Seorang siswa SMA yang bernama Revan Abigail adalah siswa yang pendiam dan lemah ternyata Revan adalah reinkarnasi seorang Atlet MMA yang bernama Zaine Leonhart yang ingin balas dendam kepada Presdirnya.
Siapakah Zaine Leonhart yang sebenarnya? mengapa Zaine melakukan Reinkarnasi? Rahasia kelam apa yang disembunyikan Presdir itu?
Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lynnshaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 - PILIHAN YANG MENENTUKAN
Revan menatap tangan Darius yang terulur ke arahnya. Tawaran itu menggantung di udara, penuh godaan dan bahaya.
Bekerja sama dengan Darius berarti memasuki dunia yang lebih gelap dari sekadar pertarungan bawah tanah. Ini bukan hanya soal membalas dendam atau menemukan kebenaran tentang Zaine. Ini tentang menjual dirinya ke dalam sesuatu yang mungkin tidak bisa dia tinggalkan.
Riko, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Gausah ngelakuin itu, Rev."
Revan menoleh ke arah Riko. "Kenapa?"
"Karena kalo lo menerima tawarannya," Riko menatap Darius dengan dingin, "Lo nggak akan bisa kembali. Ini bukan sekadar pertarungan. Ini perang."
Darius terkekeh. "Lo terlalu dramatis, Riko. Gue hanya memberikan kesempatan bagi teman lo untuk memanfaatkan potensinya. Apa salahnya menjadi seseorang yang lebih besar daripada sekadar remaja SMA biasa?"
Revan mengepalkan tangannya. Kata-kata Darius ada benarnya. Dia tidak bisa menyangkal bahwa bertarung memberinya sensasi yang tidak bisa dia dapatkan di tempat lain. Itu membuatnya merasa hidup.
Tapi apakah itu cukup untuk membuatnya terjun ke dalam permainan ini?
Revan menarik napas dalam, lalu mengangkat kepalanya. "Kalau aku menolak, apa yang akan terjadi?"
Darius tersenyum tipis. "Kalau kau menolak, maka kita akan menjadi musuh."
Hening sejenak.
Revan melirik Riko itu mengangguk kecil, memberikan isyarat bahwa dia akan mendukung apa pun keputusan yang dibuat Revan.
Akhirnya, Revan menatap Darius dengan tatapan mantap.
"Gue akan mencari kebenaran tentang Zaine dengan cara gue sendiri."
Senyuman Darius memudar sedikit, tapi dia tidak terlihat marah. Sebaliknya, dia tampak semakin tertarik.
"Pilihan yang menarik," gumamnya. "Kalau begitu, aku akan menunggu... untuk melihat seberapa jauh kau bisa melangkah tanpa bantuanku."
Dia melangkah mundur, memberi isyarat pada anak buahnya. "Kita akan bertemu lagi, Revan. Dan saat itu terjadi, aku ingin melihat apakah kau tetap bisa berdiri di hadapanku."
Dengan itu, Darius berbalik dan berjalan keluar dari gudang, diikuti oleh orang-orangnya.
Revan berdiri di tempatnya, merasakan napasnya masih sedikit berat.
Riko menepuk bahunya. "Lo udah membuat pilihan. Sekarang, kita pastikan kita bisa bertahan dengan pilihan itu."
Revan mengangguk. Dia tahu, sejak detik ini, semuanya akan menjadi lebih sulit.
Tapi dia juga tahu satu hal.
Dia tidak akan mundur.
Malam itu, Revan dan Riko berjalan meninggalkan gudang dengan perasaan campur aduk. Udara dingin menusuk kulit, tapi bukan itu yang membuat Revan merinding.
Darius telah memberinya pilihan—dan dia menolaknya. Itu berarti hanya ada dua kemungkinan: Darius akan membiarkannya... atau dia akan menjadi target berikutnya.
Riko berjalan di sampingnya, matanya tetap waspada. "Lo sadar, kan? Menolak Darius sama saja dengan menyatakan perang."
Revan mengepalkan tinjunya. "Gue ga peduli sih. Gue ga mau jadi bidak dalam permainannya."
Riko menghela napas. "Itu yang gue harapkan lo ngomong kayak gitu."
Tapi sebelum mereka bisa berbicara lebih jauh—
WHUSH!
Revan merasakan angin tajam melesat ke arahnya. Refleks, dia miring ke samping.
CLANG!
Sebuah pisau kecil menancap di tiang lampu di sebelahnya.
Mereka langsung siaga.
Dari bayangan gang, seseorang muncul. Sosok yang sama yang menghadang mereka malam sebelumnya.
Pria berhoodie hitam.
Tapi kali ini, dia tidak sendiri.
Tiga orang lain muncul di belakangnya—semua berpakaian serba gelap, wajah mereka tertutup masker.
Riko menggeram pelan. "Brengsek... Mereka nggak buang waktu, ya?"
Pria berhoodie itu berbicara dengan nada tenang, seolah mereka sedang membahas cuaca. "Bos tidak suka ditolak, Revan."
Revan menatap tajam. "Jadi ini rencana kalian? Membunuh anak orang di jalanan seperti ini?"
Pria itu menggeleng. "Bukan membunuh. Hanya mengirim pesan."
Dan tanpa peringatan—
SWOOSH!
Mereka menerjang.
Revan dan Riko langsung bergerak.
DUG! Revan menangkis pukulan pertama dan membalas dengan tendangan ke perut lawan.
Riko juga tidak tinggal diam. Dia berputar dan menyikut wajah salah satu penyerang, membuatnya jatuh ke tanah.
Tapi lawan mereka lebih terlatih dari preman biasa. Gerakan mereka cepat, presisi.
Revan menahan serangan bertubi-tubi, membaca pola, mencari celah. Tapi dia bisa merasakan tekanan yang berbeda dari pertarungan sebelumnya. Ini bukan sekadar ujian.
Ini eksekusi.
Pria berhoodie itu tetap diam, mengamati dari kejauhan.
Dan saat Revan mulai berpikir mereka bisa menang—
BRUKK!
Riko terkena hantaman keras di punggung. Dia terhuyung ke depan, memberikan kesempatan bagi salah satu lawan untuk menendangnya ke dinding.
"DAMN!" Riko mengerang.
Revan mencoba bergerak ke arahnya, tapi dua lawan langsung menghalanginya.
WHAM!
Sebuah pukulan menghantam wajahnya.
Revan tersentak ke belakang, darah mulai mengalir dari sudut bibirnya.
Pria berhoodie akhirnya melangkah maju. "Kau kuat, Revan. Tapi tidak cukup kuat."
Dia mengangkat tangannya—
Dan dalam sekejap, pisau melesat ke arah Revan.
Tapi sebelum bisa mengenai sasaran—
BANG
Sebuah suara tembakan menggema di udara.
Revan dan yang lain membeku.
Salah satu lampu jalan pecah berhamburan.
Dari kejauhan, seseorang berdiri di atas atap gedung. Sosok berjubah panjang, dengan moncong pistol masih mengepul.
Pria berhoodie itu mengumpat. "Shit..."
Orang di atas atap berbicara, suaranya dalam dan tajam. "Itu cukup untuk hari ini."
Pria berhoodie itu menggeram, tapi akhirnya memberi isyarat pada anak buahnya. "Kita pergi."
Mereka menghilang ke bayangan.
Revan masih terengah-engah, sementara Riko mencoba berdiri dengan wajah penuh rasa sakit.
Sosok di atap menurunkan senjatanya, lalu melompat turun dengan lincah.
Saat akhirnya dia berdiri di depan mereka, cahaya lampu jalan memperlihatkan wajahnya.
Seorang wanita.
Berambut pendek, dengan mata tajam dan ekspresi dingin.
Dia menatap Revan lama, lalu berkata,
"Lo butuh lebih dari sekadar nyali untuk bertahan hidup di dunia ini."
Revan masih mencoba mengatur napas. "Siapa lo?"
Wanita itu menyeringai tipis. "Teman lama Zaine."
Riko yang menatap cewek itu dan terkejut. "LOH?! EMMA?! KAPAN LO DATANG KESINI?! KOK LO GA NGABARIN SIH."
"Gue ga punya kontak lo, jadinya gue ga ngabarin lo duluan pas udah sampe di Indonesia." jawab Emma
Revan membelalakkan mata. "Lo kenal Zaine?"
Emma mengangguk. "Dan gue tau siapa yang membunuhnya."
Hening.
Wanita itu menatap mereka sekali lagi sebelum berbalik. "Kalo kalian pengen jawaban, temui gue besok malam. Lokasi akan gue kirim nanti."
Kemudian, dia berjalan pergi, meninggalkan mereka dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Revan mengepalkan tinjunya.
Permainan ini baru saja naik level.
...***...
Revan duduk di tepi ranjangnya, menatap ponselnya yang masih diam. Belum ada pesan masuk dari wanita misterius itu.
Dari balik jendela, matahari mulai tenggelam, menandakan bahwa malam akan segera tiba.
"Siapa dia sebenarnya...?" Revan bergumam, mengingat sorot matanya yang tajam dan penuh rahasia.
Riko duduk di kursi di seberang, memeriksa luka-lukanya setelah perkelahian tadi malam. "Dia itu Emma Beatrice, dia temen kecilnya si Zaine pas ada di New York"
Revan mengepalkan tinjunya. "Nggak mungkin"
Ponselnya tiba-tiba bergetar.
Revan menunjukkan pesan itu ke Riko, yang hanya mendesah. "Tentu aja dia bakal menyuruh lo datang sendirian."
"Tapi gue ga akan membiarkan lo pergi sendiri," lanjutnya. "Kalo ini jebakan, setidaknya ada seseorang yang bisa membantu lo keluar dari sana."
Revan mengangguk. Dia juga tidak berniat menuruti permintaan itu sepenuhnya.
...***...
Taman kota hampir kosong, hanya ada beberapa lampu jalan yang menyala redup. Revan berjalan pelan, memperhatikan sekeliling.
Riko tetap berada di kejauhan, bersembunyi di balik pepohonan untuk berjaga-jaga.
Di tengah taman, sosok wanita itu sudah menunggu, duduk di bangku kayu dengan tangan bersilang.
"Lo tepat waktu," katanya tanpa menoleh.
Revan berdiri di depannya. "Sekarang katakan. Apa yang lo tau tentang Zaine?"
Emma menoleh, menatapnya sejenak sebelum berbicara.
"Nama gue Emma, Emma Beatrice." katanya. "Dan Zaine bukan sekadar teman bagi gue. Dia adalah partner gue dalam bidang seni bela diri campuran"
Revan mengerutkan dahi. "Partner?"
Emma mengangguk. "Zaine ga mati karena kecelakaan, dan itu bukan hanya sekadar pembunuhan biasa."
Dia menatap Revan dalam-dalam. "Dia mati karena dia menemukan sesuatu yang nggak seharusnya dia ketahui."
Hati Revan berdegup kencang. "Apa maksud lo?"
Emma menarik napas. "Semuanya berawal dari organisasi di balik arena pertarungan bawah tanah ini."
"Robert Marvolo?" tebak Revan.
Emma menggeleng. "Bukan hanya dia. Ada orang yang lebih kuat, lebih berbahaya. Orang-orang yang mengendalikan segalanya dari balik layar."
Revan menegang. "Darius?"
Emma menyipitkan matanya. "Darius hanyalah bidak dalam permainan ini. Dia punya kekuatan, tapi dia bukan dalangnya."
Revan terdiam. Jika Darius bukan otak di balik semua ini, lalu siapa?
Emma melanjutkan, "Zaine menemukan bukti tentang sesuatu yang bisa menghancurkan mereka. Sesuatu yang bisa membuat seluruh sistem ini runtuh."
Revan semakin penasaran. "Apa itu?"
Emma menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata,
"Zaine menemukan daftar."
"Daftar?"
Emma mengangguk. "Daftar nama—orang-orang yang terlibat dalam jaringan pertarungan ilegal ini. Pejabat, pengusaha, bahkan orang-orang di kepolisian."
Revan merasa perutnya mual. Jika itu benar, maka ini jauh lebih besar dari yang ia kira.
"Zaine berusaha membocorkannya," lanjut Emma. "Tapi sebelum dia bisa melakukannya… dia dibunuh."
Revan mengepalkan tinjunya. "Siapa yang membunuhnya?"
Emma terdiam sejenak, lalu berkata,
"Pembunuh bayaran."
Hening.
Revan merasa dadanya sesak. Jika pembunuh Zaine ada di dalam daftar itu, maka satu-satunya cara untuk menemukan pelakunya adalah mendapatkan daftar itu sendiri.
Dia menatap Emma. "Di mana daftarnya sekarang?"
Emma menghela napas. "Sebelum mati, Zaine menyembunyikannya. Tapi dia nggak pernah memberitahu."
Revan mengepalkan tinjunya lebih keras.
Jika Zaine menyembunyikan daftar itu, maka pasti ada petunjuk. Dan jika mereka bisa menemukannya...
Mereka bisa mengungkapkan kebenaran.
Tapi sebelum mereka bisa membahas lebih jauh—
WHUSH!
Sebuah pisau melesat ke arah mereka!
Emma langsung menarik Revan ke samping.
DUG!
Pisau itu menancap di bangku kayu tempat mereka duduk.
Dari balik kegelapan, beberapa sosok muncul.
Mereka berseragam hitam, wajah tertutup, senjata di tangan.
Emma menggeram. "Mereka udah menemukan kita."
Revan menoleh pada Riko yang langsung berlari ke arah mereka.
"Terlalu banyak! Kita harus pergi!" teriak Riko.
Emma menggigit bibirnya. "Nggak ada pilihan lain."
Dan dalam sekejap, mereka bertiga berlari ke dalam malam, dikejar oleh bayang-bayang yang tidak akan membiarkan mereka pergi hidup-hidup.
Revan, Emma, dan Riko berlari melewati taman kota, napas mereka berat, langkah kaki menghantam tanah dengan tergesa-gesa.
Di belakang mereka, bayangan-bayangan berseragam hitam mengejar tanpa suara, bergerak cepat seperti pemburu yang mengincar mangsanya.
Revan menoleh sekilas. "Mereka terlalu cepat!"
"Terus lari!" seru Emma. "Gue tau tempat persembunyian!"
Mereka membelok ke gang sempit di antara dua gedung tua, menyelinap melewati tumpukan sampah dan pagar besi yang setengah roboh.
"Ke kanan!" Emma memimpin jalan, berlari menuju sebuah pintu baja yang tersembunyi di bawah jembatan kecil. Dia menarik gagangnya, tapi pintu itu terkunci.
"Shit!"
Riko segera maju, mengeluarkan sesuatu dari sakunya—sebuah kunci cadangan. "Cepat masuk!"
Revan dan Emma melangkah masuk, sementara Riko menutup dan mengunci pintu di belakang mereka.
Mereka berdiri di dalam ruangan kecil, hanya diterangi oleh lampu temaram. Bau lembab menyengat, dan di sekitar mereka, rak-rak tua berisi dokumen dan peralatan yang sudah berdebu.
Emma bersandar di dinding, mengatur napasnya. "Untuk sementara kita aman."
Revan mengusap keringat dari dahinya. "Siapa mereka?"
Emma menggeleng. "Gue gatau pasti, tapi jika mereka sudah bergerak, itu berarti kita semakin dekat dengan kebenaran."
Riko menatap Emma tajam. "Kalo mereka mencari kita, itu berarti mereka tau soal daftar itu, kan?"
Emma mengangguk. "Zaine menyembunyikan sesuatu yang sangat penting. Dan satu-satunya cara bagi mereka untuk menghentikan kita adalah dengan membunuh kita sebelum kita menemukannya."
Revan mengepalkan tinjunya. "Gue ga akan mundur. Gue harus tau siapa yang membunuh Zaine."
Emma menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Kalo begitu, kita harus menemukan daftar itu sebelum mereka menemukan kita."
Tiba-tiba—
TOK! TOK!
Suara ketukan pelan terdengar dari luar pintu baja.
Keduanya saling berpandangan, tubuh mereka menegang.
Tapi kemudian, sebuah suara terdengar dari balik pintu.
Dingin. Tenang. Dan sangat familiar.
"Revan… aku tahu kau ada di dalam."
Mata Revan membelalak.
Itu suara Darius.
"Keluar dan kita bisa bicara," lanjut Darius. "Atau aku akan membuatmu keluar dengan cara yang lebih menyakitkan."
Suasana terasa semakin mencekam.
Emma meraih belati kecil dari sakunya, sementara Riko bersiap dengan pistol kecil yang ia sembunyikan di balik jaketnya.
Revan menarik napas dalam.
Ini bukan lagi sekadar permainan kucing dan tikus.
Ini adalah perang.
Dan dia harus memutuskan langkah selanjutnya.
Ketegangan di ruangan itu begitu tebal, seolah udara pun menahan napasnya.
Revan menatap pintu baja yang kini menjadi satu-satunya penghalang antara mereka dan Darius.
TOK! TOK!
Suara ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih keras.
"Aku akan memberimu waktu lima detik," suara Darius terdengar lebih tegas. "Jika kau tidak keluar… aku akan masuk."
Emma mengangkat pistolnya, mengarahkannya ke pintu. "Kita bisa lawan mereka di sini."
Revan menggeleng. "Nggak. Kita gatau berapa banyak orang yang dia bawa. Kita harus berpikir cerdas."
Emma mengepalkan tinjunya. Dalam kepalanya, berbagai skenario berputar dengan cepat. Tapi satu hal yang pasti—Darius tidak akan pergi dengan tangan kosong.
"Jika kita keluar, mereka mungkin tidak langsung menyerang," kata Revan, suaranya rendah. "Darius masih ingin aku bekerja sama dengannya."
Emma mendecak pelan. "Itu bisa jadi jebakan."
"Tapi kita tidak bisa bertahan di sini selamanya," sahut Revan. "Kita harus mencari jalan keluar."
Emma menarik napas dalam, lalu mengangguk.
"Gue akan keluar," kata Revan
Emma menatapnya dengan ragu.
"Gue akan mengulur waktu. Gunakan kesempatan ini untuk mencari cara keluar," lanjutnya.
Emma menggeram, tapi akhirnya menurunkan pistolnya. "Kalo ada yang aneh, gue akan langsung bertindak."
Revan berjalan ke pintu baja dan meletakkan tangannya di gagang pintu. Sesaat, ia merasakan dinginnya logam di telapak tangannya, seolah memberi peringatan terakhir.
Lalu—
KLIK.
Pintu terbuka.
Dan di depan Revan, berdiri Darius.
Dengan senyum tipis yang tidak pernah menunjukkan niatnya.
"Akhirnya," katanya. "Kita perlu bicara."
Di belakangnya, ada empat pria bersenjata. Mata mereka tajam, postur mereka tegap. Ini bukan orang biasa.
Revan melangkah keluar perlahan. "Bicara tentang apa?"
Darius memiringkan kepalanya sedikit. "Tentang pilihan."
"Pilihan apa?"
Darius menatapnya lama sebelum menjawab.
"Kau bisa terus melawan dan berakhir seperti Zaine…" katanya, suaranya rendah dan tajam.
Atau—
"Kau bisa bergabung denganku… dan menemukan siapa yang benar-benar menarik tali di balik semua ini."
Revan mengepalkan tangannya.
Ini bukan hanya soal bertarung lagi.
Ini adalah perang strategi.
Dan dia harus memilih langkahnya dengan hati-hati.
Revan menatap tajam ke arah Darrius. Tawaran itu menggantung di udara, seakan menekan atmosfer di sekeliling mereka.
"Bergabung… atau berakhir seperti Zaine."
Di belakangnya, Riko dan Emma masih bersembunyi, menunggu sinyal darinya. Mereka percaya pada Revan—dan sekarang, dia harus membuat keputusan.
Revan mengepalkan tinjunya. "Lo ingin gue bekerja sama dengan lo?"
Darius menyeringai. "Aku ingin memberimu kesempatan untuk berada di sisi yang benar."
"Sisi yang benar?" Revan mencibir. "Zaine dibunuh oleh orang lain. Dan lo bilang gue harus percaya pada lo?"
Darius tidak tampak terganggu. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku celana jasnya dan melangkah lebih dekat.
"Aku tidak pernah mengatakan aku adalah orang baik," katanya. "Tapi jika kau ingin tahu kebenaran tentang kematian Zaine, bekerja samalah denganku."
Revan bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Kata-kata Darius memiliki efek yang aneh—membuatnya ragu, tapi sekaligus penasaran.
"Kenapa gue?" tanya Revan.
Darius menghela napas, lalu menatapnya langsung. "Karena kau spesial. Walaupun kau tidak kuat dan juga masih siswa SMA namun kau punya ambisi yang bagus, tapi kau punya sesuatu yang lebih penting—kemauan untuk bertahan. Itu yang membedakanmu dari orang-orang lain."
Revan diam.
Lalu, tiba-tiba—
DOR!
Sebuah suara tembakan menggema di gang sempit itu.
Revan melompat mundur refleks. Salah satu wanita bersenjata Darius roboh ke tanah.
"MAJU!" Suara Emma menggema dari dalam ruangan.
Riko keluar dari sembunyi di dinding dan membantu Revan dan juga Emma
Revan langsung bereaksi. Ia menerjang ke depan, menghantam salah satu pria bersenjata dengan pukulan keras ke rahangnya.
Darrius mundur dengan langkah tenang, membiarkan anak buahnya mengurus perlawanan.
"Menarik," gumamnya sambil tersenyum tipis.
Pertarungan pecah.
Revan bertarung dengan cepat, menghindari serangan dan melumpuhkan lawan satu per satu.
Riko bergerak gesit, menusukkan belatinya ke bahu salah satu pria sebelum menjatuhkannya dengan tendangan.
Emma menembak dua kali, memastikan mereka tidak dikepung.
Setelah beberapa menit, tubuh-tubuh tergeletak di tanah, beberapa mengerang kesakitan, yang lain tak lagi bergerak.
Darrius masih berdiri di tempatnya, tidak terganggu sedikit pun.
Dia menepuk tangannya pelan. "Bagus. Aku semakin yakin bahwa kau adalah orang yang aku cari."
Revan mengangkat tinjunya, siap bertarung.
Tapi Darrius hanya tersenyum. "Jangan khawatir. Aku tidak akan melawanmu hari ini."
Ia melangkah mundur perlahan.
"Tapi tawaranku masih berlaku, Revan. Dan percaya padaku… pada akhirnya, kau akan datang kepadaku sendiri."
Lalu, sebelum ada yang bisa menyerangnya, Darrius berbalik dan menghilang ke dalam kegelapan gang.
Revan berdiri diam, napasnya masih berat.
Emma mendekat. "Are you okay?"
Revan tidak menjawab.
Dia hanya menatap ke arah Darrius menghilang.
Di dalam dadanya, ada perasaan yang tidak bisa ia jelaskan.
Karena, jauh di dalam pikirannya…
Dia tahu.
Darius belum kalah.
Dan ini baru permulaan.
Malam itu, Revan tidak bisa tidur. Pikirannya masih dipenuhi kata-kata Darius.
"Pada akhirnya, kau akan datang kepadaku sendiri."
Ia berusaha mengabaikannya, tapi kata-kata itu terus berputar di kepalanya.
Zaine.
Darius tahu sesuatu tentang Zaine—dan sekarang, Revan tidak bisa menyingkirkan kemungkinan bahwa dia mungkin benar.
Apa yang sebenarnya terjadi pada Zaine?
Di kamar kecil yang disediakan Riko untuknya, Revan duduk di tepi ranjang, menatap lantai dengan kosong.
Tiba-tiba—
TOK! TOK!
Suara ketukan di pintu membuatnya tersentak.
"AAAHHHH!!!" Revan tersentak dan juga kaget saat mendengarkan ketukan pintu itu
"Revan?" Suara Emma terdengar dari luar.
Revan menghela napas, lalu bangkit untuk membukakan pintu.
Emma berdiri di sana, mengenakan pakaian kasual, tapi tatapannya serius.
"Lo masih memikirkannya, kan?" tanyanya pelan.
Revan mengangguk. "Gue nggak bisa berhenti berpikir tentang apa yang dia katakan."
Emma masuk dan duduk di kursi dekat jendela.
"Gue ngerti," katanya. "Gue juga akan merasa seperti itu jika berada di posisi lo."
Revan menatapnya. "Menurut lo, dia berkata jujur?"
Emma terdiam sesaat, lalu mengangkat bahu. "Sulit untuk tau. Orang seperti Darius… mereka selalu punya alasan di balik setiap kata yang mereka ucapkan."
Revan menghela napas berat. "Gue benci ini. Gue benci merasa seperti ini. Seolah-olah gue hanya bidak dalam permainan mereka."
Emma tersenyum tipis. "Lo bukan bidak, Revan. Lo punya pilihan."
Revan menatapnya dalam. "Pilihan seperti apa?"
Emma berdiri dan berjalan mendekatinya. "Pilihan untuk tetap menjadi diri lo sendiri. Nggak peduli apa pun yang mereka katakan, tidak peduli berapa banyak rahasia yang mereka simpan. Kau tetap punya kendali atas siapa dirimu."
Revan ingin mempercayai kata-kata itu.
Tapi dalam hatinya, ia tahu…
Untuk mengetahui kebenaran tentang Zaine, ia mungkin harus masuk lebih dalam ke dunia yang sedang ia coba hindari.
Dan itu artinya—
Dia harus menemukan Darius lagi.
...---...
"Lo gila."
Itu reaksi pertama Riko saat Revan mengungkapkan keinginannya.
"Lo mau menemuinya lagi? Setelah semua yang dia lakukan?"
Revan duduk di sofa di apartemen kecil tempat mereka bersembunyi. "Gue ga punya pilihan lain, Riko. Dia satu-satunya yang tahu sesuatu tentang Zaine."
"Atau dia hanya memanipulasi lo," Riko balas. "Darius bukan orang yang bisa gampang dipercaya."
Emma menyilangkan tangan. "Tapi kita juga nggak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa dia tau sesuatu yang berharga."
Riko menatap Emma dengan tajam. "Jadi Lo setuju dengan ini?"
Emma menghela napas. "Gue nggak menyukainya. Tapi jika kita ingin jawaban, kita harus mengambil risiko."
Riko mendecak frustrasi. "Kalian berdua benar-benar keras kepala."
Revan tersenyum kecil. "Gue belajar dari yang terbaik."
Riko menggeleng, lalu akhirnya mendesah. "Baiklah. Jika lo benar-benar ingin melakukannya… kita harus punya rencana."
Revan mengangguk. "Gue tau."
Dia menatap keluar jendela, ke arah langit malam yang kelam.
Besok, dia akan menemui Darius lagi.
Dan kali ini…
Dia tidak akan pulang tanpa jawaban.