Kinara, seorang gadis berusia 24 tahun, baru saja kehilangan segalanya, rumah, keluarga, dan masa depan yang ia impikan. Diusir ibu tiri setelah ayahnya meninggal, Kinara terpaksa tinggal di panti asuhan sampai akhirnya ia harus pergi karena usia. Tanpa tempat tujuan dan tanpa keluarga, ia hanya berharap bisa menemukan kontrakan kecil untuk memulai hidup baru. Namun takdir memberinya kejutan paling tak terduga.
Di sebuah perumahan elit, Kinara tanpa sengaja menolong seorang bocah yang sedang dibully. Bocah itu menangis histeris, tiba-tiba memanggilnya “Mommy”, dan menuduhnya hendak membuangnya, hingga warga sekitar salah paham dan menekan Kinara untuk mengakui sang anak. Terpojok, Kinara terpaksa menyetujui permintaan bocah itu, Aska, putra satu-satunya dari seorang CEO muda ternama, Arman Pramudya.
Akankah, Kinara setuju dengan permainan Aksa menjadikannya ibu tiri atau Kinara akan menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 3
Keesokan paginya.
Langit masih berwarna abu-abu ketika pintu gedung catatan sipil itu terbuka. Udara pagi yang dingin menyambut tiga orang yang keluar dari dalam, Rudi yang mendorong kursi roda, Arman dengan setelan hitam rapi, dan Kinara yang berjalan di samping mereka sambil menggenggam sebuah buku kecil warna merah marun.
Buku nikah, masih baru, masih berbau tinta, tapi rasanya seperti beban seberat gunung di tangan Kinara. Sementara bagi Arman, buku itu hanyalah kertas legal.
Rudi menyerahkan buku nikah milik Arman ke pangkuannya.
“Semua sudah lengkap, Tuan.”
Arman mengangguk datar. Tidak ada ekspresi bahagia, tidak ada senyum pengantin, tidak ada genggaman tangan. Hanya tatapan dingin yang tajam, menusuk, dan menghitung napas siapa pun yang berada di dekatnya.
Ia menoleh pada Kinara.
“Mulai sekarang,” katanya pelan, tapi tegas seperti palu hakim, “kau adalah pengasuh Aksa.”
Langkah Kinara terhenti.
Arman melanjutkan, “Tugasmu sederhana. Urus dia, perhatikan dia. Jangan bertindak di luar batas, kau bukan...”
Kinara memutar badan, menatap Arman tajam, suaranya meninggi.
“Stop.”
Rudi sampai tersentak. Kinara menggenggam buku nikah itu lebih erat.
“Jangan sebut aku pengasuh.”
Arman menaikkan satu alis. “Itu kenyataannya.”
“Tidak.” Kinara melangkah mendekat, berdiri tepat di depan pria itu, mata bertemu mata satu penuh api, satu dingin membeku.
“Aku istrimu, Tu-an Arman. Dan aku ibu tiri Aksa, suka atau tidak suka. Pernikahan ini sah. Namaku tertera di buku itu. Aku tidak akan berpura-pura jadi babysitter.”
Arman menahan napas sejenak. Tidak ada wanita yang berani membantahnya sedekat ini sejak kecelakaan itu, tatapannya mengeras.
“Ini kontrak.”
“Kontrak atau bukan, statusku tetap istrimu.” Kinara mencondongkan tubuh sedikit, kedua alisnya terangkat menantang.
“Dan aku akan mencintai Aksa … ya, terserah Anda mau ngomong apa.”
Rudi terpaku, burung-burung di atas bahkan seperti berhenti berkicau. Arman menyipitkan mata, jelas tidak suka.
“Kau...”
“Suka atau tidak,” Kinara memotong cepat, “aku bukan robot yang menjalankan daftar tugasmu. Aku akan memeluk dia kalau dia menangis. Aku akan memarahinya kalau dia nakal. Aku akan bersikap seperti ibu, bukan babysitter yang bisa kamu pecat kalau kamu sedang tidak suka.”
Arman terdiam, hanya rahangnya yang mengeras.
Angin pagi menerbangkan ujung rambut Kinara. Wanita itu berdiri tegak, tidak mundur, tidak gentar meski sedang berhadapan dengan CEO yang terkenal tak tersentuh siapa pun.
Akhirnya, Arman hanya mengerutkan keningnya dan berpaling.
“Rudi, ayo pulang!”
Bahunya tegang, nadanya dingin, tapi di matanya ada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak ia akui, keterkejutan dan sedikit kekesalan dan entah kenapa di situ ada ketertarikan.
Sementara Kinara mengikuti di belakang, memegang buku nikahnya. Dengan langkah yang mantap, dengan hati yang belum gentar sedikit pun.
Mereka baru saja hendak menuju mobil ketika sebuah sedan mewah menghentak rem tepat di depan pintu gedung catatan sipil. Pintu terbuka cepat, dan dari dalam keluar seorang pria muda berjas rapi bersama seorang perempuan cantik dengan make-up tebal.
Kinara membeku, dia melihat pria itu, dia Rayyan, mantan kekasih yang dulu ia cintai sepenuh hati sebelum dia menusuk dari belakang.
Dan perempuan di sampingnya, dia Mimi, saudara tiri Kinara yang mengusirnya dari rumah setelah ayah Kinara meninggal.
Dunia terasa mengecil, Rayyan melihat Kinara lalu melirik buku nikah di tangannya dan tatapan jijik langsung muncul di wajahnya.
“Oh,” ujarnya sinis, “jadi begini caramu bangkit setelah putus dari aku, Kinara? Cari pria lumpuh, biar bisa kau manfaatkan uangnya?”
Mimi menyikut lengan Rayyan sambil tertawa geli.
“Pantasan hilang dari rumah. Ternyata kamu jual diri dalam bentuk baru, ya. Pria lumpuh kaya raya? Wah, Kinara, aku harus akui … demi uang kamu bisa apa aja.”
Rudi melihat Kinara dengan wajah tegang, menunggu dia marah, atau menangis, atau lari. Arman tidak bereaksi, tatapannya kosong, datar, tapi rahangnya mengeras. Kinara menghela napas, lalu mengangkat dagu.
“Yang penting,” katanya lantang, “suami aku yang sekarang kaya raya banyak uang.”
Rayyan langsung berhenti tertawa. Kinara mendekat setengah langkah, senyum tipis terbentuk di bibirnya.
“Dan kamu, Rayyan? Pria miskin yang hidupnya cuma bisa numpang sama perempuan. Mau ngomong apa tentang aku?”
Wajah Rayyan memerah. Mimi ternganga, tidak menyangka Kinara bisa sepedas itu.
Rayyan melangkah maju, membentak, “Kau akan menyesal, Kinara! Karena mulai hari ini, aku resmi bekerja sama dengan perusahaan besar, Mission Bar! Perusahaan yang akan membuatku jauh lebih tinggi dari posisimu!”
Rudi memutar kepala pelan ke arah Arman. Wajah sang CEO tidak berubah, hanya satu hal yang terlihat, kening Arman berkerut. Mission Bar, perusahaan itu adalah miliknya. Tapi Arman tetap diam, tidak ada kebutuhan untuk menjelaskan apa pun kepada orang asing. Tidak ada kebutuhan untuk membalas. Arman Pramudya tidak menurunkan levelnya. Kinara, tanpa mengetahui hal itu, justru tertawa ringan.
“Oh?” Ia mencondongkan tubuh sedikit. “Baguslah, tapi jangan lupa … dari dulu kamu cuma bisa masuk perusahaan kalau dibopong orang lain.”
Rayyan benar-benar hendak meledak. Namun sebelum ia sempat mendekat lebih jauh Kinara bergerak cepat. Ia berdiri di samping kursi roda Arman, memegang sisi sandarannya lalu berkata dengan suara manis penuh penghinaan,
“Ayo pulang, suamiku.”
Ia menatap Rayyan dan Mimi sekilas.
“Jangan pedulikan orang gila.”
Rudi hampir tersenyum, dan benar-benar hampir tersenyum melihat sikap berani Kinara melawan mantan kekasih dan saudara tiri.
Rayyan membeku, Mimi mendengus kasar, wajahnya memerah seperti tomat busuk. Kinara masuk ke dalam mobil dengan elegan, seolah dua orang itu bukan siapa-siapa dalam hidupnya. Rudi mendorong kursi roda Arman masuk, menutup pintu dengan halus.
Rayyan masih berteriak-teriak di luar, tapi suara itu memudar begitu mobil mulai bergerak.
Di dalam mobil, hening dan terasa sangat hening. Kinara memandang lurus ke depan, tapi bisa merasakan tatapan Arman yang menusuk dari sampingnya.
Tatapan yang sulit dibaca, tatapan yang entah menghargai keberaniannya atau justru sedang menilai kebodohannya.
Namun, hari itu, di depan mantan kekasih dan adik tirinya, Kinara akhirnya merasakan sesuatu yang sudah lama hilang.
'Wanita ini sulit ditebak, dia menangis?' batin Arman saat melihat Kinara diam-diam menyeka sisi kedua matanya.
minta balikan lagi sama Arman
nanti pasti Aksa yg di jadikan alat