Novel dengan bahasa yang enak dibaca, menceritakan tentang tokoh "aku" dengan kisah kisah kenangan yang kita sebut rindu.
Novel ini sangat pas bagi para remaja, tapi juga tidak membangun kejenuhan bagi mereka kaum tua.
Filosofi Rindu Gugat, silahkan untuk disimak dan jangn lupa kasih nilai tekan semua bintang dan bagikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ki Jenggo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Bumi Taji
"Nah, ini yang kita tunggu datang, " kataku sambil menyambut kedatangan Ima dan Anika yang membawa botol minuman.
Anika dan Ima tertawa lebar.
"Ayo, minum dulu, biar kita lanjut diskusinya," ujar Anika sambil menyerahkan minumannya pada kami satu persatu.
"Tokohnya nggak lupa, kan, lm, " kata Anika.
Ima mengeluarkan sebungkus rokok dari tasnya kemudian menyerahkan padaku.
"Iya, makasih ya, Dik, " kataku.
Ima mengangguk pelan.
"Gunanya tadi tentang keberadaan di sini, masa Medang dengan Mataram Kuncinya? "tanya Anika.
"Kok Medang dengan Mataram Kuno," sahut Hengki sambil menyalakan sebatang roknya.
"Kerajaannya Medang, Mataram adalah ibukotanya. sebetulnya I Bumi Mataram, tapi lebih mudahnya Mataram. Kemudian untuk membedakan dengan Mataram Islam atau Mataram Penembahan Senopati, di sebut dengan Mataram Kuno atau Mataram Hindu," kataku.
"Sebetulnya tidak ada kaitan antara Mataram Kuno dan Mataram Islam, ya? " tanya Hengki.
"Jauh banget, Mataram Kuno itu Ibu kota dengan Kerajaannya Medang. sedang Mataram Islam adalah Kerajaan. Dan masanya terpaut jauh," ujar Anika.
Hengki terlihat memandangku. Dia seolah minta persetujuan pendapat dari Anika. Aku hanya mengangguk.
"Oke kita kembali ke Prasasti Taji. Prasasti dari lempengan logam itu mampu kita jadikan pintu analisa untuk melihat kondisi sosial budaya masyarakat di Ponorogo, semasa Kerajaan Mataram Kuno di Yogyakarta, " kataku.
Semua teman teman mengangguk mengiyakan pendapatku.
Karena semua mengangguk maka aku memberi penjelasan singkat tentang prasasti taji.
"Prasasti Taji, adalah prasasti dari lempengan logam. Prasasti Taji ini ditemukan di Gelang Lor Kecamatan Sukorejo. Penulisan Prasasti dengan aksara Jawa Kuno dengan bahasa Jawa Kuno. Yang di tulis atas perintah Raja pada masa itu, " terangmu mengawali penjelasan tentang Prasasti Taji.
"Rajanya siapa, Kak?" tanya Pras antusias.
"Kalau masalah Raja, ini pasti ingin tahu aja," kata Anika.
"Tidak begitu, soalnya sekarang dikit dikit Sultan. Kekasihnya Sultan, nah ngapain tidak Raja." kata Pras.
"Masa, sih alasan kayak guru," tukas Ima.
"Iya, kita biar tahu peradabannya," ujar Pras.
"Kalau tidak diam diam, mana kita bisa melanjutkan cerita tentang prasasti itu," ujar Hengki.
Aku tersenyum mendengar mereka selalu bergontok setelah itu toh hak ada apa apa. Canda mereka adalah canda kas anak muda. Ya, anak anak yang haus akan ilmu pengetahuan.
"Nama Raja yang memerintah saat itu adalah Dyah Balitung atau Sri Maharaja Rake Watu Kura, " terangku.
"Ini Raja Wengker, masa itu, Kak," tanya Hengki.
"Wengker belum ada, Heng. Kan kita melihat peta peradaban Budaya sebelum Mataram Kuno bergeser ke Jawa timur," terang Anika.
"Oh, Iya.... aku kok lupa," jawab Hengki.
"Makanya jangan terlalu banyak makan brutu," tegas Pras.
Aku kembali tersenyum oleh tingkah mereka. Istilah makan Brutu (daging ekor ayam) adalah istilah yang di pakai masyarakat, untuk menyoroti orang yang mudah lupa. Konon kata masyarakat, bila kita banyak makan daging ekor ayam akan berakibat mudah lupa. Entah ini sekedar mitos masyarakat atau fakta. Terkait hal itu belum ada penelitian lebih lanjut.
"Benar," kataku menyela gurauan dari mereka.
"Prasasti Taji di keluarkan oleh Rakyan I Watu Tihang pu Sanggramadurandara untuk metesmikan Kebhikuan Dewasabha. Peristiwa itu terjadi pada tahun 823 Saka atau 901 M," terangku.
"Wah, Janjikan, berarti semacam sekolahan ya, Kak, " tanya Pras.
Aku menggangguk.
"Letaknya di mana, Kak?" tanya Ima.
"Banyak para sejarawan menyebut letak Kebhikuan Dewasabha di Pedukuhan Taji," jawabku.
"Kebhikuan yang ada mungkin semacam Pondok Pesantren, kalau saat ini," kata Anika.
"Bisa juga demikian." jawabku.
"Kalau pada saat itu saja sudah ah Sekolah khusus agama bagi masyarakat masa itu, berarti daerah kita sudah lumayan maju," kata Ima.
"Barangkali demikian," sahutku.
"Tapi kok tidak ada semacam candi. kayak Borobudur atau Penanaman," ungkap Pras.
"Emang kalau ada akan kau apakan?" tanya Ima.
"Ya di kelola, jadi aset Wisata. Bisa jadi dengan adanya Candi, kan Pendapatan Asli Daerah naik," tegas Pras.
"Obyek Wisata melulu yang kau pikir, " ujar Ima.
"Sebetulnya banyak. Cuman saja sudah banyak yang rusak atau roboh," ucapku.
"Waduh, kenapa ya kok bisa begitu?" tanya Ima.
"Candi di Jawa Timur kebanyakan dari batu bata merah. Seain itu juga struktur tanahnya " jawabku.
"Juga bisa jadi karena bencana alam. Gunung meletus atau banjir atau bencana lain, " tambah Anika.
"Tapi di sekitar Taji sana apa adanya berasnya, ya, Kak?" tanya Ima.
"Makanya aku ajak belajar Prasasti Taji, setelah itu kita melihat ke lokasi. Ada apa saja di sana," jawabku.
"Tapi perasaan saya juga tidak ada Candi " terang Anika.
"Sebelum kamu lahir, Candinya sudah rubuh," jawab Hengki yang di sahut tertawa kecil dari mereka.
Mereka memang suka akan gurauan. Tapi dengan mereka aku pun merasa senang. Terlebih saat ini anak muda jarang yang mau belajar akan sejarah. Maka jarang yang tahu akan sejarah daerahnya. Dengan keberadaan anak anak muda yang bersamaku, aku banyak berharap mereka kelak akan mengerti keberadaan sejarah dan ke depannya mau mengembangkan kebudayaan di wilayahnya.
"Sebetulnya kalau kita mau menelusuri wilayah Taji, pasti kita akan bisa menemukan bekas bekas candi," terangku.
"Wah., tapi kan sudah hancur, " sahut Anika.
"Iya, tapi kaki pondasi Candi tentunya masih ada," Ujarku.
"Kalau kaki candi masih ada biasanya ada apa saja, Kak?" tanya Ima.
"Ya, kurang tahu. Sebab tanpa kita melihat kita tidak mengerti keberadaan serta sisa sisa dari candi tersebut, " jelasku.
"Lantas gimana, Kak? " tanya Ima.
"Ya, kita coba lihat di sekitar sini nanti," jawabku.
"Jangan, Kak. Yang sini nanti saja. Karena yang kita kaji Taji, kita ke Taji saja nanti setelah itu baru sini, " usul Pras.
"Setuju saya usulan, Pras," kata Hengki.
Aku tersenyum dengar usulan mereka. Dengan demikian mereka penuh dengan semangat. Padahal aku ajak ke Makam Batara Katong karena di sini banyak sisa sisa reruntuhan candi yang perlu di kaji. Tapi karena niaatan mereka yang bulat, aku sepakat saja.
"Ayo, mimpimu masih siang, " ujarku.
"Kita ke Sukorejo,?" tanya Anika.
"Tidak, kita mau ke Surabaya, " jawab Ima.
Mendengar jawaban Ima, Anika mencubit lengannya.
Kami dengan mengendarai Sepeda motor, meninggalkan makam batara Katong menuju sebuah wilayah Sukorejo.
"Kita kumpul aja di Taman Sewu, " Kata Pras sambil menyetir sepeda motornya.
"Oke, " Jawabku.
Aku yang berada di Boncengan Hengki, hanya mengikuti apa kemauan Pras. Menurutnya Suka Sewu adalah tempat sebuah taman Dengan Pohon Soko yang banyak. Saking banyaknya pohon Soko di sebut dengan Suko Sewu.
Dari Makam Batara Katong ke Taman Suku Sewu yang ada di Desa Sukorejo, membutuhkan waktu tidak lebih dari satu jam bila melewati jalur kota. Dan begitu pilihan mereka.
*****
mari terus saling mendukung untuk seterusnya 😚🤭🙏
pelan pelan aku baca lagi nanti untuk mengerti dan pahami. 👍
bantu support karyaku juga yuk🐳
mari terus saling mendukung untuk kedepannya