Seperti artinya, Nur adalah cahaya. Dia adalah pelita untuk keluarganya. Pelita untuk suami dan anaknya.
Seharusnya ...
Namun, Nur di anggap terlalu menyilaukan hingga membuat mereka buta dan tak melihat kebaikannya.
Nur tetaplah Nur, di mana pun dia berada dia akan selalu bersinar, meski di buang oleh orang-orang yang telah di sinarinya.
Ikuti kisah Nur, wanita paruh baya yang di sia-siakan oleh suami dan anak-anaknya.
Di selingkuhi suami dan sahabatnya sudahlah berat, di tambah anak-anaknya yang justru membela mereka, membuat cahaya Nur hampir meredup.
Tapi kemudian dia sadar, akan arti namanya dan perlahan mulai bangkit dan mengembalikan sinarnya.
Apa yang akan Nur lakukan hingga membuat orang-orang yang dulu menyia-nyiakannya akhirnya menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Setelah mengisi perut mereka, keduanya lantas bergegas menuju rumah sakit tempat Nur di rawat.
Sayangnya, menurut informasi dari resepsionis kalau Nur sudah pulang sejak siang tadi.
Pamungkas merasa heran, akhirnya dia kembali mencecar para perawat dan menanyakan tentang kondisi Nur.
Mereka semua mengatakan jika Nur meminta pulang dengan paksa. Dokter tak bisa mencegah karena memang kondisi Nur yang terlihat cukup membaik.
Pamungkas benar-benar kesal karena merasa pihak rumah sakit begitu mudah mengabulkan keinginan pasien untuk pulang paksa.
"Kira-kira Nur pulang kerumah, mas?"
"Sudah pasti, dia mau ke mana lagi. Pasti karena dia memikirkan biaya perawatan. Inilah yang aku ngga suka dari dia, dia itu terlalu ngirit, padahal demi kesehatan dia sendiri aja masih perhitungan!" gerutu Pamungkas.
Pamungkas tak asal bicara. Dia teringat jika Nur sakit, Nur pasti selalu memikirkan biaya yang di keluarkan. Istrinya itu selalu mengatakan jika semua itu hanya menghambur-hamburkan uang saja kalau dia di rawat.
Dirinya benar-benar kesal sebab, kesehatan Nur saat itu memang sangat mengkhawatirkan. Kini sifat Nur yang perhitungan menurut Pamungkas dia lalukan lagi.
"Sabar Mas, kamu tahu dia dari dulu selalu bekerja keras untuk bisa menghidupi adik-adiknya, jadi maklumi saja kalau terus terbawa sampai kalian bersama."
Keduanya sampai di kediaman Nur dan Pamungkas. Di sana Nur tengah bercengkrama dengan Amanda di ruang keluarga.
"Mah? Kenapa kamu udah pulang, bukankah kamu—"
"Aku baik-baik aja," jawab Nur datar.
"Nur, maafkan aku, karena aku kamu—"
"Memang karena kamu. Aku sakit karena kamu," Nur segera memotong ucapan Sisil.
"Nur!" bentak Pamungkas menegur sikap istrinya.
Pamungkas tak mengerti, Nur yang biasanya lembut kenapa bisa berubah seperti sekarang dan dia tak suka itu.
Sisil menunduk, di sebelahnya Pamungkas mengusap bahu sang kekasih untuk menenangkannya.
Nur yang melihat sikap keduanya merasa miris. Inikah yang sang suami janjikan? Bersikap adil?
Bahkan saat dirinya sakit pun sang suami lebih memilih bersama dengan selingkuhannya.
Tak ada lagi air mata. Nur sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tak lagi menangis.
Hidupnya terlalu singkat jika hanya untuk menangisi sang suami yang bahkan tak pernah memikirkan perasaannya.
"Maaf, maafkan aku Nur," ucap Sisil mengiba.
"Apa kalau aku memaafkan kamu, kamu akan melepaskan suamiku?"
Sisil terbelalak tak percaya dengan ucapan sang sahabat. Apa benar-benar Nur tak mau berbagi dengannya?
"Nur tolonglah, bukankah mas udah bilang tadi pagi—"
"Mas akan menceraikanku kalau aku ngga mau terima dia? Bukankah aku udah bilang kalau aku menyerah?" tantang Nur.
"Nur! Bukankah aku udah bilang jangan katakan perpisahan? Kita enggak akan berpisah!" sentak Pamungkas kesal.
"Jangan Nur jangan bercerai, aku mohon. Aku enggak sanggup kalau kalian berpisah, bukan seperti ini Nur harapanku—" sela Sisil yang sudah berderai air mata.
"Harapanmu ingin membunuhku secara perlahan Sil? Aku enggak tahu aku punya salah apa sama kamu hingga kamu sakit-in aku seperti ini Sil? Katakan salah apa aku!"
Tak tahan akhirnya air mata Nur tumpah juga. Dia sungguh tak mengerti dengan keduanya.
Salah apa dirinya hingga mereka benar-benar berusaha mengikat dirinya dengan hubungan yang menurtnya rumit itu.
"Kenapa kamu berpikir seperti itu Nur? Aku ngga bermaksud—"
"Jangan bicara seolah-olah kamu yang tahu apa yang terbaik untukku Sil. Kamu ingin merasakan kebahagian hidupku bukan? Sekarang aku lepaskan suamiku untukmu, aku berikan dia agar kamu bisa merasakan kebahagianku—"
"Hentikan Nur!"
"Apa Mas? Kamu enggak terima? Aku bingung dengan kalian, aku membiarkan kalian bersama, tapi kalian ingin mengikatku, apa kalian benar-benar ingin membuatku gila hah!" maki Nur histeris.
Amanda yang duduk di sebelah ibunya langsung memeluknya.
"Mah udah mah, Amanda mohon tolong jangan seperti ini mah. Jangan—"
"Kenapa Manda? Kenapa kamu juga? Apa kamu ngga kasihan sama mamah? Mamah ngga bisa Manda, mamah ngga akan sanggup," jawab Nur.
Amanda menangis, "Manda ngga mau papah dan mamah bercerai."
"Harusnya kamu bilang sama papahmu."
Pamungkas menghela napas kasar. Dia benar-benar frustrasi saat ini.
"Bagaimana mas? Kalau kamu ingin mempertahanku, aku akan berikan kamu kesempatan kedua, tapi lepaskan dia. Kalau kamu ngga bisa, maka aku yang mundur," ucap Nur datar.
Nur tengah menyiapkan hati untuk mendengar jawaban sang suami. Meski entah kenapa, dia seperti sudah bisa menebak jawaban sang suami, tapi bolehkan dia berharap.
Pamungkas lantas menatap sang istri dalam. "Kamu ingin pisah denganku Nur? Kamu tahu selama ini aku mencukupi hidupmu dan anak-anak dengan layak. Lantas kalau kamu pisah denganku, kamu kira masih bisa hidup enak?"
Pamungkas benar-benar menjatuhkan harga diri Nur dengan meremehkannya. Mendengar ucapan sang suami Nur lantas mengusap air matanya dan menatap sang suami datar.
"Kamu lupa? Aku adalah Nur! Ingat mas, kamu bisa seperti sekarang ini juga karena kerja kerasku. Aku yang menyokong kuliahmu agar kamu bisa berada di posisimu sekarang. Kamu pikir aku akan terlantar karena uangmu?"
Pamungkas terbelalak tak percaya dengan jawaban Nur yang berani menjatuhkannya dengan telak.
Dia tak suka Nur yang seperti ini, Nur yang sekarang, jujur membuatnya takut.
"Heh baiklah, kita lihat bisa apa kamu tanpa uangku Nur! Kamu pikir mudah menjadi Janda di usiamu sekarang? Akan kupastikan kamu tak akan mendapatkan apa pun, baik itu harta gono-gini maupun hak asuh anak-anak!"
.
.
.
Lanjut