Spin of Need A Bride
🍂🍂
Haruskah ia tetap mempertahankan cintanya? Sedangkan di sisi lain Zacky juga tidak mau mengabaikan calon anaknya yang berada di dalam kandungan gadis tidak dia kenal. Seorang gadis yang dia nodai pada malam tak diinginkan.Di mana dirinya terjebak oleh keadaan yang tidak bisa dia hindari.
Semua itu terjadi begitu saja hingga membuat Zacky Rayyansyah, putra kedua dari pebisnis Attakendra Rayyansyah tersebut berada dalam pilihan yang sangat sulit. Sementara pernikahannya dengan Natusha—tunangan Zacky semakin dekat.
Langkah apa yang akan Zacky ambil? Menerima atau mengabaikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lee_yuta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch. 11. Bersyukur
Bab. 11
"Lo yakin?" tanya Melani dengan tatapan menelisik. "Lo nggak bisa bohongin gue, Sil," ujarnya lagi.
Sila semakin dibuat resah di saat Melani dengan terang-terangan memindai pergerakannya. Tidak mau ketahuan kalau memang ada yang berbeda, cepat-cepat Sila duduk di samping Melani.
"Lo tau banget kalau gue sedang butuh makanan," ujar Sila berusaha tersenyum dan bersikap tenang, demi mengalihkan perhatian Melani.
Melani berdecak. Ia tahu jika Sila sedang berbelit.
"Ck! Kalau emang ada apa-apa dan butuh bantuan, lo bilang aja ke gue atau Yuan. Kita nggak akan maksa kalau emang lo nggak mau cerita," ujar Melani sadar, namun tidak bisa memaksa untuk ikut campur terlalu jauh. "Kalau emang lo nggak enak badan, periksa aja. Gue anter atau gue belikan obat sekarang? Biar besok lo bisa masuk sekolah," tawar Melani yang masih belum bisa meninggalkan topik tersebut.
Sila merasa terharu sekali karena mempunyai sahabat yang sangat pengertian dan tahu batas. Namun, ia belum siap untuk bercerita sekarang kepada Melani. Beruntung juga hari ini yang datang ke kontrakannya bukan Yuan. Kalau saja itu Yuan, sudah jelas gadis kepo yang suka sekali ikut campur urusan temannya itu akan mengulitinya hingga benar-benar membunuh rasa curiga serta penasaran yang gadis itu rasa.
"Maaf, Mel. Gue akan cerita kalau emang udah waktunya. Untuk sekarang ini tolong, bersikaplah kalau gue baik-baik saja," ujar Sila dengan suara lirih dan juga raut muka nya yang tidak seperti biasanya. Terlihat lebih sendu.
Sebenarnya Melani ingin mendesak kenapa Sila tiba-tiba seperti ini. Tetapi ia harus menghargai keputusan sahabatnya tersebut.
"Tapi lo nggak kenapa-napa, kan?" tanya Melani mengenai keadaan Sila.
Sila menggeleng kepala.
"Nggak. Gue nggak apa-apa kok. Cuman ke capek an, jadi pada pegel semua rasanya," jujur Sila.
Masih belum percaya dan merasa sangat khawatir, bukan lagi penasaran, Melani mengangkat tangannya dan menempelkan punggung tangan tersebut ke kening Sila.
"Kali ini gue baru percaya," ucap Melani sembari mengangguk lalu membuka plastik keresek yang dia bawa tadi.
"Kenapa?" tanya Sila bingung.
"Lo nggak panas. Jadi gue nggak perlu khawatir berlebihan lagi. Selebihnya lo atasi sendiri. Tapi ingat, kalah memang butuh bantuan, jangan sungkan-sungkan bilang ke gue atau Yuan. Lo di sini sendirian soalnya. Gue cuma takut kalau lo ngerasa benar-benar nggak punya seseorang buat bantuin masalah lo. Awas aja kalau sampai dipendem sendiri. Gue bilangin ke Yuan masalah perbedaan lo hari ini," pesan Melani panjang lebar.
Ia hanya ingin menegaskan kalau Sila tidak sendirian. Meskipun pada kenyataannya gadis itu tidak mempunyai sanak saudara di sini. Keluarganya berada di Surabaya semua. Sedangkan kedua orang tuanya sudah tiada. Hanya ada kakek dan neneknya. Itu pun mereka juga sudah sepuh banget.
Sila bersyukur mendapat sahabat seperti kedua temannya itu. Sangking terharunya, Sila memeluk Melani begitu erat. Tanpa sadar air matanya pun mengalir.
"Makasih, Akak Mel Mel. Dewasa banget kalau kayak gini," ujar Sila terharu, namun dengan bahasa yang justru membuat Melani kesal.
"Enak aja! Masih polos dan imut-imut, gue! Yuan noh yang dewasa banget," elaknya tidak terima. Karena anggapan Melani, dewasa itu artinya sudah tua dari usia yang sebenarnya.
Sila terkekeh. Sedikit terhibur dengan adanya Melani. Padahal memang di antara mereka bertiga, Melani lah yang selalu dewasa dalam bersikap maupun dari segi pemikiran. Sudah matang.
"Ya udah, ini kapan makannya kalau kita ngobrol terus. Gue laper. Capek, habis kerja rodi semalam," ujar Sila dengan wajah memelas. Jujur, namun sengaja tidak diperjelas.
Melani jengah menatap Sila yang berakting seperti ini.
"Nggak usah sok imut lo. Orang amit-amit, juga!" balas Melani sembari mendorong wajah Sila yang mendekat ke arahnya.