"Setelah aku pulang dari dinas di luar kota, kita akan langsung bercerai."
Aryan mengucapkan kata-kata itu dengan nada datar cenderung tegas. Ia meraih kopernya. Berjalan dengan langkah mantap keluar dari rumah.
"Baik, Mas," angguk Anjani dengan suara serak.
Kali ini, dia tak akan menahan langkah Aryan lagi. Kali ini, Anjani memutuskan untuk berhenti bertahan.
Jika kebahagiaan suaminya terletak pada saudari tirinya, maka Anjani akan menyerah. Demi kebahagiaan dua orang itu, dan juga demi kebahagiaan dirinya sendiri, Anjani memutuskan untuk meninggalkan segalanya.
Ya, walaupun dia tahu bahwa konsekuensi yang akan dia hadapi sangatlah berat. Terutama, dari sang Ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji
Malam hari, Aryan kembali menjenguk Anjani. Dia membawa bubur yang ia masak sendiri selama hampir seharian ini. Tiga jari di tangan kanan tampak dibalut perban. Melepuh, saat ia dengan cerobohnya mengangkat panci yang masih panas dari atas kompor.
"Kenapa datang lagi?" tanya Anjani dengan nada dingin.
"Aku bawakan bubur untuk kamu," jawab Aryan.
Lelaki itu mendekat. Dibukanya rantang yang ia bawa kemudian memindahkan isinya ke dalam mangkuk yang sudah ia persiapkan.
Anjani melihat semua itu dengan tatapan kosong. Kenapa, Aryan semakin baik saat perpisahan semakin dekat? Tidakkah pria itu mengerti bahwa Anjani butuh ruang sendiri untuk menghapus perasaannya secara total?
"Ayo, makan dulu! Kata perawat, kamu belum makan sejak tadi siang," ujar Aryan yang berniat menyuapi Anjani.
"Aku bisa makan sendiri. Letakkan saja makanannya di situ," balas Anjani sembari menggelengkan kepala.
"Biar aku bantu. Tanganmu pasti masih sakit."
"Sudah tidak, kok," jawab Anjani cepat.
"Tapi, aku ingin tetap menyuapimu. Mau, ya?"
"Aku masih kenyang."
Aryan langsung memasang tampang memelas. "Apa kamu tidak lihat jariku, Anjani?" tanyanya sembari memperlihatkan jarinya yang diperban. "Gara-gara memasak bubur untuk kamu, jariku jadi melepuh. Sakit sekali, Anjani."
"Tapi, sudah diobati, kan?" tanya Anjani.
"Sudah. Tapi, tetap saja agak sakit," jawab Aryan. "Maka dari itu, kamu harus makan bubur ini, Anjani. Tanganku terluka demi kamu."
"Sudah ku bilang, letakkan saja disitu!"
"Tapi, aku sangat ingin menyuapimu. Kamu kan masih belum pulih."
"Terimakasih untuk perhatiannya. Tapi, saat ini aku sedang tidak ingin melihatmu, Aryan," ujar Anjani seraya menghindari kontak mata dengan Aryan.
"Kenapa?" tanya Aryan.
Anjani diam sejenak. Dia menatap Aryan dalam-dalam. "Melihatmu... hanya membuat aku semakin ingat dengan perbuatan Luna dan kedua orangtuanya."
"Aku tidak ada hubungannya dengan perbuatan mereka. Kenapa aku harus dibawa-bawa? Kenapa aku harus ikut menerima kebencianmu, Anjani?" tanya Aryan dengan emosi.
Bukankah Anjani terlalu kejam? Aryan tidak bersalah. Tapi, kenapa dirinya ikut dibenci?
"Semua yang dekat dengan Luna, tentu saja bersalah, Aryan. Termasuk, kamu. Kamu yang ingin menceraikan aku demi Luna, kan? Dan, gara-gara kabar itu, penyakit Mama-ku jadi kambuh."
Aryan meletakkan mangkuk tersebut diatas laci nakas dengan sedikit keras. Ia kemudian berdiri lalu berkacak pinggang sambil menghela napas dalam-dalam.
"Kalau begitu, kita nggak usah bercerai. Bagaimana?"
Anjani reflek tertawa. "Kita akan tetap bercerai, Aryan. Kamu dan aku, nggak akan pernah bisa bersama."
"Kenapa?" tanya Aryan. Dia reflek mencengkram kedua bahu Anjani. "Bukankah, dulu kamu sangat mencintaiku?"
Tatapan matanya terlihat penuh harap.
"Karena... aku nggak pernah suka dengan bekas Luna. Baik itu barang maupun orang," jawab Anjani dengan nada rendah dan dingin.
Mata Aryan mengerjap cepat. Dia melepaskan cengkramannya dari bahu Anjani lalu memutar badan membelakangi Anjani. Dia tertawa. Seolah tak percaya dengan ucapan wanita itu.
Tak berselang lama, dia pun kembali berbalik menghadap ke arah Anjani lagi.
"Jadi, menurut kamu... Aku ini sangat menjijikkan, ya?"
"Ya," angguk Anjani. "Maka dari itu, cepat pergi dari sini! Akun muak melihat wajahmu. Aku muak melihat wajah kekasihmu."
"Baik. Aku akan pergi," angguk Aryan.
Dia mendengkus kasar lalu pergi begitu saja dengan perasaan marah.
Setelah Aryan pergi, Anjani kembali merebahkan tubuh lelahnya diatas brankar. Matanya memejam sesaat. Hari ini benar-benar melelahkan.
****
"Kak Aryan, apa Kak Aryan yakin, nggak mau ikut pulang malam ini?" tanya Luna yang sedang merapikan pakaiannya kembali ke dalam koper.
Malam ini, dia dan kedua orangtuanya akan kembali ke kota. Sementara, Aryan mengatakan jika masih ingin tinggal selama beberapa hari untuk merawat Ibu kandung Anjani yang masih belum bisa tenang sampai sekarang.
"Kalian duluan saja! Aku akan menyusul setelah Anjani keluar dari rumah sakit dan Tante Mariana sudah jadi lebih tenang," jawab Aryan.
"Masukkan saja Tante Mariana ke rumah sakit jiwa! Dengan begitu, Kak Aryan nggak perlu repot-repot mengurus dia lagi."
"Jaga bicara kamu, Luna! Kalau Tante Mariana sampai dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, Anjani bisa ikut-ikutan stres. Kamu tahu sendiri kalau satu-satunya anggota keluarga yang Anjani punya hanya Ibunya, kan?" omel Aryan panjang lebar.
Luna langsung mencebik kesal. "Apa Kak Aryan mulai jatuh cinta pada Anjani?" tanyanya. "Kenapa Kak Aryan selalu membela perempuan itu akhir-akhir ini?"
Aryan membuang pandangan ke arah lain. Jika dia menatap Luna, maka jawaban atas pertanyaan itu akan dengan cepat dibaca oleh Luna lewat sepasang matanya.
"Kak, kenapa diam saja?" tanya Luna. "Jadi, kamu benar-benar mulai jatuh cinta padanya?" Ia mulai meradang.
"A-aku..."
Aryan yang gugup tak bisa melanjutkan kata-katanya.
"Anjani sialan!" teriak Luna tiba-tiba. "Sejak kecil, dia sudah mendapatkan semua kasih sayang dan kemewahan dari Papa. Dan, sekarang, apa dia juga ingin merebut Kak Aryan dariku?"
Gadis itu mulai menjambak rambutnya sendiri lalu menangis histeris.
"Luna, tenang!" pinta Aryan.
"Aku nggak bisa tenang, Kak Aryan," timpal Luna. "Kalau Kak Aryan benar-benar jatuh cinta pada Anjani, maka..."
Tiba-tiba, pandangan Luna tertuju pada balkon kamar penginapan yang ia tempati. Dia langsung berlari ke sana dan mengancam untuk melompat ke bawah.
"...aku lebih baik mati saja, Kak!" lanjut Luna.
"Luna, jangan main-main!" ujar Aryan memperingatkan.
"Katakan! Kalau Kak Aryan nggak punya perasaan apapun pada Anjani! Ayo, katakan!" desak Luna.
"Luna... jangan kekanak-kanakan! Cepat turun!"
"Cepat katakan, Kak! Kalau nggak, aku benar-benar akan melompat!" ancam Luna sembari mengangkat satu kakinya melewati pembatas balkon.
"Oke," sahut Aryan cepat. "Aku nggak pernah punya perasaan sedikit pun pada Anjani. Satu-satunya orang yang aku cintai sejak dulu cuma kamu. Hanya kamu, Luna."
Dan, gadis itu akhirnya luluh. Perlahan, dia turun dari pembatas balkon lalu memeluk Aryan dengan erat.
"Kak, kamu nggak boleh lupa sama janji kamu dulu. Bukannya, kamu pernah bilang kalau satu-satunya perempuan yang akan kamu nikahi di masa depan cuma aku? Aku sudah menoleransi sekali kebohongan kamu. Dan, sekarang aku nggak bisa lagi. Aku mau, anak lelaki yang dulu berjanji menikahiku dan akan selalu membahagiakan aku, kembali."
"Ya, baiklah! Aku janji akan segera menceraikan Anjani dan menikahi kamu. Tapi, tolong jangan berbuat bodoh lagi seperti tadi."
Luna mengangguk. Dalam pelukan Aryan, dia tersenyum lebar. Makhluk yang bernama lelaki memang sangat gampang dibodohi.
Cukup berpura-pura manis dan lemah, maka mereka akan jatuh dalam jerat Luna. Baik itu Aryan maupun sang Ayah... Tak akan ada yang dia berikan kepada Anjani secara sukarela. Kedua lelaki itu hanya boleh menjadi miliknya.
lanjut lagi Thor 🙏🙏🙏