Gita, putri satu-satunya dari Yuda dan Asih. Hidup enak dan serba ada, ia ingat waktu kecil pernah hidup susah. Entah rezeki dari Tuhan yang luar biasa atau memang pekerjaan Bapaknya yang tidak tidak baik seperti rumor yang dia dengar.
Tiba-tiba Bapak meninggal bahkan kondisinya cukup mengenaskan, banyak gangguan yang dia rasakan setelah itu. Nyawa Ibu dan dirinya pun terancam. Entah perjanjian dan pesugihan apa yang dilakukan oleh Yuda. Dibantu dengan Iqbal dan Dirga, Dita berusaha mengungkap misteri kekayaan keluarganya dan berjuang untuk lepas dari jerat … pesugihan.
======
Khusus pembaca kisah horror. Baca sampai tamat ya dan jangan menumpuk bab
Follow IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 ~ Penasaran (2)
“Git, Gita. Ada Ikbal,” teriak Ibu.
Gita beranjak malas dari ranjangnya. Setelah subuh ia kembali ke kamar dan belum keluar, Asih sempat masuk untuk melihat keadaan khawatir sakit.
“Iya bu,” sahut Gita.
Pikirannya gadis itu sedang pelik, memikirkan beberapa hal yang entah ada hubungannya atau tidak. Mulai dari sosok yang ia lihat di ruangan yang terkunci, larangan tidak boleh ibadah di kamarnya sendiri juga kegiatan yang dilakukan oleh orang tuanya dan juga rahasia karena Asih jelas tidak ingin putrinya melihat apa yang mereka lakukan.
“Kamu tidur apa mati suri?” tanya Ikbal saat melihat Gita. “Masih acak-acakan pula, katanya mau ikut aku main ke pantai.”
“Aku belum izin, ibu. Bentar ya.” Gita menemui Ibunya yang berada di dapur, pandangan matanya sempat menatap ke arah pekarangan belakang lewat jendela dapur.
“Mau kemana?” tanya Asih seakan tahu apa yang akan dilakukan oleh Gita, wanita itu sibuk memasak.
“Pergi sama Ikbal, boleh ya bu,” pinta Gita dengan pandangan masih tertuju ke luar jendela. Lain waktu itu akan sempatkan mengecek ke belakang.
“Jangan pulang sore, eh kamu belum sarapan loh.”
“Nanti di jalan. Mobil aku bawa ya, udah di service ‘kan?”
“Iya bawalah. Bapakmu bilang sudah kok, sudah beres.”
Gita menghampiri ibunya memeluk wanita itu dari belakang. Wajah Gita dan Asih sebelas dua belas, mereka begitu mirip. Meski Gita terlihat lebih cantik, tapi wajah Asih jelas terawat. Dengan kehidupannya saat ini, di mana uang yang berlimpah. Sering melakukan perawatan membuat penampilannya tetap terjaga.
“Kangen Ibu,” ucap Gita. Asih terkekeh lalu mengusap punggung tangan Gita yang mengalung di perutnya. “Kenapa sih aku harus jauh dari kalian, padahal kuliah di sini juga nggak masalah.”
“Kami ingin yang terbaik untuk kamu, untuk masa depan kamu Gita. Sudah sana, Ikbal nunggu dari tadi.”
***
“Kamu kenapa sih, muka tuh nggak enak dilihat,” ejek Ikbal dan sudah duduk di samping Gita yang menatap hamparan laut lepas di hadapannya. “Katanya mau refreshing.” Ikbal membuka botol air mineral miliknya.
Mereka mengunjungi pantai yang perjalannya hampir dua jam dari kampung tempat tinggal, bukan hanya mereka berdua ada juga beberapa sahabat Ikbal yang Gita juga kenal. Ikbal sudah basah, sejak tadi berlarian dan bermain air dengan yang lainnya, berbeda dengan Gita yang menunggu di salah satu saung.
“Nggak tahu, banyak pikiran aku.”
“Ck, gayamu Git. Hidupmu tuh enak, orangtua banyak uang. Pingin apapun tinggal bilang, udah pasti dikabulkan. Anak tunggal sudah pasti disayang.”
“nggak gitu juga.”
“Mikirin tugas kuliah? Gampang Git, aku hubungi temanku yo.” Ikbal membuka tasnya mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.
“Halo, Mas Dirga, pa kabar?” Ikbal terkekeh.
“Masih jadi joki nggak, adikku mentok sama tugas kuliahe. Udah malas mikir dia, maunya cari cowok terus nikah.”
“Ikbal, apaan sih.” Ikbal kembali terkekeh.
“Sekarang kami lagi di kampung, lusa kami balik. Nanti aku hubungi untuk kita ketemuan. Adikku cewek, galak dan nyebelin. Mas Dirga harus stok sabar ya.”
“Ikbal.”
Ikbal masih terkekeh saat mengakhiri panggilan. “Nggak usah cemberut gitu, aku sudah kasih jalan. Nggak bisa bantu tugas kamu, tugasku juga bikin kepala mumet. Namanya Dirga, beruntung dia belum balik ke kota asalnya. Jangan jatuh cinta ya, orangnya guanteng tenan.”
“Idih, emangnya aku lagi cari jodoh.”
Ikbal sibuk dengan ponselnya, Gita kembali mengingat urusan di rumah. Berniat sharing dengan kakak sepupunya, terkait hal-hal yang menurutnya aneh dan ganjil.
“Ikbal.”
“Hm.”
“Aku mau cerita, tapi cukup jadi rahasia kita berdua aja. jangan sampai cerita ke orang lain.”
Ikbal pun menoleh. “Kayaknya serius nih, masalah apa asih?”
Gita menceritakan masalah ruangan yang selalu terkunci dan tidak boleh ada yang masuk, termasuk dirinya. juga yang ia lihat kemarin, wajah menyeramkan saat ia mengintip melalui celah pintu. Hal lainnya belum Gita sampaikan, ia ingin dengar dulu pendapat Ikbal.
“Mungkin saja bude sih benar. Itu ruang kerja bapakmu.”
“Ruang kerja apa, tempat bapak cari uang ya di toko,” sahut Gita menyangsikan pendapat Ibunya dan juga Ikbal.
“Ruang pesugihan kali.”
Deg
Gita menatap tajam Ikbal dan menjadi salah tingkah. Pria itu merasa ucapannya salah padahal yang asal ucap.
“Bercanda Git, mata kamu jangan begitu. Serem lihatnya, hilang cantiknya kamu.”
“Bal, aku serius.”
“Gini-gini. Bapakku bilang manusia kadang penasaran, padahal sudah dilarang tapi ya dilakukan. Sama kayak kasus kamu ini. Jelas dilarang masuk ke ruangan itu, tapi kamu malah penasaran. Kalau aku jadi kamu, aku pasti … maksa masuk.”
“hah, jadi aku harus masuk ke sana untuk pastikan ada apa di dalam?”
“Kalau aku, tapi janganlah.”
Gita memukul pelan lengan Ikbal karena kesal tidak mendapatkan jawaban yang jelas. Meskipun dalam hati Ikbal ada pikiran bahwa Yuda memang melakukan pesugihan. Pernyataan ini bukan tercetus begitu saja, tapi pendapat dari kerabat mereka juga. Yuda pernah sukses dan jatuh miskin, tiba-tiba hidupnya berubah dan kaya raya melebihi keadaan sebelumnya. Namun, ia tidak sampaikan pada Gita karena belum ada bukti yang jelas.
“Aku jadi bingung. Masalahnya banyak hal yang menurutku aneh.”
“Aneh gimana?” tanya Ikbal sambil fokus lagi dengan layar ponselnya, meskipun ia penasaran luar biasa.
“Iya banyak hal yang Bapak dan Ibu lakukan, menurutku itu tidak biasa.” Gita terdiam lalu menggebrak meja bale saung yang mereka duduki. Ikbal saja sampai bergeser karena kaget.
“Aku akan selidiki. Harus aku selidiki.”
***
Yuda tidak ada di rumah, Asih dipastikan sedang mandi. Sengaja pulang lebih awal, Gita akan melancarkan aksinya menyelidiki rumah itu. rumah yang ia tempati dengan segala macam keanehannya. Sudah berdiri di depan ruang kerja Bapak, Gita menyentuh gembok pengunci. Memperhatikan jenis gembok dan akan mencari tahu cara membuka tanpa menggunakan kunci.
“Lain kali aku pasti bisa masuk ruangan ini.” Tujuan Gita berikutnya adalah pekarangan belakang rumah. Pekarangan rumah di belakang sangat luas dan sekarang sudah dipagar tembok tinggi. Yang anehnya lagi ada bagian yang dipagari dengan bambu. Ada banyak gundukan di sana, di mana tiap gundukkan ditanami tanaman hias. Di waktu tertentu akan berbunga.
Ada satu gundukan yang masih baru, yang tadi pagi dicangkul oleh Yuda dan Asih. Gita sudah berjongkok di sana. Penasaran dengan apa yang dibenamkan di dalam gundukan tersebut.
“apa aku gali saja ya,” gumam Gita. “Tapi gimana galinya, sudah pasti lama dan ketahuan Bapak.”
Sedang asyik berpikir, ia terkejut dengan teriakan Yuda.
“Gita!”
Bahkan sampai terduduk di tanah karena terkejut.
“Kamu sedang apa disitu” tanya Yuda berjalan menghampirinya.
Gita beranjak sambil menepuk bajunya yang kotor. Tangannya ditarik oleh Yuda agar menjauh dari tempat itu.
“Bapak, sakit.”
“Bapak bilang jangan main di sini.”
“Aku lihat kelinci ke sebelah sana.”
“Kelinci? Jangan ngaco kamu, mana ada kelinci.”
Asih menengahi perdebatan suami dan putrinya lalu mengajak Gita masuk. Lagi-lagi nasehat agar menuruti permintaan Yuda, Gita hanya menganggukkan kepala meski logikanya semakin menolak.
Entah jam berapa, Gita akhirnya terjaga. Padahal masih mengantuk, tapi suara itu membuatnya terbangun. Suara ketukan di jendela. Sempat terdiam dan memastikan pendengarannya tidak salah. Ketukan tiga kali di jendela dan terus berulang.
Sudah beranjak duduk dan hendak turun dari ranjang untuk melihat asal suara, ia teringat dengan pesan Ibunya yang sering disampaikan. “Kalau lagi tidur, terus ada yang ketuk-ketuk jendela. Jangan dilihat dan jangan dibuka.”
“Kenapa bu?”
“Takutnya maling.”
Gita sudah berdiri di dekat jendela, tangannya sudah memegang gorden yang akan disibak. Meski agak takut, tapi penasaran. Mana tahu itu benar maling.
Srek.
"Astagfirullah," pekik Gita lalu mundur dan menabrak kursi meja rias. Sambil memegang dadanya karena jantung berdetak begitu cepat, tubuhnya pun lemas seakan kurang asupan nutrisi.
Sosok yang ia lihat di depan jendela adalah pocong. Takut dan bingung, ia pun berusaha melangkah keluar dari kamar. Takut kalau sosok tersebut akan masuk ke kamarnya.
"Bu," panggil Gita, sambil berpegangan pada kusen pintu. Lampu di depan kamarnya dimatikan, membuat suasana menjadi gelap dan agak mencekam.
Plek plek
Akan melangkah ke kamar Ibunya, tapi urung mendengar suara langkah. Mungkin saja itu ibunya, Gita pun menuju arah suara.
"Ibu," panggilnya lagi.
Langkah Gita terhenti menatap sosok beberapa meter di depannya. Sosok yang sama dengan yang ia lihat di depan jendela. Untuk yang ini ia melihat bagian belakang dan sosok tersebut bergerak ke kiri dan kanan.
"I-bu ...."