Malam itu, Gwen seorang gadis remaja tidak sengaja memergoki cowok yang dia kejar selama ini sedang melakukan pembunuhan.
Rasa takut tiba-tiba merayap dalam tubuhnya, sekaligus bimbang antara terus mengejarnya atau memilih menyerah, Karena jujur Gwen sangat takut mengetahui sosok yang dia puja selama ini ternyata seorang pria yang sangat berbahaya, yaitu Arsenio.
Dia baru tahu, kalo Arsenio itu keturunan dari keluarga mafia. Akankah dia tetap mencintai Arsenio?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia membuat menantu papi menangis
Arsenio dan ketiga sahabatnya, Rafa, Eliano, serta Danny, tengah berjalan gontai menyusuri koridor kampus. Hanya celoteh Danny dan Eliano yang memecah kesunyian, ketika tiba-tiba langkah mereka terhenti.
Depan layar tancap kampus itu, kerumunan mahasiswa berkerumun, mata mereka terpaku pada berita yang menggegerkan. Arsenio yang melihatnya, tangannya menggenggam erat, tatapannya datar menyapu layar di depannya.
"Siapa yang main-main sama gue, bangsat," desis Arsenio dengan suara dingin. Layar itu menayangkan berita tentang dirinya yang disebut-sebut sebagai pembunuh.
"Nio, itu akun Gwen nggak sih?" bisik Danny tajam, menunjuk ke bagian bawah layar di mana akun @gwenasey terpampang jelas. Semua mata di sana seketika tertuju padanya.
Tak sempat Arsenio bereaksi lebih lanjut, derap langkah cepat mendekat dari belakang. Dia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu. "Kak Nio!" Gwen muncul, berdiri tepat di depan Arsenio yang masih menatap layar di depannya dengan pandangan yang belum juga bergeming.
Gwen meremas tangan Arsenio dengan gugup, air mata mulai menggenang di matanya. "Kak, bukan aku yang melakukannya," ujarnya sambil menangis, takut bahwa Arsenio akan percaya dia yang menyebarkan gosip itu.
Memang benar, Gwen tak sengaja melihat Arsenio dalam adegan menembak orang. Arsenio hanya diam, matanya menatap ke jauh, seakan tenggelam dalam pikiran sendiri.
"Kak?" Gwen memanggil lembut, mencoba mencari jejak pengertian di wajah Arsenio. Namun, percakapan mereka terputus oleh cercaan sinis dari beberapa anak kampus yang lewat.
"Ga tahu malu ya, Gwen. Udah dibela-bela sama Arsenio, malah berkhianat,"
"Enggak peduli bener atau enggak, seharusnya dia ga perlakuin Arsenio begitu,"
Wajah Gwen merah padam, rasa malu menggigit hatinya.
"Muka aja sok polos, ternyata licik juga dia,"
"Duh, kasihan orang tuanya, harus malu gara-gara punya anak kayak dia,"
"Cewek caper, itu dia," sambung yang lain dengan nada meremehkan.
Gwen hanya bisa menundukkan kepala, tangannya bergetar hebat. Dia tidak berani menatap Arsenio, yang masih terdiam. Ini kali pertama dia mendengar cemoohan kepadanya.
Gwen perlahan melepaskan genggaman tangannya dari tangan Arsenio, hati-hatinya berdetak karena takut.
ha ha ha
Arsenio tertawa sinis, matanya tertuju ke layar di depan. "Mau cari mati?" gumamnya sinis, suaranya terasa menyeramkan, membuat Gwen kembali mengerutkan tubuh dalam ketakutan.
"Bubar!" seru Arsenio dengan nada yang begitu dingin, namun para mahasiswa masih tak bergeming di tempat.
"Gue bilang, bubar!" teriaknya kali ini, lebih keras. Semua orang segera meninggalkan tempat itu.
Gwen mendengar teriakannya, tersentak hingga tubuhnya mundur beberapa langkah, gemetar, seakan tak sanggup untuk berdiri.
Arsenio kemudian menghela nafas panjang, matanya yang tajam menenangkan saat berpindah menatap Gwen. Ia bisa melihat Gwen sudah mulai menangis secara pelan. Dengan hati-hati, Arsenio menangkup wajah Gwen, ibu jarinya lembut menyeka air mata yang mengalir di pipinya.
Gwen mulai berbicara dengan tergagap, mata yang cemas menatap Arsenio, "Kak, bukan aku yang melakukannya, aku ga tahu apa-apa, dari semalam aku ga pegang hp, akun aku di-hack..."
Namun sebelum ia sempat menyelesaikan kata-katanya, Arsenio meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Gwen yang terbuka. "Aku percaya," bisik Arsenio dengan lembut, menarik tubuh Gwen yang gemetar ke dalam pelukannya.
Saat bibir Arsenio mengecup pucuk kepala Gwen, air mata yang selama ini ditahannya akhirnya pecah. "Walaupun itu memang kamu, aku ga keberatan," ucap Arsenio, suara penuh kehangatan dan pengertian.
Gwen menangis lebih lepas, sambil meremas kuat kemeja Arsenio. "Udah, udah jangan nangis lagi, malu tahu sama sahabat-sahabat aku," bisik Arsenio sambil mengusap-usap lembut belakang kepala Gwen.
"Aku ga mau," sahut Gwen, suara teredam di dada Arsenio sambil mengeratkan pelukannya. Arsenio hanya bisa terkekeh ringan, merespons dengan mempererat pelukannya.
Tiba-tiba sebuah suara menggantung di udara, "Permisi, apakah Anda Gaillard Arsenio Ghaazy?" sebuah suara polisi memecah momen mereka, seorang polisi tampak berdiri tak jauh di belakang Arsenio.
Situasi di ruangan itu tiba-tiba menjadi tegang, Arsenio berputar tanpa melepaskan pelukannya dari Gwen. Ia mengangkat kepalanya, matanya menajam mencari tahu siapa lawannya.
"Anda ditahan atas tuduhan pembunuhan," kata polisi dengan suara yang kaku. Gwen, dengan mata sembabnya, tergesa-gesa melepas pelukan dan menatap polisi tersebut.
Polisi itu membalas tatapan Gwen. "Saudara Gwen, Anda juga harus ikut kami ke kantor untuk memberikan keterangan," ujarnya dengan tegas.
Gwen cepat-cepat bersembunyi di balik tubuh tegap Arsenio, rasa takut jelas terlihat. Polisi itu mencoba meraih tangan Gwen, tapi dengan cepat Arsenio menghalangi dengan suara yang berwibawa.
"Jangan sentuh dia. Bawa saya saja, jangan dia," ucap Arsenio dengan suara datar.
"Tidak bisa, ini sudah perintah dari atas," balas polisi dengan suara yang tidak kalah tegasnya.
Arsenio melangkah mendekat, suaranya serak, "Jangan buat saya kehilangan kesabaran, Pak. Saya tahu ada yang membayar Anda untuk menyebarkan berita ini," bisiknya dengan nada mengancam.
Mata polisi itu membesar, dipenuhi ketakutan saat menatap Arsenio. Dengan suara gemetar, dia berkata, "Nona Gwen tidak perlu ikut, cukup Anda saja, Tuan," seraya melambai-lambaikan tangan dengan gugup. "Mari, Tuan," lanjutnya, mengajak Arsenio dengan sopan.
Arsenio tersenyum samar, membalikkan badannya. "Aku pergi dulu ya, tunggu aku di sini, akan segera kembali, Bubbie," ujarnya dengan lembut.
Gwen, yang tampak cemas, memandang Arsenio. "Apa Kak Nio akan di penjara?" tanyanya dengan suara gemetar. Arsenio menggeleng, mencoba mengusir ketakutan Gwen dengan tatapan lembutnya.
"Jaga dia sebentar ya, guys," kata Arsenio sambil menoleh ke ketiga sahabatnya.
"Sip," jawab Eliano singkat.
Arsenio lalu memberikan tepukan ringan di kepala Gwen. "Sana, pergi sama mereka," katanya, berusaha meyakinkan.
***
Dengan langkah tegas, Arsenio menyeret polisi gadungan tersebut ke perusahaan ayahnya. Langkah kasarnya membuat karyawan di sekitar mereka memperhatikan dengan tatapan takut, sebuah ekspresi yang jarang ditunjukkan Arsenio kepada banyak orang.
Tanpa ragu, Arsenio membanting pintu ruang CEO, mengejutkan ayahnya, Vincent, dan abangnya, Kenzo, yang sedang berada di dalam.
Arsenio dengan penuh emosi melemparkan tubuh pria tersebut ke lantai.
"Ada apa, Boy?" Vincent menanyakan dengan nada bingung. Awalnya dia ingin marah saat pintu ruangannya dibuka tanpa peringatan.
"Papi, aku serahkan dia ke papi," ucap Arsenio dengan napas tersengal, marah namun lega, "Dia telah membuat menantu papi ketakutan."
Dengan langkah berat, Vincent, meski tak muda lagi, berjalan mendekati pria yang terkapar dan menginjak kakinya dengan kekuatan penuh. "Berani-beraninya kamu membuat menantu cantik saya ketakutan, hm?" amarahnya tak terbendung.
"Pengawal! Bawa sampah ini ke ruang bawah tanah," perintah Vincent dengan tegas. Tak lama, dua pengawal berbadan besar masuk dan menyeret pria itu keluar.
Vincent kemudian menoleh ke Arsenio, "Perlu papi selesaikan berita itu?"
"Tidak usah, Papi. Aku bisa sendiri," Arsenio menjawab dengan cepat, sebelum segera meninggalkan ruangan ayahnya.