“Namamu ada di daftar eksekusi,” suara berat Carter menggema di saluran komunikasi.
Aiden membeku, matanya terpaku pada layar yang menampilkan foto dirinya dengan tulisan besar: TARGET: TERMINATE.
“Ini lelucon, kan?” Aiden berbisik, tapi tangannya sudah menggenggam pistol di pinggangnya.
“Bukan, Aiden. Mereka tahu segalanya. Operasi ini… ini dirancang untuk menghabisimu.”
“Siapa dalangnya?” Aiden bertanya, napasnya berat.
Carter terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Seseorang yang kau percaya. Lebih baik kau lari sekarang.”
Aiden mendengar suara langkah mendekat dari lorong. Ia segera mematikan komunikasi, melangkah mundur ke bayangan, dan mengarahkan pistolnya ke pintu.
Siapa pengkhianat itu, dan apa yang akan Aiden lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Tawaran Aliyah
Hari ketiga sejak Aiden dirawat di rumah Aliyah, tubuhnya mulai pulih. Luka-lukanya sudah tidak lagi terlihat mengkhawatirkan, meskipun bekas rasa sakit masih terasa di beberapa bagian. Aliyah, yang setiap hari mengurusinya, mulai melihat bahwa pria ini tidak hanya misterius, tapi juga membawa aura bahaya.
Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.
Pintu rumah diketuk keras, dan kali ini Aliyah sudah menduga siapa yang datang. Wajahnya pucat ketika ia melangkah ke pintu, sementara Aiden yang sedang duduk di sofa menatapnya dengan mata tajam.
"Siapa itu?" tanya Aiden, meskipun ia sepertinya sudah tahu jawabannya.
Aliyah menelan ludah, suaranya gemetar. "Rentenir... mereka kembali."
Aiden berdiri perlahan, meskipun tubuhnya belum sepenuhnya kuat. "Buka pintunya. Aku akan bicara dengan mereka."
"Tidak, jangan!" Aliyah memegang lengannya, matanya memohon. "Mereka tidak akan peduli. Mereka hanya ingin uang. Jika aku tidak membayar, mereka akan menghancurkan rumah ini."
Ketukan di pintu semakin keras, diiringi suara teriakan. "Aliyah! Kau pikir bisa sembunyi dari kami? Bukakan pintunya, atau kami masuk!"
Aliyah akhirnya menyerah. Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu. Tiga pria masuk, wajah mereka dipenuhi amarah. Pemimpin mereka, pria berjaket kulit hitam yang sama seperti sebelumnya, menatap Aliyah dengan tatapan dingin.
"Kau tahu kenapa kami di sini," katanya singkat.
Aliyah mengangguk, mencoba terlihat tegar meskipun tubuhnya gemetar. "Aku butuh waktu sedikit lagi. Tolong beri aku kesempatan."
Pria itu tertawa pendek, sinis. "Kesempatan? Kau pikir aku ini bank? Kami sudah menunggu terlalu lama, Aliyah. Jika besok kau tidak membayar, kami akan menghancurkan rumah ini, mengerti?"
Aliyah menunduk, air matanya mulai mengalir. "Berapa... berapa jumlahnya sekarang?"
"Setelah bunga berjalan? Lima ratus juta."
Aliyah tertegun. Angka itu seperti palu yang menghantamnya langsung. Ia tidak punya apa-apa lagi untuk dijual, apalagi membayar jumlah sebesar itu dalam waktu sehari.
Namun sebelum ia bisa menjawab, suara Aiden terdengar dari belakangnya. "Besok, aku akan membayarnya."
Semua orang di ruangan itu menoleh, termasuk Aliyah yang menatap Aiden dengan ekspresi kaget. Pemimpin rentenir itu menyipitkan mata, menilai pria yang baru saja bicara.
"Dan siapa kau?" tanyanya tajam.
"Aku yang akan menyelesaikan masalah ini," jawab Aiden tegas. "Datang lagi besok pagi, dan kau akan mendapatkan uangmu."
Pria itu tertawa, meskipun ada sedikit ragu di matanya. "Baiklah. Tapi jika kau berbohong, kami tidak hanya akan menghancurkan rumah ini. Kau juga akan kami cari."
Setelah memberikan ancaman terakhirnya, mereka pergi meninggalkan rumah itu dalam keheningan. Aliyah menutup pintu dengan tangan gemetar, lalu menoleh ke arah Aiden.
"Kau... apa yang kau lakukan?" tanyanya, hampir menangis. "Kau tidak tahu apa yang kau hadapi. Mereka tidak main-main."
Aiden tidak menjawab. Sebaliknya, ia berjalan ke arah tas yang sejak awal ia bawa. Dengan tenang, ia membuka tas itu dan mengeluarkan sesuatu yang membuat Aliyah tertegun.
Beberapa batang emas batangan, berkilauan di bawah cahaya lampu, tergeletak di atas meja.
"Ini..." Aliyah menutup mulutnya dengan tangan, matanya membelalak. "Dari mana kau mendapat semua ini?"
"Jangan tanya," jawab Aiden singkat. "Bawa ini ke bank atau tempat pencairan lain. Uangnya akan lebih dari cukup untuk melunasi hutangmu."
Aliyah masih tertegun, tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Tapi ia tahu ia tidak punya pilihan lain. Dengan hati-hati, ia mengambil emas itu dan mengangguk. "Aku akan pergi sekarang juga."
***
Malam itu, hutang lima ratus juta rupiah akhirnya lunas. Rumah Aliyah selamat, tapi pikirannya masih dipenuhi pertanyaan tentang siapa sebenarnya Aiden.
Namun keesokan harinya, saat Aiden sedang bersiap-siap untuk pergi, Aliyah menghentikannya.
"Kau mau ke mana?" tanyanya dengan nada panik.
"Pergi," jawab Aiden tanpa basa-basi. "Aku sudah terlalu lama di sini. Tidak aman bagimu jika aku tetap tinggal."
"Tidak!" Aliyah berdiri di hadapannya, menghalangi jalan. "Kau tidak bisa pergi. Aku... aku ingin kau tetap di sini."
Aiden mengerutkan kening. "Kenapa? Aku sudah membantumu. Hidupku penuh bahaya, Aliyah. Kau tidak tahu siapa aku."
Aliyah menggigit bibirnya, lalu mengambil napas dalam-dalam. "Kalau begitu, menikahlah denganku."
Kata-kata itu membuat Aiden membeku di tempat. Ia menatap Aliyah dengan ekspresi tidak percaya. "Apa yang kau katakan?"
"Menikahlah denganku," ulang Aliyah dengan suara gemetar, tapi matanya menunjukkan tekad. "Aku tidak punya cara lain untuk membalas semua yang kau lakukan. Setidaknya, dengan menikah, aku bisa merasa aku sudah membayar hutangku."
Aiden tertawa pendek, tetapi tidak ada humor dalam suaranya. "Aliyah, kau tidak mengerti. Aku bukan orang yang bisa kau ajak hidup bersama. Hidupku sudah hancur. Aku bahkan bukan siapa-siapa."
"Tidak masalah," jawab Aliyah tegas. "Aku tidak peduli siapa kau atau apa yang kau sembunyikan. Kau menyelamatkanku, dan aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja."
Aiden menghela napas panjang, menatap wanita itu dengan campuran frustrasi dan kekaguman. Tapi sebelum ia bisa menjawab, suara langkah kaki terdengar dari luar, diikuti dengan ketukan di pintu.
Aiden menatap pintu dengan sorot mata tajam, tubuhnya kembali siaga meskipun masih belum sepenuhnya pulih. Aliyah berdiri di sampingnya, memegang lengan Aiden dengan erat. Rasa takut mulai merayapi wajahnya.
"Kau... kau pikir mereka kembali?" bisik Aliyah dengan suara gemetar.
Aiden tidak menjawab. Ia hanya menggerakkan tangan, memberi isyarat agar Aliyah menjauh dari pintu. Namun, Aliyah tetap berdiri di tempat, terlalu takut untuk bergerak.
Ketukan di pintu semakin keras, kali ini diiringi suara kasar. "Aliyah, buka pintunya sekarang! Kami tahu kau ada di dalam!"
Aliyah memejamkan mata, air matanya hampir tumpah. "Aiden, apa yang harus kita lakukan? Kalau itu rentenir lagi, mereka pasti datang untuk menghancurkan rumahku."
Aiden melangkah maju, melepaskan pegangan Aliyah. "Biarkan aku yang menghadapinya."
"Tapi—"
"Tidak ada tapi." Suara Aiden tegas, nyaris seperti perintah. "Kau sudah cukup menderita karena mereka. Sekarang giliran aku yang menangani ini."
Aliyah tidak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa melihat Aiden membuka pintu dengan gerakan cepat, memperlihatkan sosok di baliknya.
Namun, yang muncul di depan mereka bukan rentenir seperti yang mereka duga. Seorang pria dengan setelan gelap berdiri di sana, wajahnya dingin dan penuh ketegasan. Di belakangnya, dua pria lain tampak berjaga-jaga, masing-masing membawa tas kecil yang terlihat mencurigakan.
Pria itu tersenyum tipis, tatapannya langsung tertuju pada Aiden. "Ternyata kau di sini."
Aiden membeku. Wajahnya yang sebelumnya tenang berubah menjadi tegang dalam sekejap. Aliyah, yang berdiri di belakangnya, merasakan perubahan suasana yang begitu mendadak hingga ia tidak berani bergerak.
"Siapa kau?" tanya Aiden dengan nada rendah, namun penuh ancaman.
Pria itu tidak menjawab langsung. Ia melangkah masuk tanpa diundang, lalu memandang sekeliling rumah dengan ekspresi sinis. "Aku tidak menyangka kau akan bersembunyi di tempat seperti ini, Aiden. Sangat jauh dari gaya hidupmu yang biasa."
Aliyah akhirnya memberanikan diri berbicara. "Maaf, siapa Anda? Apa yang Anda inginkan?"
Pria itu meliriknya sekilas, senyumnya semakin lebar. "Aku tidak berbicara denganmu, nona. Aku di sini untuk Aiden. Dia tahu kenapa aku datang."
Aiden mengepalkan tangan, tatapannya tajam seperti pisau. "Jika kau ingin sesuatu, katakan langsung. Jangan bawa orang lain ke dalam masalah ini."
Pria itu terkekeh, lalu mengeluarkan amplop dari saku jasnya. Ia meletakkannya di atas meja dengan gerakan santai, seolah tidak ada tekanan apa pun. "Ini hanya peringatan, Aiden. Kau tahu apa yang terjadi jika kau terus mencoba kabur."
Aliyah menatap amplop itu dengan bingung, lalu beralih ke Aiden yang wajahnya tampak semakin gelap. "Apa maksudnya ini, Aiden?"
"Aliyah, masuk ke kamar. Sekarang," perintah Aiden tiba-tiba, suaranya lebih tegas dari sebelumnya.
Aliyah menggeleng, matanya dipenuhi kecemasan. "Tidak! Aku tidak akan pergi ke mana-mana sampai kau menjelaskan apa yang terjadi. Siapa mereka? Apa yang mereka inginkan darimu?"
Aiden tidak menjawab. Ia hanya menatap pria di depannya dengan sorot mata penuh kebencian. Pria itu, di sisi lain, terlihat menikmati ketegangan yang ia ciptakan.
"Aiden," kata pria itu akhirnya. "Kau bisa terus bermain peran sebagai pria baik di depan wanita ini, tapi pada akhirnya, kebenaran akan terungkap. Kau tidak bisa lari selamanya."
Setelah mengucapkan kata-kata itu, pria tersebut melangkah keluar bersama anak buahnya. Namun, sebelum pintu tertutup, ia menoleh sekali lagi dan memberikan senyuman dingin. "Kami akan bertemu lagi, lebih cepat dari yang kau kira."
Keheningan meliputi ruangan setelah mereka pergi. Aliyah memandang Aiden dengan penuh pertanyaan, tetapi pria itu hanya berdiri di tempat, seperti sedang berusaha menenangkan diri.
"Aiden," panggil Aliyah pelan. "Apa... apa yang sebenarnya terjadi?"
Aiden akhirnya menoleh, tetapi tidak ada jawaban di matanya. Ia hanya menatap Aliyah dengan tatapan penuh beban, seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi menahannya.
"Aliyah," katanya akhirnya, suaranya hampir berbisik. "Aku harus pergi. Semakin lama aku tinggal di sini, semakin besar bahaya yang akan datang padamu."
"Tidak!" Aliyah menggeleng keras. "Aku tidak peduli bahaya apa yang kau bawa. Kau sudah menyelamatkanku. Jika kau pergi sekarang, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku."
"Aku tidak punya pilihan," jawab Aiden, matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. "Hidupku sudah berakhir sejak lama. Jangan ikut terjebak dalam kekacauan ini."
Namun sebelum ia bisa melangkah pergi, Aliyah berdiri di depannya dengan tatapan penuh tekad. "Kau tidak akan pergi, Aiden. Kau pikir hidupmu sudah berakhir? Kalau begitu, biarkan aku menjadi alasanmu untuk memulainya lagi."
Aiden terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Tapi di dalam hatinya, ia tahu satu hal: kepergiannya tidak akan semudah yang ia bayangkan.
Di luar rumah, bayangan pria berjas itu masih melayang di benaknya, mengingatkannya bahwa ancaman belum berakhir.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya jangan lupa like dan komentarnya ya.
Terima kasih.