NovelToon NovelToon
Pada Ibu Pertiwi Kutitipkan Cintaku

Pada Ibu Pertiwi Kutitipkan Cintaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Crazy Rich/Konglomerat / Obsesi / Diam-Diam Cinta
Popularitas:237
Nilai: 5
Nama Author: Caeli20

Cintanya itu harusnya menyatukan bukan memisahkan, kan? Cinta itu harusnya memberi bahagia bukan duka seumur hidup, kan? Tapi yang terjadi pada kisah Dhyaswara Setta dan Reynald de Bruyne berbeda dengan makna cinta tersebut. Dua orang yang jatuh cinta sepenuh jiwa dan telah bersumpah di atas darah harus saling membunuh di bawah tuntutan. Siapakah yang menang? Tuntutan itu atau cinta mereka berdua?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ep.2 : Kedatangan Panglima Wira

Cakra berjalan mondar-mandir di area pendopo. Dia menggosok-gosokan telapak tangannya untuk mengusir rasa kekhawatirannya yang besar. Yudistira duduk di kursi rotan coklat sambil sesekali melirik Cakra. Sedangkan Arya memilih bersandar di dekat pintu masuk pendopo. Mereka sedang menunggu kabar dari Pak De Rusdi yang sedang mencoba mengobati Dhyas di dalam sana. Untung saja pertempuran bisa selesai sehingga pak De Rusdi dan mbah Lodra bisa cepat kembali ke padepokan dan menolong Dhyas. Jalan utama ke rumah sakit sedang diblokade Belanda. Kalaupun melalui jalan alternatif bisa memakan waktu satu hari satu malam, sedangkan Dhyas sudah tidak bisa bertahan selama itu.

Pak De Rusdi sempat lulusan sekolah dokter yang dikriminalisasi Belanda sehingga terpaksa berhenti bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit. Setelah dipaksa berhenti bekerja, Pak De Rusdi memilih bergabung dengan padepokan Giri Wening, yang adalah milik pamannya sendiri, mbah Lodra. Bersama Giri Wening, mereka bergerilya melawan Belanda, menopang perjuangan para tentara nasional dan pejuang bawah tanah untuk kemerdekaan Indonesia.  Pak De Rusdi selalu kebagian menangani anggota padepokan yang terluka. Dan saat ini bagian Dhyas yang harus ditangnai Pak De Rusdi.

"Mungkin duduk dulu lebih baik," ujar Yudistira memberi saran pada Cakra.

Pria berwajah blesteran itu menatap Yudistira,

"Bahkan sebenarnya mondar-mandir seperti ini menyiksaku. Apalagi hanya duduk diam. Kalau boleh aku ingin masuk ke dalam dan menemani Dhyas," balas Cakra.

"Percayakan saja pada Pak De Rusdi. Arya saja kakinya bisa kembali digunakan kok karena ditangani Pak De. Dhyas pun pasti bisa ditolong," timpal Yudistira.

Cakra mendengus. Kembali mondar-mandir. Arya melirik Cakra dengan ekor matanya dan kembali diam.

Raras datang membawakan kopi panas untuk mereka bertiga,

"Diminum dulu sambil menunggu Ayudiah sementara menyiapkan makan malam untuk kita," ujar Raras sembari meletakan nampan di atas meja.

Yudistira mengambil gelas dan menyerahkannya pada Arya. Arya menerimanya dan kembali berdiri di posisi sebelumnya. Yudistira menyerahkan gelas pada Cakra.

"Nanti saja aku minum," Cakra mengangkat telapak tangannya tanda menolak.

Yudistira membuang napas kasar. Tapi tak berani berkata apa-apa lagi. Seluruh padepokan tahu bagaimana bucinya seorang Cakra pada Dhyas. Dhyas dan Cakra tidak pernah mendeklarasikan pacaran, tapi kebersamaan mereka sejak mereka kecil, saling melindungi satu sama lain, sangat jelas mengatakan bahwa ada rasa yang lebih dari sekadar persahabatan di antar mereka berdua.

FLASHBACK ON

"Bule kesasar ! Bule kesasar!," teriak segerombolan anak kecil itu. Anak kecil yang diteriaki itu hanya bisa berdiri bersandar di sebuah batang pohon untuk melindungi dirinya dari lemparan batu kecil oleh anak-anak itu.

"Mana ada bule kulitnya gelap!," teriak salah satu anak pembully.

"Ibunya gundik penjajah makanya dia berwajah bule, hahahaha," teriak anak yang lain.

Anak kecil blesteran itu hanya bisa berdiam diri memendam sakit hati karena bullyan seperti ini hampir setiap hari diterimanya.

"Bule bukan, pribumi bukan, tinggal di pluto aja kamu!," seorang anak menambahkan.

Tiba-tiba terdengar hentakan disusul bunyi tamparan yang cukup keras, lalu terdengar suara ringisan anak-anak pembuly.

"Satu kalimat lagi, kukirim kalian ke neraka!," terdengar suara anak perempuan yang kalau dilihat diumur dua tahun lebih tua dari mereka. Anak perempuan bertubuh tinggi langsing berambut tomboy itu mulai bersiap memukul lagi, anak-anak pembully tersebut refleks berlari.

"Dasar tidak tahu aturan," kesal si anak perempuan sambil mengibaskan tangan, seolah membersihkan debu dari tangannya, setelah menempeleng dengan keras anak-anak pembully itu.

Si anak perempuan mendekati anak lelaki yang dibully itu.

"Ayo keluar, mereka sudah pergi," ujar si anak perempuan. Dengan ragu-ragu si anak lelaki muncul dari balik pohon dengan wajah ketakutan bercampur sedih bercampur marah.

"Mereka beneran sudah pergi," si anak perempuan menegaskan agar si anak lelaki tidak meragu.

Si anak lelaki mendekat,

"Terima kasih, Dhyas," ujarnya pelan

"Sama-sama, Cakra. Ayo ikut ke padepokan. Siapa tahu kamu berminat ikut latihan bela diri,"

FLASHBACK OFF

Pak De Rusdi keluar dari kamar. Cakra refleks mendekat,

"Bagaimana keadaannya, Pak De?,"

"Alhamdulilah pelurunya tidak mengenai organ vital. Tapi Dhyas kehilangan banyak darah. Pak De mau buat ramuan dulu untuk menambah darah sekalian memeriksa korban yang lain," Pak De Rusdi menandaskan.

"Aku boleh menemaninya di dalam?," tanya Cakra lagi.

"Sangat boleh. Dia belum sadar. Tapi ada baiknya dia ditemani," jawab Pak De Rusdi sambil menepuk pelan pundak Cakra. Tak banyak bicara lagi, Cakra langsung masuk ke dalam kamar. Dhyas masih tertidur. Bekas operasi darurat Pak De Rusdi di bagian dada kanan dililit dengan kain putih. Wajahnya terlihat begitu pucat.

Cakra mengambil sebuah kursi rotan dari sudut kamar, membawanya ke samping ranjang dan duduk di sana. Dia menatap wajah Dhyas yang tertidur pulas. Walaupun tertidur, jelas dari gurat wajahnya dia menahan sakit.

"Terima kasih, Yas. Dari dulu sampai sekarang kamu selalu jadi malaikat pelindung bagiku," Cakra menyentuh jari Dhyas yang terkulai lemas.

"Aku tidak tahu bagaimana aku hidup tanpa kamu," Cakra mengambil tangan Dhyas dan mendekapnya, "Cepat sadar dan cepat pulih, Yas,"

Cakra mendekap tangan itu berjam-jam. Hingga tanpa sadar dia tertidur. Sementara dari balik pintu, Arya menatap keduanya. Dia ingin juga masuk tapi dia sadar posisinya. Bukan dia yang Dhyas inginkan. Cakra. Ya, sudah tepat Cakra-lah yang di dalam sana. Arya langsung membalikan tubuhnya menjauh dari ruangan itu.

**

"Bu, bangun Bu," ketuk bi Mirna di pintu kamar yang terbuat dari kayu jati itu. Sri Lestari mendengar pintu kamarnya diketuk bangun dengan wajah yang mengantuk,

"Bentar," teriaknya. Dengan langkah gontai, menuju pintu dan membukanya, "Ada apa, bi?,"

"Aden belum pulang. Ini sudah tengah malam," lapor bi Mirna

Sri Lestari melongos,

"Palingan juga tidur di padepokan. Biarkan saja bi. Dia juga sudah besar,"

"Tapi aden kan masih 19 tahun, Bu. Masih harus dijaga,"

Sri Lestari mengerlingkan matanya,

"Dia itu ada darah bapaknya yang mengalir. Bagi orang bule, usia 19 tahun itu sudah dewasa. Bahkan di luar sana, anak-anak mereka disuruh pergi dari rumah kalau sudah usia segitu. Jadi biarkan saja. Toh nanti pulang juga,"

"Tapi aden kan orang Indonesia, bu. Jadi tetap pakai adat istiadat di Indonesia. Kalau masih di bawah 20 tahun masih di bawah perlindungan orang tua,"

"Ahhh, bibi cerewet amat sih. Kalau mau, susul sana dia di padepokan. Aku tidak bisa. Harus tidur. Besok pagi ada pertemuan dengan istri pedagang Belanda lainnya," Sri Lestari menutup pintu kamarnya kembali.

Bi Mirna hanya bisa mengelus dada. Sejak Cakra lahir hingga saat ini, hanya bi Mirna yang mengurus Cakra. Tak jarang orang-orang berpikir Cakra adalah anak bi Mirna. Ibunya Cakra, Sri Lestari adalah istri kedua seorang saudagar kaya raya asal Belanda, Charles de Bruijn. Tidak pernah sekalipun peduli pada Cakra. Seolah-olah dia mempertahankan Cakra agar tetap mendapat biaya bulanan dari Charles yang saat ini sedang pulang ke Belanda menemui istri pertamanya. Setiap hari ada saja kegiatan yang harus dia ikuti. Kalau pun dia menanyakan keadaan Cakra semata-mata hanya sekadar basa-basi. Tidak pernah dilakukan dengan tulus.

***

Mbah Lodra menyeruput kopi panasnya. Padepokannya hari ini baru saja luput dari serangan mematikan Belanda. Dia harus mengatur siasat agar mereka tidak kecolongan lagi.

"Ayah, ada tamu," Ayudiah datang melapor.

"Siapa?,"

"Panglima Wira Kuswandi,"

"Suruh masuk,"

Panglima Wira Kuswandi muncul di ambang gerbang kayu tua itu—sosok tegap dengan seragam lapangan yang masih berdebu perjalanan jauh.

Matanya tajam, menyapu ruangan seperti menilai setiap sudut dengan ketelitian seorang yang telah kenyang perang. Angin malam membuat ujung jubah militernya berkibar ringan, namun kewibawaannya justru terasa semakin mengeras.

Mbah Lodra langsung berdiri bertumpuh pada tongkatnya,

"Assalamualaikum, Mbah Lodra," sapa Panglima Wira.

"Waalaikumsalam, Panglima. Ada apa panjenengan kemari? Pasti ini bukan kabar yang biasa," Mbah Lodra sembari memberi gerakan mempersilakan panglima Wira untuk duduk.

Panglima melepas blankon khasnya. Menarik napas pelan lalu mulai berbicara,

"Sakderengipun, kula nyuwun pangapunten sampun ngganggu panjenengan ing dalu kados mekaten*. Saya langsung saja, Mbah. Saya membutuhkan bantuan anak-anak padepokan untuk membantu pasukan di pesisir timur untuk melakukan penyerangan ke posko Belanda di sana. Jendral Sudirman sudah memberi perintah bagi kami untuk mulai melakukan penyerangan. Belanda harus benar-benar diusir dari tanah ibu pertiwi,"

"Kapan penyerangan dimulai?,"

"Besok setelah maghrib, Mbah,"

Mbah mengelus jenggotnya yang sudah bercampur warna hitam dan uban itu. Berpikir sejenak. Sembari Ayudiah menyuguhkan kopi untuk panglima Wira.

"Kami baru saja mendapat serangan tadi siang. Banyak yang luka. Satu anggota kami hampir tewas kena tembakan,"

"Saya bisa lihat bekas jejak perkelahian dan peluru di jalan menuju padepokan,"

"Ya. Mungkin, saya bisa menurunkan anggota kami tapi hanya beberapa orang. Daripada memaksakan yang terluka dan hanya menjadi beban di medan perang,"

"Saya percaya pilihan panjenengan tidak akan salah. Besok anak-anak yang dipilih akan berangkat setelah makan siang,"

Mbah Lodra mengangguk,

"Akan saya sampaikan pada mereka,"

"Kula saestu matur nuwun sanget dhumateng panjenengan ingkang sampun paring bantu," ujar panglima sambil menundukan kepala

Mbah Lodra mengangguk pelan.

1
Wiwi Mulkay
kpn di up lagi
Wiwi Mulkay
Caeli ini kapan di up lagi
Caeli: on my way dear kak wiwi😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!