Terima atau tidak, mau tak mau manusia harus menerima kenyataan itu. Bahwa mereka terlahir dengan apa adanya mereka saat ini. Sayangnya manusia tak bisa memilih akan dilahirkan dalam bentuk seperti apa. Kalau bisa memilih, mungkin semua orang berlomba-lomba memilih versi terbaiknya sebelum lahir ke dunia.
Terkadang hal istimewa yang Tuhan beri ke kita justru dianggap hal aneh dan tidak normal bagi manusia lain. Mereka berhak untuk berkomentar dan kita juga berhak memutuskan. Mencintai diri sendiri dengan segala hal istimewa yang Tuhan tuangkan dalam diri kita adalah suatu apresiasi serta wujud syukur kepada sang pencipta.
Sama seperti Nara, yang sudah sejak lama menerima kenyataan hidupnya. Sudah sejak dua tahun lalu ia menerima panggilan spiritual di dalam hidupnya, namun baru ia putuskan untuk menerimanya tahun lalu. Semua hal perlu proses. Termasuk peralihan kehidupan menuju hidup yang tak pernah ia jalani sebelumnya.
Sudah setahun terakhir ia menjadi ahli pembaca tarot.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Dipa Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Oktavia
Hari ini Nara dan Baron kembali mengunjungi ruko yang barusaja mereka sewa kemarin. Keduanya berencana untuk membereskan beberapa hal yang bisa mereka bereskan tanpa perlu bantuan tukang. Itu adalah salah satu cara untuk menekan pengeluaran. Mengingat sampai saat ini Baron belum memiliki satu klien pun. Ia tak cukup terkenal di sini, berbeda dengan tempat ia tinggal sebelumnya.
Sementara Nara tidak perlu khawatir dengan kondisi finansialnya. Jika klien yang ingin dibacakan tarotnya sedang sepi, maka ia masih bisa mengandalkan kedai yang dikelola bersama ibunya.
Sepertinya Baron harus segera menemukan klien pertamanya untuk melanjutkan hidup. Itu adalah bagian buruk dari kehidupan seorang dukun yang tak pernah mereka tahu. Mereka yang telah ditakdirkan untuk menjafi seorang dukun biasanya memang memiliki garis keturunan tersebut. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan oleh dukun, selain kegiatan yang berkaitan dengan spiritual. Mereka tak bisa bekerja seperti karyawan pada umumnya. Mereka tak ditakdirkan untul hal-hal semacam itu.
Berbeda dengan Nara, ia bukan seorang dukun. Tetapi tetap memiliki kekuatan spiritual yang diwariskan melalui garis keturunan. Kehiduoannya tak semonoton para dukun. Setidaknya gadis itu masih bisa menikmati sedikit bagian dari hidupnya untuk menjadi manusia biasa.
"Aku sepertinya tidak bisa membantu ibu lagi hari ini," ungkap Nara pada ibunya.
"Kami harus membereskan tempat itu tanpa tukang. Jadi sepertinya beberapa hari ke depan aku akan sedikit sibuk," jelas gadis itu kemudian.
"Tidak masalah, fokus saja pada bisnis yang baru akan kalian mulai," kata wanita itu.
"Ibu sudah biasa mengelola bisnis ini sendiri, tak masalah. Kau tak perlu mengkhawatirkan ibu," sambungnya.
"Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu. Segera telepon aku jika terjadi sesuatu," balas Nara sambil berpamitan.
"Bibi, kami pergi dulu ya!" sambung Baron menambahi.
"Baiklah, hati-hati kalian berdua," balas Ibu Nara.
Wanita itu sangat mempercayakan anak semata wayangnya kepada Baron. Ia percaya jika pria itu akan menjaganya dengan baik. Mereka tampak sudah jauh lebih dekat sekarang.
Sebelum pergi ke ruko, mereka menyempatkan diri untuk mampir ke toko perlengkapam rumah. Ada beberapa barang yang harus mereka beli. Salah satunya adalah alat kebersihan. Lalu setelahnya mereka akan bergegas ke ruko. Memanfaatkan waktu yang mereka miliki hari ini dengan semaksimal mungkin.
"Jadi kita mulai dari mana lebih dulu?" tanya Nara begitu sampai.
"Kita bersihkan secara berrahap saja, dimulai dari lantai satu," jawab Baron.
"Baiklah," kata Nara sambil mengangguk.
Sepertinya gadis itu amat tak sabar untuk memulai kegiatan mereka kali ini. Biasanya Nara akan selalu mengeluh dan protes jika disuruh membersihkan sesuatu. Baik itu di rumah mau pun di sekolah. Ia tak pernah suka dengan yang namany bebersih. Namun seperrinya hari ini roh baik sedang merasuki dirinya. Sehingga membuat gadis itu merasa lebih rajin. Sesungguhnya itu adalah hal yang baik.
Tanpa banyak basa-basi lagi, mereka mulai membersihkan lantai pertama lebih dulu. Menyapu sisa debu yang mungkin tertinggal, di susul dengan mengelap beberapa perabotan. Kemudian mengepel dan membersihkan sarang laba-laba yang muncul di langit-langit ruangan.
Keduanya memastikan agar tempat ini benar-benar bersih nantinya dan juga terasa nyaman.
"Permisi!" sahut seorang gadis dari ambang pintu.
Nara yang sedang istirahat sontak mengalihkan pandangannya ke arah gadis tersebut dengan raut wajah yang sedikit kebingungan. Lagi pula apa yang ia lakukan di sini. Mungkin saja gadis itu ingin bertanya petunjuk jalan. Mungkin saja ia tersesat.
Nara berinisiatif untuk bertanya padanya lebih dulu. Namun, tepat sebelum Nara hendak beranjak dari tempat duduknya tiba-tiba saja Baron sudah lebih dulu menghampiri gadis tersebut.
"Oktavia?!" seru Baron sambil tersenyum lebar kemudian menjabat tangan gadis itu.
"Bagaimana perjalananmu tadi? Apakah menyenangkan? Apa kau tersesat?" interupsi Baron secara mendadak.
"Wop! Wop! Aku baru saja datang dan kau menyerangku dengan pertanyaan bertubi-tubi," protes Oktavia tak terima.
"Apakah seperti ini caramu menyambut seorang tamu?" tanya Oktavia. Dengan sengaja ia jelas berusaha untuk meledek pria itu.
Sementara itu, dari kejauhan Nara hanya mengamati interaksi mereka berdua. Oktavia dan Baron tampak sangat akrab satu sama lain. Bisa disimpulkan jika mereka sudah cukup sering bertemu sebelumnya.
"Oh, mari ku kenalkan dengan temanku!" celetuk Baron tiba-tiba.
Pria itu mempersilahkan Oktavia untuk masuk dan bertemu dengan Nara yang sudah sejak tadi duduk di sudut ruangan.
"Nara, perkenalkan ini temanku. Namanya Oktavia, dia seorang ahli fengshui dan kerap melakukan ramalan berdasarkan tanggal-tanggal," jelas Baron di awal.
"Oktavia, ini Nara. Putri pemilik gedung tempat tinggalku sekarang. Omong-omong dia juga ahli tarot," sambungnya.
"Wah, itu sangat mengagumkan. Senang berkenalan denganmu," ucap Oktavia lalu mengulurkan tangannya.
"Senang bertemu denganmu juga," balas Nara yang kemudian ikut membalas uluran tangan dari gadis itu barusan.
Entah kenapa saat pertama kali berjabat tangan, Nara merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. Tak bisa ia deskripsikan, tapi yang jelas ini hukan energi positif. Namun meski begitu, Nara tetap berusaha untuk berpikir positif dan mengesampingkan intuisinya. Sangat tidak etis untuk berprasangka buruk pada orang yang baru kita temui pertama kali.
Mereka akhirnya memutuskan untuk duduk di meja tempat Nara duduk sebelumnya. Nara sedang menanti penjelasan lebih lanjut dari pria yang duduk tepat di hadapannya ini. Pertanyaan Nara sederhana saja. Ia hanya ingin tahu apa alasan Oktavia kemari. Apakah memang hanya kebetulan mereka sedang berada di kota yang sama dan memutuskan untuk bertemu, atau malah sebaliknya Baron yang mengundang gadis itu untuk datang kemari dengan alasan tertentu. Ia berharap Baron lekas menangkap sinyal darinya dan menjelaskan semuanya tanpa perlu diminta lebih dulu.
"Oh ya, Oktavia akan berada di kota ini untuk sementara waktu," ungkap Baron tiba-tiba.
"Aku memintanya untuk membantu kita dalam mengelola bangunan ini sebelum resmi di buka. Kebetulam ia adalah ahli fengshui dan juga temanku," jelas pria itu kemudian.
Nara mengangguk paham sambil menyeruput teh hangat yang sudah tinggal setengah cangkir lagi.
"Jadi kita akan bekerja sama dengannya di awal?" tanya Nara untuk memastikan.
"Benar," jawab Baron singkat.
Ia perlu memastikan jika apa yang barusaja ia tangkap dari penjelasan Baron sama sekali tak keliru.
"Kalau begitu dimana ia akan tinggal selama beberapa hari ke depan?" tanya Nara lagi.
"Ah, kebetulan aku sudah memesan hotel di sekitar sini untuk beberapa hari ke depan. Tidak perlu cemas," balas Oktavia secara tiba-tiba.
Padahal pertanyaan barusan ia khususkan untuk Baron. Nara sedang bertanya kepada pria itu, bukan kepada gadis yang duduk di depannya.
"Oo, baiklah kalau begitu," balas Nara acuh tak acuh.
Situasinya terasa cukup canggung bagi mereka saat ini. Tidak ada yang memulai obrolan lagi setelahnya. Mereka saling membisu satu sama lain. Termasuk Nara. Gadis itu seolah-olah seperti tak begitu menghiraukan eksistensi Oktavia di sana. Dan hal itu pula yang membuat Oktavia merasa sedikit sungkan. Ia bertanya-tanya apakah ada melakukan kesalahan di awal dan menciptakan kesan pertama yang buruk bagi Nara.