Hanya karena logam mulia dan wasiat yang di punya oleh kakek masing-masing membuat Nathan dan Tiffani berakhir di jodohkan. Tiffani tak menyangka bahwa dia harus menikah dengan laki-laki terpandang yang terkenal dari keluarga sendok emas. Sedangkan Nathan hanya bisa pasrah dengan masa depannya setelah dia mendapatkan garis keturunan sebagai calon penerus perusahaan Kakeknya, salah satunya dengan menikahi gadis yang tak pernah dia duga sebelumnya. Bahkan perjodohan ini membuat Nathan harus menyerah untuk menikahi sang pujaan hatinya yaitu Elea.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perbedaan Pendapat
Sinar matahari pagi masuk melalui jendela kamar, Tiffani mengerjapkan matanya berulang kali. Dia terdiam cukup lama dan menelisik ke dalam otaknya mengenai kejadian kemarin. Kejadian saat dirinya bertemu dengan Nathan dan juga keluarganya, dia mencoba memvalidasi apakah kemarin itu merupakan kejadian yang nyata atau hanya mimpi buruk. Tapi sayangnya kemarin bukan sekedar mimpi buruk namun hal yang benar terjadi di kehidupan nyata.
Tiffani terduduk dan mengusap wajahnya lantas mengacak rambutnya. Dia bingung harus menghadapi dunia seperti apa, alhasil gadis itu kembali tertidur dan menyembunyikan wajahnya di balik bantal, di sisi lain suara teriakan ibunya terdengar menghiasi penjuru rumah yang sedang memarahi adiknya karena sudah sangat terlambat berangkat sekolah.
Tangan Tiffani mengambil ponselnya yang sudah di isi daya baterai semalaman. Lantas dia hidupkan ponselnya yang mati, notifikasi whatsapp pertama kali muncul datang dari obrolan grup temannya di kampus.
Sandra: Kita ada kelas siang kan?
Talitha: Kelas siang bikin aku ngantuk, pengen banget bolos
Sandra: Satu jam sebelum kelas sudah ada di kampus ya
Talitha: Ada apa? Kenapa?
Sandra: Mau ngobrol saja
Talitha: Oh baik
Tiffani: Tidak janji tapi akan aku usahakan
Sandra: Wajib!
Setelah membaca room chat grup di ponselnya, Tiffani lantas mengambil handuk yang tersampir dan berangkat mandi. Walaupun kelas biasanya dilakukan pada jam siang pasti ketiga sekawan itu selalu berangkat terlebih dahulu hal itu entah karena harus mengerjakan tugas ataupun hanya berkumpul bersama hanya sekedar bercerita.
***
Beberapa menit kemudian Tiffani sudah bersiap dengan memakai celana jeans dan juga crop top putih yang dia padu kan dengan cardigan berwarna pink. Tak lupa Tiffani menyatok rambutnya agar tak tampak berantakan. Gadis itu juga memeriksa kakinya yang kemarin nyeri akibat luka memakai high heels.
Kemarin malam untung saja Tiffani sempat keluar menuju ke apotek membeli obat untuk kakinya. Dia mendapatkan salep dan juga plester. Dia mengambil salepnya lantas mengoleskan pada lukanya yang memerah namun tak seranum kemarin.
Suara gedoran pintu dari luar membuat Bu Sarah yang tengah sibuk menyiapkan bahan makanan untuk kedai dan juga Pak Dion yang sedang menikmati sarapan paginya merasa terganggu. Mendengar ketukan pintu yang tak biasa suami istri tersebut saling pandang satu sama lain.
“Pak, siapa itu? Apa mereka datang lagi?”
“Mungkin saja.”
Raut ketakutan kentara di wajah suami istri itu, Tiffani keluar dari kamar dia tampak santai dan langsung menuju ke arah pintu dan memakai sepatu ketsnya.
“Ibu ayah aku berangkat.” Pamit Tiffani enteng tidak memperdulikan adanya tamu di luar.
“Kamu tidak sarapan dulu?” tanya ibunya.
“Tidak perlu, aku makan di kampus saja.”
Bu Sarah dan Pak Dion tidak bisa menghentikkan aksi Tiffani yang akan membuka pintu rumah untuk berangkat kuliah. Sementara tadi pasangan suami istri itu sempat terbesit untuk tidak membuka pintu dan membiarkan tamu yang datang itu tetap mengetuk pintu, karena yang datang tersebut merupakan penagih hutang.
Tiffani membuka pintu dengan raut wajah datar, saat dirinya di sambut oleh sosok tiga pemuda.
“Mana ibu sama bapak kamu?” tanya salah satu dari ketiga pemuda itu dengan suara lantang.
“Tidak tahu.” Jawab Tiffani cuek.
Tiffani yang akan pergi ke kampus tiba-tiba mendapatkan perlakuan kasar dari ketiga laki-laki yang memiliki tubuh bongsor tersebut. Bagaimana tidak dia meraih tangan Tiffani agar tidak pergi sampai membuat gadis itu kesakitan.
“Mau kemana hm?” Tanya mereka yang memegang lengan Tiffani dan hampir memitingnya.
“Aku tidak ada urusan sama kalian! masuk saja mereka ada di dalam.”
Mendengar kekacuan yang sedang terjadi di luar dan melibatkan putri mereka, Pak Dion keluar dari rumah dan menghentikkan aksi itu.
“Lepaskan dia!” perintah Pak Dion saat membuka pintu.
Pagi-pagi mood Tiffani sudah buruk akibat kejadian ini. Setelah penagih hutang itu mengalihkan atensi dari dirinya, dia pergi meninggalkan area rumah. Setelah keluar rumah dari area rumah kembali dia menemukan dua orang pemuda dengan menggunakan setelan jas dan juga sebuah mobil mewah yang pernah datang ke rumahnya.
Tidak ingin meladeni, Tiffani pergi begitu saja. Langkahnya tidak membawanya menuju pada halte bus melainkan menuju sebuah mini market untuk membeli makanan yang akan digunakan untuk sarapan. Gadis itu mengambil satu buah roti dan juga satu botol air putih, lantas dia menuju ke halte untuk menunggu bis.
***
Sementara itu di rumah keluarga Pak Dion terjadi kericuhan dan adu mulut antara Bu Sarah dan penagih hutang.
“Ini sudah jatuh tempo jika tidak membayar maka kita akan menyita barang-barang kalian!”
Bu Sarah terkaget. “Tidak bisa begitu, kami berjanji akan melunasi dalam waktu dekat. Pak cepat halangi pintunya agar mereka tidak bisa masuk.”
Pak Dion yang sedang berdiri di belakang istrinya menurut dan meretangkan tangannya di depan pintu rumahnya untuk menghalangi renternir penagih hutang tersebut masuk ke dalam rumah. Tapi sayangnya terjadi adu kekuatan juga disana kedua anak buah dari renternir tersebut berusaha menyingkirkan tubuh Pak Dion yang menghalangi pintu.
“Permisi.”
Suara seorang pemuda berhasil menarik perhatian Pak Dion dan Bu Sarah beserta penagih hutang. Aksi adu mulut dan kekuatan terhenti.
“Kalian berdua kenapa datang kemari?” Baik Pak Dion ataupun Bu Sarah sama-sama malu akibat kedua pemuda suruhan keluarga Yudistira datang pada saat yang tidak tepat saat ada penagih hutang ke rumah mereka.
“Boleh kami berbicara baik-baik di dalam? Sama kalian bertiga juga.” Tanya pemuda suruhan keluarga Yudisitira tersebut.
Pak Dion dan Bu Sarah sama-sama bingung karena kedua pemuda itu juga ingin berbicara dengan penagih hutang. Sampai akhirnya mereka berkumpul di ruang tamu keluarga Pak Dion, salah satu pemuda itu mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya.
“Kalian tulis disini berapa nominal pinjaman yang diajukan oleh keluarga Pak Dion kami akan melunasinya.” Ucap salah satu pemuda suruhan keluarga Yudistira.
Pak Dion dan Bu Sarah terkejut, sementara rentenir penagih hutang itu tersenyum bahagia.
“Silahkan tuliskan nominalnya disini.” Suruhan Nenek mengarahkan renternir tersebut agar menulis di atas cek.
“Tunggu-tunggu.” Pak Dion menghalangi rentenir itu yang akan menuliskan nominal hutang keluarganya.
“Tapi kenapa kalian datang melunasi hutang kami?” Tanya Pak Dion pada pemuda bersetelan jas tersebut.
“Silahkan tuliskan nominal disini dulu, kami akan memberitahukan nanti.”
Dengan semangat penuh renternir tersebut menulis nominal hutang keluarga Pak Dion seperti apa yang diperintahkan oleh suruhan Nenek. Kedua pemuda suruhan mendapatkan nomor rekening dan mereka mengatakan transaksi akan dilakukan secepatnya, setelahnya kedua pemuda itu meminta agar renternir segera pergi meninggalkan kediaman keluarga Pak Dion.
“Kenapa kalian datang melunasi hutang kami?” Pak Dion dan juga Bu Sarah masih bertanya-tanya atas hal yang dilakukan suruhan keluarga Yudistira kepada keluarganya.
“Nenek meminta kami, karena jika kalian telah menjadi bagian keluarga Yuidistira mereka tidak ingin ada berita tidak enak mengenai keluarga kalian yang pasti akan di sangkut pautkan dengan Tuan muda Nathan ataupun SUN Group.” Ungkap salah satu suruhan Nenek.
“Selain itu Nenek juga berharap bahwa putri anda benar-benar menerima perjodohan ini.” Lanjut pemuda yang satunya lagi.
Pak Dion mengusap wajahnya persis terlihat seperti orang yang sedang banyak pikiran. Hutang keluarganya juga memiliki nominal yang tidak sedikit, kalau dipikir-pikir ini sama saja jika mengorbankan putrinya untuk uang dan ia tidak mau itu.
“Jika kami menolak bantuan kalian, apa perjodohan ini juga bisa batal?” Mendengar perkataan suaminya, Bu Sarah melayangkan pukulan pada lengan Pak Dion.
“Tolong ucapkan terima kasih pada bantuan yang diberikan oleh keluarga Yudistira, kami akan mendiskusikan mengenai perjodohan ini dengan putri kami.” Ucap Bu Sarah.
“Nenek bilang bahwa ia juga menunggu jawaban secepatnya, kalau begitu kami permisi dulu.”
Kedua pesuruh Nenek pun pergi meninggalkan kediaman keluarga Pak Dion. Baik Pak Dion maupun Bu Sarah mereka sama-sama pusing. Pak Dion sebagai kepala keluarga tentu tidak rela seperti menjual putrinya. Sementara Bu Sarah dia tentu senang akhirnya keluarganya tidak dililit oleh hutang namun dia bingung bagaimana cara dia meyakinkan putrinya, Tiffani.