Kehidupan Zenaya berubah menyenangkan saat Reagen, teman satu kelas yang disukainya sejak dulu, tiba-tiba meminta gadis itu untuk menjadi kekasihnya.
Ia pikir, Reagen adalah pria terbaik yang datang mengisi hidupnya. Namun, ternyata tidak demikian.
Bagi Reagen, perasaan Zenaya tak lebih dari seonggok sampah tak berarti. Dia dengan tega mempermainkan hati Zenaya dan menginjak-injak harga dirinya dalam sebuah pertaruhan konyol.
Luka yang diberikan Reagen membuat Zenaya berbalik membencinya. Rasa trauma yang diberikan pria itu membuat Zenaya bersumpah untuk tak pernah lagi membuka hatinya pada seorang pria mana pun.
Lalu, apa jadinya bila Zenaya tiba-tiba dipertemukan kembali dengan Reagen setelah 10 tahun berpisah? Terlebih, sebuah peristiwa pahit membuat dirinya terpaksa harus menerima pinangan pria itu, demi menjaga nama baik keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim O, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 : Penyesalan Reagen.
Tangis bahagia Jennia membuncah kala sepasang mata warisan suaminya pada sang anak kini terbuka setelah hampir lima hari tidak sadarkan diri. Krystal, istri dari Noah, yang menemani sang ibu mertua turut merasakan hal yang sama.
"Ya Tuhan, Rey!" Jennia memeluk Reagen dengan sangat hati-hati. Wanita itu juga menciumi pipi anak bungsunya sembari merapalkan kalimat syukur berulang-ulang kali.
Reagen tersenyum lemah. "Ma," sapa pria itu pada ibunya.
Jennia mengangguk. "Kamu benar-benar membuat kami khawatir, Nak," ucapnya sambil terisak.
"Ma ... Maaf," jawab Reagen dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
"Jangan, jangan meminta maaf, Sayang. Yang penting kamu sudah sadar." Jennia masih setia memeluk dan menciumi pipi Reagen dengan sangat hati-hati, sebelum kemudian Dokter John bersama dua orang perawat datang ke sana.
"Apa yang kamu rasakan saat ini Rey? Apa ada yang sakit?" tanya Dokter John.
Reagen menggeleng lemah.
"Baik, sekarang coba angkat tangan kananmu secara perlahan." Dokter John memberi perintah dan mencontohnya pada Reagen.
Reagen sekuat tenaga mengangkat tangan kanannya sesuai instruksi sang dokter. Namun, tidak sampai sepuluh centimeter di atas bed tangan kanannya langsung jatuh terkulai.
"Kali ini coba angkat kaki kananmu." Dokter John menelisik kondisi Reagen dengan saksama, sembari meminta perawat untuk mencatat apa-apa yang harus mereka lakukan.
Tidak seperti lengan kanannya yang mampu terangkat meski hanya sedikit, kaki pria itu malah sama sekali tidak bergerak. Kekhawatiran seketika terlihat jelas di wajah Reagen dan keluarganya.
"Sekarang lakukan hal yang sama pada tubuh bagian kirimu."
Reagen menuruti perintah sang dokter, dan kaki serta tangan kirinya terangkat dengan sempurna.
Melihat itu Dokter John mengalihkan pandangannya pada Jennia. "Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya bahwa tangan dan kaki kanan Reagen mengalami penurunan fungsi sementara. Setelah melakukan pemeriksaan ulang secara menyeluruh saya akan segera menjadwalkan Reagen untuk mengikuti terapi fisik agar bisa kembali normal."
Jennia menatap sang dokter penuh harap. "Anak saya benar-benar bisa pulih sepenuhnya, kan, Dok?"
Dokter John tersenyum menenangkan. "Tenang saja, meski butuh waktu tapi Reagen akan kembali pulih."
Raut kelegaan terpancar dari wajah Jennia dan Krystal. Dokter John dan dua orang perawat itupun segera pamit undur diri.
"Kamu dengar 'kan, Sayang? Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Jennia menatap putra bungsunya dengan penuh kasih sayang.
"Aku yang seharusnya mengatakan hal itu, Ma," kata Reagen dengan suara lemah. Senyum kecil terbit dari wajah tampan pria itu.
...***...
"Rey baru saja sadar, Zen." Grace membuka suaranya saat mereka tengah makan siang bersama di kantin rumah sakit. Pekerjaan Zenaya yang lumayan padat membuat gadis itu tidak bisa pergi jauh dari rumah sakit untuk makan siang.
Mendengar perkataan Grace, Zenaya mendengkus kesal. Semenjak kehadiran Reagen di rumah sakit mereka, Grace tidak pernah sekalipun melewatkan kesempatan untuk mengabari Zenaya tentang segala hal terkait kondisi pria itu.
Grace seolah tidak mengindahkan peringatannya untuk tidak membicarakan apapun tentang Reagen.
"Besok dia akan menjalani pemeriksaan menyeluruh. Jika tidak ada hal serius dalam beberapa hari Rey akan diperbolehkan pulang. Dia juga akan menjalani fisioterapi selama beberapa bulan ke depan."
Zenaya meletakkan alat makannya di meja. "Kamu tidak kembali ke ruanganmu?" tanya Zenaya dengan raut wajah malas. Gadis itu tidak mau repot-repot menyembunyikan raut kekesalannya saat ini.
Grace membalas tatapan Zenaya dengan tak kalah mengesalkan. "Zen–"
"Grace, berhenti merecokiku dengan cerita-cerita itu! Bisa 'kan?" Zen merapatkan gigi-giginya.
"Zen, aku hanya ingin–"
"Grace!" Tanpa sadar Zenaya membentak Grace, hingga membuat wanita itu berjengit kaget. Mungkin dia tidak menyangka Zenaya akan menjadi semarah ini.
Zenaya memejamkan matanya demi meredam emosi. Ada perasaan bersalah yang hadir karena telah membentak sahabat baiknya itu. "Maaf Grace, aku tidak bermaksud membentakmu," sesalnya.
"Aku hanya ingin kamu berhenti. Aku benci padanya dan itu tidak akan pernah berubah, Grace." Senyum getir terpancar dari wajah Zenaya. "Lagi pula apa yang kamu harapkan dengan menceritakan semua hal padaku, sementara dia pasti tidak akan pernah mengingatku lagi?"
Grace terdiam sejenak kala mendapati raut kesedihan yang terpancar dari wajah sahabatnya itu.
"Dia ingat padamu, Zen," ujar Grace tiba-tiba dengan nada sepelan mungkin.
Zenaya sontak menatap Grace tajam. "Apa maksudmu?" tanyanya.
"Sebenarnya sejak dia siuman, dia langsung mengenali diriku, dan aku juga mengatakan bahwa kamu ada di sini." Grave menatap Zenaya waspada, takut-takut dia akan meledak lagi.
Zenaya terdiam seketika. Otaknya sibuk mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari bibir Grace.
"Setiap kali aku datang memeriksanya, hanya kamu lah yang selalu dia bicarakan, Zen. Dia terlihat menyesal atas kejadian sepuluh tahun yang lalu. Andai saja kamu bisa melihat penyesalan di wajahnya saat ini." Grace masih berusaha mengajak gadis itu bicara baik-baik.
Tanpa mengatakan apa-apa Zenaya segera berdiri dari tempat duduknya. "Dalam mimpimu, Zen. Aku tidak akan pernah mau berurusan dengannya lagi!" serunya tegas.
Grace membiarkan Zenaya pergi dengan pandangan iba. Dia paham betul akan rasa sakit Zenaya, tetapi dia juga ingin gadis itu bisa hidup normal dan bahagia seperti orang lain.
Zenaya tersentak saat tanpa sadar tetesan-tetsan air mata mengalir membasahi pipinya. Zenaya sendiri tidak tahu apa alasannya menangis. Zenaya menggerutu. Sambil menghapus kasar air matanya, dia mengutuk keras sikap Grace yang terkesan memihak pria brengsek itu.
"Sialan!"
...***...
Reagen tampak melamun sembari memandangi suasana malam dari balik jendela kamar perawatannya. Sedari tadi pria itu hanya memikirkan kata-kata yang keluar dari mulut Grace.
"Dia bekerja di sini. Rumah sakit ini milik keluarganya."
Reagen tentu tidak pernah lupa akan kejadian sepuluh tahunan yang lalu pada Zenaya. Namun, alih-alih berusaha mendapat maaf, dia justru memilih untuk pergi dengan harapan agar Zenaya tidak perlu lagi bertemu dengannya. Namun, pemikiran itu seketika berubah. Dia ingin menemui Zenaya untuk meluruskan segalanya.
...***...
Zenaya membanting pintu mobil dan masuk ke dalam kamarnya tanpa mengindahkan sapaan sang ibu.
Zenaya terkulai di pintu kamar. Ingatannya bertahun-tahun silam kini bergulir kembali.
Zenaya tidak menampik tiga tahun perasaan tulusnya terhadap Reagen. Perasaan tulus yang kemudian dibalas dengan sebuah permainan konyol dan penuh akan penghinaan.
Sengaja atau tidak Reagen telah membawanya pada jurang sakit hati yang mendalam. Bahkan hingga saat ini dia tidak pernah mampu naik ke atas permukaannya kembali.
Sejak saat itu kebencian terhadap Reagen muncul. Zenaya membekukan hatinya pada sosok pria manapun. Dia telah mati rasa dan itu semua karena pria bernama Reagen.