius sama dia?” Ia terdengar kaget, tapi bukan marah. Hanya… terkejut.
Hana mengangguk pelan.
Marini masih belum bicara. Ia menatap Hana seolah sedang mencari sesuatu, mungkin tanda-tanda bahwa sahabatnya ini hanya tersesat, hanya butuh pelarian.
Tapi yang ia temukan adalah sesuatu yang lain.
Ada kebahagiaan di mata Hana, meskipun samar. Tapi di balik itu, ada juga ketakutan.
“Lo suka sama dia?” tanya Marini akhirnya, lebih pelan.
Hana menunduk, mengaduk minumannya tanpa arah. “Gue nggak tahu… Gue cuma tahu, setiap kali gue sama dia, gue ngerasa lebih baik. Dia nggak pernah janji apa-apa, tapi dia selalu ada.”
“Han… gue nggak akan ngejudge lo. Tapi lo harus yakin kalau ini bukan cuma pelarian.” Marini menarik napas panjang, lalu mengulurkan tangan, menggenggam tangan Hana di atas meja.
“Gue juga nggak tahu, Mar. Gue cuma jalanin aja.” Hana tersenyum kecil, tapi kali ini senyum itu lebih nyata.
Marini menatap sahabatnya lama, lalu akhirnya menghela napas. “Oke. Gue bakal dukung lo, tapi dengan satu syarat.”
Hana menatapnya penasaran. “Apa?”
“Lo harus janji sama gue, kalau suatu hari dia nyakitin lo, lo nggak bakal nyembunyiin itu dari gue.” kata Marini dengan serius.
Hana terdiam.
Setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan. “Janji.”
Dan meskipun ada banyak hal yang belum pasti, satu hal yang Hana tahu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidak hanya bertahan hidup.
Ia mulai merasa hidup kembali.
Bersambung...