Mimpi Aqila hanya satu, mendapat kasih sayang keluarganya. Tak ada yang spesial dari dirinya, bahkan orang yang ia sukai terang-terangan memilih adiknya
Pertemuannya tanpa disengaja dengan badboy kampus perlahan memberi warna di hidupnya, dia Naufal Pradana Al-Ghazali laki-laki yang berjanji menjadi pelangi untuknya setelah badai pergi
Namun, siapa yang tau Aqila sigadis periang yang selalu memberikan senyum berbalut luka ternyata mengidap penyakit yang mengancam nyawanya
.
"Naufal itu seperti pelangi dalam hidup Aqila, persis seperti pelangi yang penuh warna dan hanya sebentar, karena besok mungkin Aqila udah pergi"
~~ Aqila Valisha Bramadja
.
.
Jangan lupa like, komen, gift, dan vote...🙏⚘😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mukarromah Isn., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 : Jadilah Pelangi
Pensil dan buku yang tak pernah lepas dari tangannya selalu menjadi ciri khas Aqila, buku yang dipenuhi goresan-goresan apa yang dilihat atau yang menjadi mimpinya
Ia berjalan di koridor kampus sendirian karena Renata mengatakan ada acara mendesak dengan keluarganya
"Kok gue ngerasa lupain sesuatu tapi apa ya?" Aqila mengetuk-ngetuk dagu dengan pensil
"AWASSS" teriakan dari arah lapangan basket mengejutkan Aqila, ia belum sempat menghindar hingga akhirnya bola basket mengenai kepalanya membuatnya tak sadarkan diri
Hal terakhir yany dilihatnya adalah Naufal dan Ibu Maya yang terlihat berlari menghampirinya
.
"Aqila kemana sih?" Kirana berdiri mondar mandir di depan rumahnya dengan memegang ponsel, berharap sepupunya segera mengangkat panggilan telepon tapi ternyata nihil tak ada balasan apapun
"Aqila udah dimana nak?"Mama Rani bertanya kepada putri bungsunya
"Nggak tau ma, telponnya nggak diangkat"
"Mama, sekarang sudah waktunya" Kevin melihat jam di pergelangan tangannya, Rencananya keluarga besar Bramadja hari ini akan pergi ke rumah Naya si mempelai wanita untuk mengadakan acara lamaran
"Tunggu sebentar lagi kak, Aqila belum dateng"
"Udah tinggalin aja, lagian siapa suruh dia lama" Rian ikut menimpali
"Kak Rian kok ngomong gitu? kita itu keluarga jadi harus sama-sama, tunggu sebentar lagi"
"Gimana dong Pah, Reyna malam ini ada janji sama Galang"
"Yaudah lo nggak usah ikut" entah kenapa Kirana tidak terlalu dekat dengan Reyna, ia lebih sering bersama dengan Aqila sejak kecil, setiap perkumpulan keluarga besar Reyna memilih lebih dekat dengan Rian, Darren, dan Devano dari pada bermain bersama mereka
"Kirana nggak boleh ngomong gitu" Papa Radit memperingatkan anaknya
"Kita berangkat aja ya, kasian juga kalau mereka menunggu terlalu lama" Mama Intan berusaha memberikan pengertian kepada Kirana yang masih setia menunggu Aqila
"Tapi tante..."
"Aqila bisa ikut lain kali, mungkin dia ada tugas mendadak dari dosen" Rian berusaha memberikan pengertian kepada Kirana yang hanya dibalas anggukan lesu oleh Kirana
"Nggak usah sedih, Aqila pasti ngerti kok" Kevin mengelus rambut adiknya dengan lembut di dalam mobil
"Tapi kasian Aqila kak, dia yang paling semangat buat ikut, katanya dia juga udah nyiapin hadiah yang akan dikasih langsung buat Kak Naya" Kirana memgingat ucapan Aqila yang berencana memberikan kejutan untuk calon istri kakaknya
"Lain kali kan masih bisa nak" Papa Radit yang sedang menyetir ikut menimpali
"Jangan sedih lagi dong putri mama, nanti cantiknya ilang" sepertinya kata-kata mamanya tidak berpengaruh untuk Kirana saat ini, ia lebih memilih mengalihkan pandangannya pada kaca mobil yang memperlihatkan lampu-lampu yang mulai menyala diluar sana untuk menyambut datangnya gelap malam
.
Ruangan putih dengan bau obat-obatan yang menyengat menjadi hal yang tak bisa lepas dari rumah sakit
Tempat yang tak pernah lepas dari suara tangis karena menanggung rasa sakit atau karena kehilangan orang-orang yang selalu bersama mereka
"Kamu pacarnya Aqila?" Ibu Maya yang terkenal sebagai dosen killer mengusap air matanya yang mengalir dengan memegang selembar surat hasil pemeriksaan
"Eh bukan bu" Naufal yang termenung setelah mengetahui fakta penyakit Aqila tersadarkan kembali oleh pertanyaan mendadak Bu Maya
Dosen killer dan si murid bad boy, dua insan yang rasanya mustahil untuk bisa menangis bersama di tempat yang sama dan untuk orang yang sama
"Ibu sering denger kamu suka godain cewek-cewek dikampus"
"Eh, bukan saya bu itu si Gempano teman saya" memang itulah susahnya bersama dalam satu kelompok, karena saat salah satu anggota melakukan sesuatu yang salah atau kurang baik maka seluruh anggota akan dikenal pula seperti itu
"Kenapa kamu sering bolos? sering tawuran? "
"Ibu tau nilai kamu bagus tapi untuk sikapmu itu tidak bisa dibenarkan apalagi sering ngelawan sama dosen"
"Maksud Ibu?"
"Ubah dirimu nak, ibu tau kamu anak yang baik" Ibu Maya menepuk-nepuk pundak Naufal pelan seperti seorang ibu yang memberikan semangat untuk anaknya
Naufal membenarkan istilah jangan melihat seseorang dari luarnya saja, mereka yang terlihat galak dan serius punya sisi lembut didalam seperti Bu Maya, mereka yang terlihat sering tertawa bahagia nyatanya tak ada yang tau sakit mereka menahan tangis dalam diam seperti Aqila, atau mereka yang terlihat nakal dan bad boy seperti dirinya nyatanya anak seorang kyai
"Kalau kamu memang benar-benar tulus kepada Aqila, jadilah pelangi untuknya, warnai hidupnya dengan berbagai warna"
"Ibu tau hidupnya tak memiliki banyak warna, melalui lukisan ia menumpahkan dan mencurahkan perasaannya karena ia merasa tak ada orang yang akan bisa mengerti apa yang dia inginkan"
"Aku akan menjadi pelangi untuknya, pelangi yang mewarnai hidupnya dan pelangi indah yang menandai redanya hujan yang akan terganti dengan kebahagiaan"
"Apa kau bisa berjanji?"
"Aku akan berjanji"
"Kata-kata yang indah untuk anak jurusan bisnis sepertimu"
"Bagaiman ibu tau?" Ibu Maya terkekeh mendengar pertanyaan polos Naufal
"Heh, hampir seluruh kampus dan dosen dari berbagai fakultas mengenalmu"
"Engghhh"
Mata Aqila dibuat silau oleh ruangan serba putih yang ditempatinya saat ini, ia memegang kepalanya yang berdenyut sakit
"Nak"
"Bu Maya?"
"Syukurlah kau sadar, kau tak sadarkan diri di UKS sangat lama , akhirnya ibu membawamu ke rumah sakit"
"Kepala Aqila sakit bu" Bu Maya mengalihkan pandangannya kearah lain untuk menghapus air matanya yang tiba-tiba mengalir
"Sebentar ibu panggil dokter"
Tak berselang lama, dokter laki-laki masuk diikuti perawat perempuan yang membawa sesuatu
"Bagian mana yang sakit?"
"Kepala saya sakit dok"
"Ada lagi?" Aqila menggeleng
"Aqila, dokter perlu menjelaskan sesuatu terkait kesehatanmu dengan orang tuamu"
"Apa aku terkena penyakit serius dokter?" dokter itu mengarahkan pandangannya pada Bu Maya dan Naufal untuk berfikir
"Apa aku benar dokter? Apa aku mengidap penyakit mematikan?"
"Kami harus bertemu dengan keluargamu dulu..."
"Apa aku terkena kanker otak?" Semua orang yang ada di ruangan itu terdiam tak bersuara, air mata Bu Maya berlinang, Naufal yang mendengar itu pun tanpa sadar meneteskan air matanya, dokter dan perawat cukup terkejut mendengar hal itu
"Apa kau sudah melakukan pemeriksaan sebelumnya?"
"Jadi itu benar?" Aqila tersenyum lirih dengan air mata yang mengenang di pelupuk matanya
"Stadium berapa? berapa lama lagi sisa hidupku?"
"Dengarkan kami nak, dokter itu bukanlah tuhan yang bisa menentukan hidup mati atau umur seseorang, perbanyaklah berdo'a karena hanya Allah yang bisa mengatur segalanya"
"Jangan berkecil hati, kau harus punya semangat yang kuat untuk sembuh"
"Ini adalah hasil surat pemeriksaan rumah sakit, berikan pada keluargamu"
"Keluarga adalah pemberi dukungan terbesar untukmu" Dokter keluar dari ruangan setelah menjelaskan berbagai jenis obat dan pengobatan yang bisa dilakukan
"Bu Maya"
"Ya?"
"Tolong jangan beritahu keluargaku"
mksh om