Jangan lupa follow Author yaaaaa!!!!!!!
Hidup Kayla yang awalnya begitu tenang berubah ketika Ayahnya menjodohkannya dengan seorang pria yang begitu dingin, cuek dan disiplin. Baru satu hari menikah, sang suami sudah pergi karena ada pekerjaan mendesak.
Setelah dua bulan, Kayla pun harus melaksanakan koas di kota kelahirannya, ketika Kayla tengah bertugas tiba-tiba ia bertemu dengan pria yang sudah sah menjadi suaminya tengah mengobati pasien di rumah sakit tempat Kayla bertugas.
Bagaimana kelanjutannya? Bagaimana reaksi Kayla ketika melihat suaminya adalah Dokter di rumah sakit tempatnya bertugas? Apa penjelasan yang diberikan sang suami pada Kayla?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon elaretaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bohong!
Kayla menatap Arthur dengan hati yang hancur ucapan Arthur tentang paksaan Dokter Bian ternyata benar-benar menjadi senjata yang mematikan.
"Jadi benar, Mas cuma terpaksa membimbingku karena Dokter Bian? Bukan karena aku istri kamu atau karena Mas percaya padaku?" tanya Kayla.
Arthur terdiam sejenak, namun egonya yang tinggi menutup rasa bersalahnya. "Status kita di rumah tidak ada hubungannya dengan kualitasmu di sini Kayla dan saat ini kualitasmu adalah nol," ucap Arthur.
Setelah itu, Arthur memanggil seluruh koas bedah saraf ke lorong bangsal. Di sana, sudah ada Celine, Fahmi, Nadia dan beberapa perawat.
"Karena Dokter Muda Kayla gagal menunjukkan kompetensi standar di IGD kemarin, dia akan menerima hukuman disiplin, Dokter Muda Kayla, kamu dilarang masuk ke Ruang Operasi selama satu minggu ke depan. Tugasmu hanyalah mengganti perban pasien di bangsal kelas tiga dan membuat laporan resume medis secara manual untuk seluruh pasien bedah saraf, kamu tidak diizinkan pulang sebelum semua laporan selesai setiap harinya," ucap Arthur dengan lantang.
Celine dan Fahmi saling berpandangan, mereka merasa hukuman itu terlalu berat, namun tidak ada yang berani melawan singa rumah sakit itu.
Kayla sendiri hanya bisa menunduk, air matanya jatuh ke lantai, ia merasa harga dirinya hancur berkeping-keping, bukan karena hukuman beratnya, tapi karena pria yang menjadi masa depannya ini, di mana ia adalah orang pertama yang meragukan kemampuannya di depan semua orang.
Malam harinya di apartemen, suasana terasa sangat mencekam. Arthur duduk di ruang makan sambil membaca jurnal, sementara Kayla baru pulang pukul 11 malam dengan kaki yang bengkak karena harus berkeliling bangsal sendirian.
Kayla melewati Arthur tanpa menyapa, namun saat ia sampai di depan kamar, suara Arthur menghentikannya. "Kamu pikir dengan mogok bicara masalahmu akan selesai?" tanya Arthur tanpa menoleh.
Kayla berbalik, matanya sembap. "Kenapa Mas sejahat itu? Kalau memang membimbingku adalah beban bagi Mas Arthur, katakan saja sejak awal. Aku bisa minta pindah pembimbing ke Dokter lain, tidak perlu mempermalukanku di depan teman-temanku seolah aku ini sampah," ucap Kayla.
Arthur berdiri dan menghampiri Kayla, "Aku bersikap keras agar kamu tidak meremehkan nyawa orang, Kayla!" ucap Arthur tegas.
"Bohong! Mas bersikap keras karena Mas malu punya istri seperti aku yang dianggap tidak kompeten! Mas hanya peduli pada reputasi Mas sebagai Dokter jenius, bukan peduli padaku!" teriak Kayla.
"Kayla! jangan kekanak-kanakan! Kamu adalah calon Dokter, apakah kamu akan menggunakan kemampuanmu yang buruk itu sebagai bekalmu menjadi Dokter?" tanya Arthur yang ikut meninggikan suaranya.
"Aku akan minta pindah rumah sakit," ucap Kayla.
"Kayla! percuma kamu pindah kalau kemampuanmu tetap sama, yang harus kamu lakukan adalah mengembangkan kemampuanmu bukan lari dari masalah ini," ucap Arthur.
Kayla tidak menjawab ucapan Arthur, ia hanya menatap tajam suaminya, Kayla benar-benar kecewa dengan Arthur. "Kayla, dengarkan aku. Kamu sudah besar, kamu tahu apa tanggungjawab seorang Dokter, kamu jangan kekanak-kanakan," ucap Arthur yang mencoba sabar menghadapi sikap kekanak-kanakan Kayla.
"Terserah Mas, aku gak mau ketemu Mas," ucap Kayla.
Kayla masuk ke dalam kamar dan meninggalkan Arthur yang terpaku di lorong dengan rasa sesak yang tiba-tiba menyerang dadanya, ia ingin mengejar, namun egonya masih menahannya.
Setelah itu, hubungan mereka tidak lagi sama, apartemen yang biasanya sunyi karena kesibukan, kini terasa dingin seperti kuburan.
Satu Minggu berlalu, di rumah sakit Arthur berusaha tetap profesional, namun matanya tidak bisa lepas dari sosok Kayla yang kini benar-benar menjauh.
Kayla menjalankan hukumannya dengan sangat disiplin bahkan terlalu disiplin, ia mengganti perban pasien dari pagi hingga malam tanpa mengeluh, namun ia tidak pernah lagi menoleh atau menyapa Arthur saat berpapasan di koridor.
Setiap kali Arthur mencoba mendekat di bangsal untuk mengecek laporannya, Kayla hanya akan menyerahkan berkas itu dengan tangan yang kaku, menunduk dalam dan langsung pergi sebelum Arthur sempat membuka mulut.
Ketegangan antara mereka pun terjadi di apartemen, saat dini hari Arthur terbangun karena mendengar suara batuk kecil dari sampingnya, Arthur pun memeriksa keadaan Kayla.
Arthur melihat Kayla meringkuk di bawah selimut, wajahnya pucat pasi namun pipinya merona merah karena panas tinggi, Arthur mendekat dan menyentuh dahi Kayla dan panasnya sangat menyengat.
"Kayla, tubuhmu panas sekali, kamu demam," ucap Arthur dengan suara parau karena rasa bersalah yang mulai menggerogotinya.
Kayla membuka matanya dengan berat, ia segera menepis tangan Arthur dengan sisa tenaganya. "Aku harus bangun, laporan resume medisnya belum selesai," lirih Kayla sambil berusaha duduk, namun kepalanya terasa berputar hebat.
"Lupakan laporan itu! Kamu sakit, Kayla. Aku akan mengambilkan obat dan mengompresmu," perintah Arthur dan kali ini bukan sebagai Dokter konsulen, tapi sebagai suami.
"Tidak perlu, aku harus menjalakan hukumanku, nanti kalau aku tidak mengerjakannya, aku dicap sebagai orang yang tidak kompeten," ucap Kayla.
Meski suaranya bergetar, ia memaksakan diri berdiri, berjalan sempoyongan menuju kamar mandi untuk bersiap ke rumah sakit.
Keesokan paginya, meski sedang sakit, Kayla tetap memaksa masuk karena ia tidak mau dianggap pengecut oleh Arthur. Saat ia sedang mengganti perban di bangsal kelas tiga, seorang pasien anak di sampingnya tiba-tiba mengalami kejang hebat dan sesak napas.
Perawat sedang berada di stasi lain, Kayla melihat pasien itu mulai membiru, di saat itulah trauma dan rasa takutnya bergejolak. Namun, wajah kaku Arthur terbayang, bukan sebagai penguji yang kejam, melainkan sebagai sosok yang selalu menekankan bahwa nyawa pasien di atas segalanya.
"Ambil tabung oksigen dan siapkan suction sekarang!" perintah Kayla pada keluarga pasien dengan suara lantang, mengabaikan rasa pusing di kepalanya.
Kayla melakukan tindakan resusitasi dengan cekatan, tangannya tidak lagi gemetar, ia tahu persis apa yang harus dilakukan. Di saat yang sama, Arthur yang sedang melakukan visit rutin masuk ke bangsal tersebut dan terpaku di ambang pintu melihat Kayla yang sedang berjuang menyelamatkan nyawa anak itu sendirian.
Arthur terpaku di ambang pintu, matanya tidak berkedip menyaksikan bagaimana tidak ada keraguan dalam gerakan tangan Kayla. Suaranya yang biasanya lembut kini terdengar penuh otoritas, memberikan instruksi kepada perawat yang baru saja tiba untuk membantu.
"Pasien stabil! Saturasi naik ke 98 persen," lapor perawat tersebut dengan napas lega.
Kayla menghela napas panjang, bahunya yang tegang perlahan merosot, ia memastikan selang oksigen terpasang sempurna pada pasien anak itu. Namun, tepat saat ia hendak berdiri untuk mencatat jam tindakan, Kayla merasakan pusing yang teramat pada kepalanya hingga tiba-tiba pandangannya pun menggelap, tubuhnya ambruk, namun ia tidak menghantam lantai dingin bangsal karena sepasang lengan yang kuat menangkapnya tepat waktu.
.
.
.
Bersambung.....