Sebuah perjodohan membuat Infiera Falguni harus terjebak bersama dengan dosennya sendiri, Abimanyu. Dia menerima perjodohan itu hanya demi bisa melanjutkan pendidikannya.
Sikap Abimanyu yang acuh tak acuh membuat Infiera bertekad untuk tidak jatuh cinta pada dosennya yang galak itu. Namun, kehadiran masa lalu Abimanyu membuat Infiera kembali memikirkan hubungannya dengan pria itu.
Haruskah Infiera melepaskan Abimanyu untuk kembali pada masa lalunya atau mempertahankan hubungan yang sudah terikat dengan benang suci yang disebut pernikahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kunay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagaimana Denganku?
“Aaaaaaaa!”
Suasana yang sepi langsung menggelegar saat Fiera membuka mata dan menyadari jika dirinya berbarik di atas lengan yang berotot dan wajahnya menghadap ke dada bidang seorang pria. Tangan dan kakinya refleks mendorong dengan kekuatan penuh, untuk menjauhkan pria tersebut.
Brug!
Uhhhh!
Pria yang tak lain adalah Abimanyu mengaduh saat tubuhnya terjerembap di lantai, kepalanya membentur lemari kecil yang ada di samping tempat tidur. Dia mengusap kepalanya yang sakit.
“Kenapa kau mendorongku?” sungutnya, seraya bangkit.
Dari arah tempat tidur, Fiera melongokkan kepalanya. “Ma-Mas? Mas kenapa tidur di kamarku?” Antara malu, tapi juga jengkel. Fiera sadar tadi dirinya terbangun dengan posisi tangan yang memeluk tubuh Abimanyu.
Abimanyu bersungut-sungut. “Bukankah semalam kau yang membawaku ke sini? Lupa?”
Fiera tertegun. Dia mengingat apa yang terjadi semalam. Sebelum tidur, dia memang merawat Abimanyu yang sakit, lalu karena demam dia mengompres karena tidak tahu bagaimana carannya memanggil dokter untuk datang ke rumah. Tapi...
“Bukannya aku tidur di lantai?” tanya Fiera, dia ingat betul.
Abimanyu salah tingkah. “Ya, kau pindah begitu saja, karena merasa tidak nyaman. Lalu memelukku begitu saja.”
Fiera terdiam memikirkan ucapan Abimanyu. “Apa seperti itu?” Dia sungguh tidak mengingat apa-apa setelahnya. Fiera hanya ingat sebatas dirinya yang mengompres Abimanyu karena demam.
“Ya, memang seperti itu,” jawab Abimanyu dengan terbata. “Bagaimana caranya aku memindahkanmu? Kau tahu, kan, kalau mas sakit?” Beruntung Abimanyu memberikan alasan yang cukup masuk akal. Terbukti, Fiera langsung terdiam dengan ucapannya itu. Bahkan, wajahnya terlihat merona sekarang. Mungkin, wanita itu merasa malu karena terbangun di dalam pelukan Abimanyu.
Setelah Abimanyu menjelaskan. Fiera masih terlihat berpikir, seperti tidak percaya dengan ucapan suaminya.
“Ke-kenapa kamu malah diam?” tanya Abimanyu. Jangan sampai wanita itu menyadarinya, kalau dia berbohong dan akhirnya marah lagi.
“Aku lagi mikir. Perasaan, semalam mas pakai kemeja lengan pendek, tapi kenapa sekarang pakai kaos?”
Abimanyu semakin salah tingkah. Dia terlihat gugup untuk menjelaskan. “Ba-bagaimana mungkin seperti itu.”
“Iya, aku ingat kalau semalam Mas pakai kemeja. Jangan-jangan....”
“Ja-jangan apa?”
“Jangan-jangan kamar ini berhantu dan gantiin baju mas.”
Fiera buru-buru turun dari tempat tidur dan duduk merapat ke tubuh Abimanyu yang masih terduduk di lantai karena kepala dan pinggangnya yang terasa sakit. Fiera menendang dan mendorongnya dengan kekuatan penuh. Padahal, wanita itu baru saja terbangun dari tidurnya.
Abimanyu tercengang. “Apa yang kau katakan?” Abimanyu bangun dari duduknya. “Konyol! Aku memang pakai baju ini.” Abimanyu tidak berani menatap Fiera yang kini bergantian duduk di lantai. Dia takut wanita itu melihat kebohongannya.
Abimanyu kembali naik ke atas tempat tidur dan merebahkan tubuhnya.
“Mas kenapa tidur lagi di sana?”
“Mas ini sakit, Fier. Belum lagi kamu menendang mas seperti bola.”
Fiera terkekeh dengan keluhan Abimanyu. “Ya, maaf.”
Baru saja Abimanyu akan memejamkan matanya, dia merasakan telapak tangan yang hangat menyentuh keningnya. Dia segera membuka mata dan melihat sang istri di sampingnya.
“Apa yang kamu lakukan?”
“Demamnya sudah turun,” ucapnya, mengabaikan pertanyaan Abimanyu.
“Tidurlah, aku akan membelikan bubur.” Semalam, dia hanya membuat bubur sedikit dan takut jika rasanya cocok dengan Abimanyu.
Fiera menarik tangannya dari kening Abimanyu dan berbalik, tapi gerakannya terhenti saat Abimanyu mencekal pergelangan tangannya.
“Ada apa?” tanya Fiera, menunduk melihat tangan yang dicekal sang suami.
“Terima kasih karena sudah merawat mas semalam.”
“Sudahlah. Mas tidur lagi aja. Aku akan membelikan bubur dulu di depan.”
Setelah mengatakan itu, Fiera melangkah meninggalkan suaminya.
Abimanyu menghela napas pelan. Dia tahu kalau Fiera masih enggan lama-lama berbicara dengannya, tapi setidaknya wanita itu sudah mau berbicara lagi. Abimanyu akan melakukannya pelan-pelan sampai Fiera benar-benar mau berbicara berdua—dari hati ke hati.
Tidak jauh dari tempat tinggalnya memang ada penjual bubur ayam. Fiera membeli dua porsi, untuk Abimanyu, dan juga dirinya. Dia segera menyajikannya di atas meja dan menatanya sebelum memanggil Abimanyu yang berbaring di kamar.
Fiera kembali masuk ke dalam kamar dan melihat Abimanyu yang kembali memejamkan matanya. “Mas,” panggilnya dengan lirih.
Abimanyu langsung membuka mata dan berpandangan lurus dengan istrinya. “Aku sudah menyiapkan buburnya. Mau makan di sini atau di dapur?”
“Di dapur saja.” Abimanyu perlahan bangkit dari berbaringnya dan menurunkan kakinya. “Ayo.”
Fiera hanya mengangguk dan berjalan lebih dulu meninggalkan kamar, diikuti Abimanyu di belakangnya. Mereka berdua langsung duduk saling berhadapan di meja makan. Dua mangkok bubur ayam hangat sudah terhidang di hadapan mereka, beserta cakwe dan juga telur puyuh.
Fiera menyantap bubur miliknya, tanpa mengatakan sepatah kata pun, sedangkan Abimanyu sesekali melirik wanita itu. Dia terlihat ingin berbicara, tapi bingung harus mulai dari mana.
“Fiera,” panggil Abimanyu memecah keheningan yang tercipta sejenak tadi.
“Hmm?” sahut Infiera, tanpa mengalihkan perhatiannya dari buburnya.
“Mas ingin bicara.”
“Katakan saja. Aku mendengarkan!”
Abimanyu menarik napas dalam, karena sadar keengganan dari setiap kata yang diucapkan istrinya.
Abimanyu hanya menyantap buburnya sebanyak dua suap, karena lidahnya masih terasa pahit. “Emmm... mas ingin minta maaf ke kamu untuk ucapan mas saat itu. Mas sadar sudah bicara keterlaluan.”
Fiera diam, tapi dia sama sekali tidak menghentikan kegiatan makannya.
“Mas benar-benar tidak bermaksud menuduh kamu yang tidak-tidak. Mas hanya... mas hanya khawatir.”
Gerakan tangan Fiera terhenti, dia meletakkan sendoknya di dalam mangkuk, lalu membalas tatapan Abimanyu.
“Khawatir?”
“Ya, saat itu sudah malam, tapi kamu belum juga kembali. Mas panik. Apa lagi, ibu dan ayah ada di sini saat itu.”
Fiera tersenyum tipis. “Mas ini lucu, ya.” Fiera meneguk air putih sebentar, lalu melanjutkan. “Bukannya, sebelum itu juga aku beberapa kali pulang malam? Perasaan mas tidak pernah mencariku atau menanyakan ke mana aku pergi.” Fiera tersenyum mencela diri sendiri.
Abimanyu menatap mata Infiera dengan sorot rasa bersalah.
“Tahu, ga, mas rasanya dituduh seperti itu? Seolah aku akan mempermalukan mas di luar sana dengan berhubungan dengan pria lain. Padahal, seorang pun tidak ada yang tahu mengenai pernikahan kita. Ya, setidaknya siapa pun yang mendekatiku. Mereka tidak tahu mengenai statusku yang sudah menikah. Bukankah itu adalah celah yang sangat rawan untuk pria lain ‘menembakku’? Sedangkan Bu Almira? Dia jelas-jelas tahu kalau mas sudah menikah, kan?”
Saat mengatakan itu, sudut mata Fiera sedikit bergetar. Jelas sekali dia sedang menahan perasaannya, menahan ekspresinya supaya Abimanyu tidak melihat. Betapa terlukanya dia dengan perlakuan mereka.
Abimanyu terdiam. Dia tidak memiliki apa pun untuk membantahnya karena memang semua yang dikatakannya adalah kebenaran.
“Maaf,” ucap Abimanyu tiba-tiba. “Satu tahun yang lalu saat kita menikah, tentu Almira adalah orang yang paling terluka. Ya, semua itu memang salahku yang tidak memiliki ketegasan untuk menolak permintaan ibu supaya aku menikah dengan anak dari sahabatnya. Tapi, saat aku memutuskan untuk menerima tawaran itu, aku juga sudah menyelesaikan hubunganku dengan Almira. Namun, tentu saja aku tidak bisa lepas begitu saja. Almira hanya memiliki seorang ayah yang sangat sibuk dengan pekerjaannya. Maka dari itu, aku berjanji padanya untuk membantu jika dia membutuhkan bantuanku.”
Abimanyu diam-diam memperhatikan setiap perubahan ekspresi di wajahnya istrinya, tapi wanita itu menyimak dengan ekspresi datar, membuat Abimanyu tidak bisa membaca bagaimana suasana hati wanita itu.
“Apa lagi, sekarang dia berada di kota ini—di Jakarta—jauh dari keluarganya. Hanya aku yang bisa dia mintai tolong. Maaf jika kamu salah paham dengan hal itu. Tetapi, mas janji setelah ini mas akan berusaha untuk membuat batasan dengannya. Beri mas sedikit waktu, untuk perlahan menerima semua keadaan ini tanpa ada pihak ketiga.”
Ingin sekali Fiera berteriak pada suaminya yang tampan ini. Memang, berapa banyak keluargaku yang ada di Jakarta? Bahkan aku harus bekerja untuk menafkahi diri sendiri.
Namun, yang dilakukan Fiera hanya tersenyum tipis. “Ya, aku mengerti.” Lalu, senyumnya semakin lebar. “Aku sudah selesai. Mas habiskan makannya, lalu minum obat. Biar aku yang siapkan.”
Fiera bangkit dari duduknya dan berjalan menuju tempat cuci piring dan meletakkan mangkuknya di sana. Dia mengambil jus buah milik Abimanyu dan menyerahkannya ke hadapan pria itu.
Tiba-tiba, ponsel Abimanyu yang berada di atas meja berdering. Nama Almira tertera di layarnya. Fiera hanya melirik sekilas, lalu setelahnya dia berpura-pura tidak melihat dan kembali ke tempat cuci piring.
Abimanyu meraih ponselnya dan segera menerima panggilan itu dan berjalan menjauh saat panggilannya hampir mati.
...Jangan lupa, tap tombol like-nya. Sarangheeee...