Pada mulanya, sebuah payung kecil yang melindunginya dari tetesan hujan, kini berubah menjadi sebuah sangkar. Kapankah ia akan terlepas dari itu semua?
Credits:
Cover from Naver
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AYZY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Midnight Pleasure
Sunyi saat aku masuk ke dalam rumah.
Rumah ini tidak besar. Hanya ada sebuah kamar tidur, kamar mandi, dapur kecil serta ruang tamu. Kondominium ini terletak di lantai dasar. Total ada lima unit di sana, dann lima unit lagi berada di atas. Rata-rata tetanggaku jarang berada di rumah. Atau ada yang malah sering berada di rumah berhari-hari tanpa keluar. Kami tinggal bersebelahan, akan tetapi tidak ada yang benar-benar akrab.
Saat aku masuk ke dalam rumah sepulang kerja, kegelapan dan kesunyian menyapaku begitu saja. Sudah lama sekali semenjak aku pertama kali tinggal di sini. Ini adalah kediaman yang direkomendasikan oleh pamanku. Kebetulan paman tinggal di kota yang sama, dan membayar semua pengeluaranku termasuk biaya kontrakan perbulan selagi aku mencari pekerjaan. Aku tinggal di kondominium karena rumah orangtuaku dijual. Ibu yang menjualnya beberapa tahun setelah ayah meninggal akibat kecelakaan. Ibu tidak memiliki pekerjaan waktu itu. Jadi ibu terpaksa menjualnya untuk mendapatkan membeli barang-barang kebutuhan pokok. Setelah itu, ibu menitipkanku di rumah paman dan pergi entah kemana. Paman tahu ibu pergi kemana, akan tetapi paman sama sekali tidak mau memberitahu. Yang kutahu tentang ibu adalah; saat ini, ibu hidup dengan tenang. Katanya, aku tidak perlu khawatir.
Setelah beberapa bulan tinggal di rumah paman, tibalah hari kelulusan. Paman bukanlah orang yang berada, jadi ia juga pasti sangat terbebani dengan kehadiranku. Apalagi, paman juga memiliki seorang putri yang seumuran denganku. Dan memiliki putra yang baru memasuki tahun pertamanya di sekolah menengah. Jadi, keluarga paman benar-benar sedang membutuhkan uang saat itu.
Aku tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi karena masalah biaya. Aku gagal mendapatkan beasiswa penuh. Pada awalnya, paman bersikeras untuk membantu menutupi biaya sisanya. Akan tetapi, karena pada saat itu putrinya juga sedang mendaftar ke perguruan tinggi, paman kuwalahan.
Menumpang tinggal di rumah paman, tidak bekerja, ataupun pergi ke kampus. Membuatku merasa tidak berguna waktu itu. Jadi, suatu ketika kukatakan pada paman bahwa aku ingin hidup mandiri. Paman mengijinkanku untuk itu, dan mencarikanku tempat tinggal dengan harga yang terjangkau. Sementara aku mencari pekerjaan, paman meminjami sejumlah uang untuk biaya kontrakan dan juga kebutuhan sehari-hari. Setelah aku mengumpulkan banyak uang, aku ingin mengembalikan semua uangnya pada paman. Akan tetapi, paman menolak dan berkata, 'simpan saja uangmu. Paman hanya bisa membantu sampai di sini. Maaf Paman tidak bisa membantumu lebih banyak!'
Saat itu adalah pertama kalinya aku melihat paman menangis di hadapanku. Waktu itu, aku memang seperti anak yang tengah kehilangan arah. Ibu tidak ada kabar. Paman mengatakan bahwa sebenarnya ibuku tidak bisa dihubungi sudah sejak lama.
Oleh karenya, aku sudah tidak mengharapkan apapun lagi. Aku sudah tidak lagi menunggu ibu pulang sejak hari itu. Ibu bahkan menelantarkanku, dan telah membuat paman kesusahan. Akan tetapi, kuharap ibu bisa hidup dengan tenang di sana, diberikan kebahagiaan, dan kesehatan. Sebagai anak, aku hanya bisa mendoakannya. Karena bagaimanapun juga, dia adalah ibuku.
Hanya paman yang menyayangiku seperti selayaknya keluarga. Terkadang, masih teringat dibenakku, kehangatan yang diberikan oleh keluarga paman dan istrinya saat aku masih tinggal di sana. Mereka semua baik padaku. Mereka memberiku makanan dan pakaian. Itu semua lebih dari cukup. Aku tahu mereka bekerja lebih keras saat aku datang. Mereka benar-benar tidak mengharapkan imbalan, dan menjagaku dengan baik seperti anaknya sendiri.
Di sisi lain, Andrew sama sekali tidak mengetahuinya. Dia meneruskan ke perguruan tinggi di luar kota. Ia benar-benar sibuk. Aku merasa tidak enak jika bercerita padanya tentang apa yang terjadi. Oleh karena itu, setiap kali dia bertanya, aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Setelah itu, dia tidak pernah bertanya lagi.
Sama sepertinya, aku juga tidak tahu apa yang terjadi padanya di sana. Kami tidak memiliki kesempatan untuk bertemu selama bertahun-tahun sampai aku mendengar kabar tentangnya diangkat menjadi Direktur Utama di Davis Group—perusahaan properti milik ayahnya.
Saat itulah, aku mulai merasakan sebuah dinding yang menjulang di antara kami. Kami berdua sangat bertolak belakang. Aku merasakan bahwa dia mulai menjauh dari jangkauanku. Rasa tidak nyaman yang kurasakan saat bersamanya membuat mentalku memburuk. Aku sangat tidak percaya diri. Dan aku tidak memiliki apapun saat ia telah memiliki segalanya.
Terkadang aku berharap supaya dia mau meninggalkanku agar aku tidak lagi berusaha tampil sempurna di hadapannya. Berpura-pura seperti itu membuatku seolah-olah tidak bisa bernapas. Itu sangat menyakitkan.
Menurutku, ia pantas mendapatkan yang lebih baik. Yang setara dengannya.
Jika seperti itu, aku sama sekali tidak masalah.
Omong-omong ini sudah hampir tengah malam. Aku menyalakan lampu di kamar tidur seraya mematut bayanganku sendiri di depan kaca. Rambut bewarna hitam kecoklatan itu sudah memanjang, aku menyisirnya agar tidak kusut. Kedua mataku tampak lelah, bibirku kering, serta badanku tampak seperti ranting pohon.
Sepertinya aku tidak makan dengan benar selama beberapa hari terakhir. Semuanya tampak kurus. Lengan dan wajahku terlihat memprihatinkan. Aku menghela napas singkat, sebelum berjalan menuju ke lemari—mencari baju santai untuk dipakai. Sementara itu, aku mulai menanggalkan semua seragam kerjaku dengan cepat.
Ding dong!
Aku mendengar suara bel pintu rumah berbunyi. Itu pasti Nyonya pemilik kondominium. Akan tetapi, kurasa ia tidak memiliki kebiasaan menekan tombol bel dan langsung menggedor pintu kuat-kuat sembari memanggil namaku. Apalagi saat ini sudah tengah malam.
Aneh....
Siapa yang datang malam-malam begini?
Bel itu ditekan berulang kali, membuatku terpaksa berganti baju dengan cepat sebelum berlari ke arah pintu.
Saat aku membukanya, aku langsung melihat seorang pria berdiri menjulang di depan pintu seraya melihatku. Ia tidak mengatakan apapun dan langsung memeluk tubuhku. Aku dapat mencium bau alkohol dan rokok yang menyengat melalu jas yang ia pakai. Ia mendorongku masuk, membuatku berjalan mundur. Ia menutup pintu di belakangnya, menimbulkan suara cklek.
"Aku akan menyalakan lampu!"
Ia menghentikan tanganku. "Tidak perlu, yang penting aku sudah bisa melihat wajahmu." Ia berhenti memeluk tubuhku dan beralih menangkap wajahku dengan kedua tangannya yang dingin.
Ia terus-menerus melihatku tanpa mengatakan sepatah kata. Aku juga dapat melihat wajahnya di balik cahaya remang-remang yang berasal dari lampu kamar. Lampu di kamar menyala terang, sehingga membuat ruang tamu ini tidak terlalu gelap.
"Andrew, kenapa kau datang kesini?"
"Apa aku tidak boleh datang?"
"T-tapi–"
Aku menegak saliva gugup saat Andrew meletakkan jari-jemarinya di antara rambutku. Ia menelurusi dengan jemarinya secara perlahan. Tunggu, jarak kami sangat dekat! Aku bisa merasakan tubuhnya yang tinggi.
"Ini sudah malam!" ucapku.
"Di luar sedang hujan," sahutnya dengan cepat.
Oh?
Pantas saja rambutnya sedikit basah.
Tapi, ada apa dengannya? Dia mendadak bersikap aneh.
"Aku punya sesuatu untukmu," ucapnya disela-sela keheningan. Ia menurunkan kedua tangannya untuk mengeluarkan sebuah kotak berbentuk kubus mini yang berada di balik jasnya.
"Pegang ini!"
Aku meraih kotak itu setelah Andrew membuka dan mengambil sepasang anting-anting mutiara model stud.
"Tunggu, kau bisa memasangnya?"
"Ya, aku bisa."
Ia mulai menyentug telingaku dengan hati-hati. Itu menggelitik syarafku saat ia tidak sengaja mengembuskan napasnya di dekat telingaku saat ia mencoba menusuk ujung antingnya ke dalam tindikan.
"Kau tidak pernah memasang anting sekalipun di sini!" ucapnya sembari memasang anting terakhir.
Itu memang benar. Karena selain tidak bisa memasangnya sendiri, aku tidak pernah berpikir untuk membelinya.
Sementara suara rintikan hujan semakin terdengar keras, kami terjebak di dalam keheningan.
"Kau sangat cantik ..." ucapnya setelah selesai memasang semua antingnya.
"Apa?" tanyaku terkesiap. Kupastikan aku sedang tidak salah dengar.
Dia berjalan melewatiku sembari melepas jasnya begitu saja kemudian meletakkannya di atas sofa.
"Apa kau tidak tahu bagaimana orang-orang menatapmu saat di luar?"
"..."
Aku melihat bayanganku sendiri di depan cermin yang ada di sudut ruangan ini. Kulihat ada cahaya mutiara yang berkilauan di ujung telingaku. Meskipun remang-remang, tapi kedua mutiara berukuran sedang itu tetap bersinar.
"Mereka pasti menginginkanmu juga. Itu sebabnya banyak wanita iri padamu," ujarnya sembari duduk di atas sofa, ia membiarkan punggungnya beristirahat pada punggung sofa sembari memejamkan mata, "kau membuat kebanyakan pria di luar sana berpaling padamu, tidak kah kamu tahu itu?"
Aku sama sekali tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah mereka mencibirku karena orang sepertiku tidak pantas untuknya.
Perempuan sepertiku ....
"Apakah kamu tidak akan pulang?"
Andrew menghela napas. Aku cukup terkejut dengan perubahan suasana hatinya yang tiba-tiba.
"Aku sedang menunggumu untuk menawarkan kamarmu," ujarnya sembari membuka mata lelahnya.
"Andrew, k-kau gila!"
"Stella, ini sudah tengah malam. Dan kau menyuruhku menyetir sendirian di bawah hujan? Apa kau tidak kasihan denganku?"
"Bagaimana nanti jika orang-orang tahu? Apa kata orang nanti saat melihatmu keluar dari rumahku?"
"..."
"Teganya kau!"
"Ma...maaf!"
"Tidurlah di sini, pasti kau sangat lelah!" lanjutku.
Andrew tersenyum tipis. Ia melonggarkan dasinya dan melepas beberapa kancing kemeja teratasnya.
"Apa kau nyaman dengan itu?"
Ia menganggukkan kepala kecil. Bersiap untuk berbaring di atas sofa.
"Apa kau butuh sesuatu?"
"Tolong beri aku selimut!" gumamnya.
"Baiklah ...."
Aku segera pergi ke kamar, mencari selimut cadangan yang tersimpan di dalam lemari.
Sembari mengeluarkan selimut, aku berpikir—apakah dia sengaja datang agar bisa tidur di rumahku karena ada masalah di rumahnya? Aku hafal betul kebiasaan minumnya. Dia hanya akan minum sampai melewati batas toleransinya saat ada masalah. Tapi aku tidak tahu masalah apa itu.
Setelah kembali ke ruang tamu. Aku menatapnya diam-diam saat dia sedang memejamkan mata. Aku menyelimuti tubuhnya dengan cepat, kemudian melihat jasnya yang tersampir di sana. Aku meraihnya kemudian duduk di kursi single yang ada di sebelah sofa yang ditempati oleh Andrew untuk melipat jas dengan cepat. Setelah selesai, aku meletakkannya di atas meja tanpa menimbulkan suara sama sekali.
Aku kembali melihatnya, tanganku tergelitik untuk menyentuh rambutnya yang sedikit basah. Aku tidak pernah menyentuhnya sebelum itu, jadi aku sangat penasaran.
Entah dari mana datangnya keberanian itu, aku berlutut di samping sofa dan mengulurkan tanganku di sela-sela rambutnya.
Rambutnya sedikit kasar dan tebal. Sontak, jantungku berdegup kencang. Ada semburat merah di wajahku yang tak terlihat.
Tiba-tiba, ia membuka mata dan manik hitam itu langsung menatap ke dalam mataku. Sontak aku langsung berdiri dan berniat untuk kabur secepat mungkin. Akan tetapi, Andrew sudah lebih dulu menarik tanganku. Ia menarik tanganku dengan kencang, membuat tubuhku limbung dan jatuh ke arahnya yang sudah berganti posisi menjadi setengah duduk. Sebelah lengannya bertumpu pada sofa dan sebelah tangannya lagi mencengkeram pergelangan tanganku.
"Apa yang sedang kau lakukan?"
...CHAPTER END...
tapi sukaaa.. gimana dong..
boleh banyak2 dong up nya..
/Kiss//Kiss/
saran aja nih.. kalau buat cerita misteri, updatenya sehari 3 x.. supaya pembacanya ga kentang.. /Chuckle//Kiss/