Penasaran dengan kisahnya yuk lansung aja kita baca....
Yuk ramaikan...
Sebelum lanjut membaca jangan lupa follow, like, subscribe , gife, vote and komen yah....
Teruntuk yang sudah membaca lanjut terus, dan untuk yang belum hayuk segera merapat dan langsung aja ke cerita nya....
Selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
"Kita pulang. Kita bicarakan di rumah." Aris melaju kembali dengan kecepatan sedang. Mendengar tangisan Arumi membuatnya iba, tapi tak dapat berbuat ара-ара.
Arumi dengan susah payah menghapus setiap jejak air mata yang menetes. Rasanya putus asa. Ia tak punya daya sekalipun mengulang pertanyaan yang sama untuk mendapatkan jawaban. Setidaknya supaya hati merasa lega. Ia hanya menurut, pasrah. Terlebih Aris sudah merendahkan egonya.
Sampai di rumah, Arumi masih sempat menanyai Aris. " Mau pulang?"
Pertanyaan yang lucu di saat masalah yang sedang panas-panasnya dan belum terselesaikan.
"Apa tidak ada pertanyaan yang lain sih?" Aris merutuk di dalam hati.
"Aku masuk dulu. Kita bicara di dalam."
Arumi mengangguk mendengar jawaban Aris. Mereka turun. Arumi langsung menuju kamar. Tujuannya ingin segera ke kamar mandi.
Aris duduk dengan tenang di tepi ranjang, menunggu Arumi keluar. Beberapa menit kemudian, istrinya menampakkan diri. Aris tak dapat memastikan apakah Arumi masih menangis. Sebab, tertutup oleh cadar dan Arumi pun sengaja membuang pandangan.
Mereka duduk berjajar. Aris memulai pembicaraan dengan menanyakan keadaan istrinya. "Sudah lebih baik?"
Arumi malah kesal mendengarnya. Seharusnya pertanyaan itu tertuju untuk diri Aris sendiri. Bukankah permasalahan dimulai saat Aris tiba-tiba mengajaknya pulang dan mendadak jadi pendiam?
"Sudah. Boleh aku tanya sesuatu?" Arumi balik bertanya.
"Apa?"
"Kemana Farhan? Kenapa dia pergi tidak menungguku?"
"Kamu lebih mengkhawatirkannya?"
"Iya, selama ini cuma Farhan satu-satunya orang yang memberiku rasa aman."
Aris baru akan membaik, Arumi malah memperkeruh suasana. Dadanya panas, ia berdiri dan mengusap wajahnya.
"Mas marah? Silakan marah, karena itu memang kenyataannya. Mana ada perempuan bercadar seperti aku ini meminta tolong pada laki-laki urakan seperti Farhan, padahal aku memiliki suami. Nggak pantas kan? Tapi harus aku lakukan karena nggak punya pilihan lain. Farhan sudah seperti kakak kandungku sendiri. Mungkin juga sama seperti mas Nijar dengan Mas Aris."
"Kamu nggak pantas memuji dia seperti itu."
"Maaf, apa karena Farhan bekerja di bar, tidak seperti kalian yang terhormat dan bekerja di kantoran?
Orang-orang seperti kami juga ingin kali, Mas, hidup mudah dan serba berkecukupan seperti kalian. Mungkin Mas lupa kalau orang-orang seperti aku dan Farhan sejak kecil harus memikirkan betapa sulitnya hanya sekadar mencari tempat tinggal yang aman?"
"Merendah saja terus."
"Bagaimana aku tidak merendah, Dari dulu aku ini memang sudah dipandang rendah. Bahkan sudah berubah bercadar begini saja masih dicurigai terus apalagi ...."
Arumi menggantung ucapan. Suara azan asar menjadi pengingat dirinya agar menghentikan percakapan.
"Maaf, Rum mau solat dulu."
Arumi bangkit menuju kamar mandi, meninggalkan Aris yang masih terduduk dan diam mencerna semua ungkapan kekesalan dan rasa kecewa.
Benarkah Arumi merasa begitu? Merasa seperti apa yang kukatakan baru saja?
Aris hanya membatin.
Lalu, iapun beranjak ketika istrinya menampakkan diri. Bukannya mengikuti Arumi, ia malah keluar kamar, berdiri di depan pintu kamar sebelum memutuskan melangkah meninggalkan rumah itu.
Hari mulai senja, Aris masih belum juga menampakkan diri. Arumi mondar-mandir di dapur, menimbang apakah harus memasak ataukah membeli saja.
Aris meninggalkan tas kerja di dalam kamar. Jika pulang ke apartemen, pasti benda berharga itu dibawanya serta. Ingin menelepon pria itu, tetapi gengsi.
"Memasak saja deh,"
gumamnya. Arumi membuka kulkas, tempat penyimpanan bahan mentah. Memilih beberapa sayuran hijau dan daging yang masih ada.
"Assalamu'alaikum."
Ia tersentak oleh salam yang diucapkan Aris. Pria itu sudah masuk ke dalam rumah dan menampakkan diri di
"Waalaikumsalam."
Arumi bahkan tidak mendengar suara mobil Aris. Ia mendongak demi memastikan keberadaan sang suami.
Pria yang baru masuk itu berjalan menuju meja, lalu meletakkan sebuah bungkusan ke atas di sana.
"Nggak usah memasak. Aku sudah membeli makanan,” ucapnya. Lalu, setelah itu ia beranjak ke kamar.
Arumi berdiri, menutup pintu kulkas. Batal memasak, ia memeriksa bungkusan yang dibawa oleh suaminya. Isinya sayur matang yang masih terasa hangat. Ia tersenyum, merasa tidak perlu repot-repot memasak. Segera dipindahkan ke mangkuk saji, dan menyiapkannya di meja makan.
Setelah kebutuhan di meja makan selesai, Arumi beranjak ke kamar. Penasaran dengan apa yang dilakukan Aris.
Saat membuka pintu, Aris sudah terlihat segar usai mandi. Rambutnya basah dan mengenakan pakaian santai berupa kaos oblong dan celana pendek.
Arumi melangkah masuk, menutup pintu. Pandangannya langsung tertuju pada dua koper besar yang teronggok di sisi ranjang. Aris baru saja membawa dua benda itu dari apartemennya.
"Aku memutuskan pindah kemari," ucapnya menjawab pandangan istrinya yang serupa pertanyaan.
"Pindah?"
"Iya, kamu keberatan aku tinggal di sini bersamamu?"
"Eng-gak." Arumi menggeleng canggung.
"Biar aku masukkan ke dalam." Ia menunjuk koper, menariknya ke depan lemari pakaian lalu membuka dan memindahkan satu persatu ke tumpukan khusus pakaian Aris.
Usai solat magrib, Arumi mengajak Aris makan malam, dengan menu yang dibawa Aris sebelumnya. Hampir tidak ada percakapan selama menghabiskan makanan di piring masing-masing.
Keduanya sama-sama menahan ego untuk tidak lagi memancing keributan seperti sebelumnya.
"Aku akan menggunakan ruangan di samping kamar kita itu untuk ruang kerja pribadiku. Menurutmu bagaimana?"
Arumi tersentak atas pertanyaan Aris. Dirinya yang sedang berdiri menghadap wastafel usai menyelesaikan makan malam, menoleh demi menanggapi Aris.
"Boleh-boleh saja. Tapi belum dibersihkan, masih berantakan." Jawabnya.
"Akan aku suruh orang untuk membersihkannya."
"Aku saja. aku yang akan membersihkannya." Arumi menawarkan diri.
Ruangan itu sudah lama menjadi gudang. Aku sudah mencari orang untuk bekerja di sini, membantumu," tolak Aris.
"Pembantu?"
"Ya."
"Perempuan atau laki-laki?"
"Ya perempuan dong. Masa laki-laki. Kan untuk membantu kamu."
"Tapi nggak usah, Mas. Aku biasa mengerjakan semuanya sendirian."
nggak sempat mengerjakan semuanya sendirian karena beban tugas kamu juga bertambah karena kehadiranku di sini. Kamu juga harus ke toko."
"Itu sudah menjadi kewajibanku." Arumi melanjutkan pekerjaannya mencuci piring, sambil menanggapi ucapan Aris.
"Lagipula, pembantunya tidak akan menginap di sini kok. Dia datang dan bekerja di siang hari saja. Setelah itu pulang ke rumahnya. Jadi, kamu nggak perlu merasa tidak kalau ada orang lain tinggal di sini."
"Eh, bukan begitu."
Arumi yang merasa keberatan dengan pernyataan Aris, menyudahi pekerjaannya. Ia mengelap tangan kemudian duduk di hadapan Aris.
"Ya, sudah nggak apa-apa. Setidaknya ada yang menjaga rumah selama kita bekerja."
"Ya, tujuannya memang itu ." Aris menatap diri wanita yang duduk menghadapnya. "
Em, Rum, kamu sudah nggak marah lagi kan? Soal yang tadi, aku benar-benar minta maaf."