Dunia Yumna tiba-tiba berubah ketika sebuah video syur seorang wanita yang wajahnya mirip dengan dirinya sedang bercinta dengan pria tampan, di putar di layar lebar pada hari pernikahan.
Azriel menuduh Yumna sudah menjual dirinya kepada pria lain, lalu menjatuhkan talak beberapa saat setelah mengucapkan ijab qobul.
Terusir dari kampung halamannya, Yumna pun pergi merantau ke ibukota dan bekerja sebagai office girl di sebuah perusahaan penyiaran televisi swasta.
Suatu hari di tempat Yumna bekerja, kedatangan pegawai baru—Arundaru—yang wajahnya mirip dengan pria yang ada pada video syur bersama Yumna.
Kehidupan Yumna di tempat kerja terusik ketika Azriel juga bekerja di sana sebagai HRD baru dan ingin kembali menjalin hubungan asmara dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Ketika hendak mengambil dus di lantai, tubuh Yumna dan Arundaru kembali beradu karena keduanya membungkuk bersamaan. Lagi-lagi pria itu berhasil menahan tubuh kekasihnya.
“Eh—Mas Arun!” Yumna terkesiap ketika wajah mereka kembali berdekatan.
“Kita ini kenapa, sih?!” Arundaru terkekeh. “Kayaknya rumah ini suka bikin kita nempel terus.”
Yumna menepuk lengannya. “Fokus! Bantu pindahin rak buku itu.”
Setelah satu jam menata ruang tamu, mereka beristirahat di lantai dapur sambil membuka bungkus makanan cepat saji yang dibeli Arundaru.
“Aku beli ayam goreng. Kamu pasti belum makan sejak tadi,” ucap Arundaru sambil membuka kotaknya.
Yumna melirik. “Harusnya aku yang nyiapin makan, kamu kan sudah kerja keras bantuin.”
“Pacar yang baik itu saling bantu,” balas Arundaru. “Lagipula, aku mau lihat kamu makan.”
Yumna memandangnya bingung. “Kenapa?”
Arundaru menggeser duduk lebih dekat hingga lutut mereka saling bersentuhan. “Soalnya kamu lucu kalau lagi makan.”
Yumna menutup wajah dengan kedua tangan. “Kamu dari tadi bikin aku malu terus.”
Arundaru mengambil sepotong ayam, meniupnya sedikit, lalu mengarahkannya ke bibir Yumna. “Ayo, buka mulutnya!”
Yumna terbelalak. “Mas Arun, aku bisa makan sendiri.”
“Tapi, aku maunya nyuapin.” Tatapannya teduh, manja, dan penuh kasih. “Sekali aja.”
Yumna menghela napas panjang, lalu membuka mulut kecil-kecil. “Sedikit, ya?”
Arundaru menyuapkannya hati-hati. “Nah, gitu, dong!”
Yumna mengunyah dengan pipi merona parah. “Kamu kebiasaan, Mas. Bertingkah romantis, tapi jahil dan nakal.”
Arundaru mengangguk bangga. “Itu sudah paket sejak aku lahir, kayaknya. Tapi tenang, aku tetap tahu batas. Sama kamu, aku jaga semuanya.”
Kata-katanya membuat Yumna terpaku beberapa detik. Ada kehangatan mengalir di dadanya.
Kemudian Yumna mengambil kentang goreng dan mendekatkan ke bibir Arundaru. “Sekarang gantian.”
Arundaru menatapnya, lalu menggigit perlahan sambil menahan senyum. “Kalau kamu nyuapin, rasanya lebih enak.”
Yumna memukul lengannya sambil tertawa malu. “Mas Arun, kamu tuh ...!”
“Apa? Kan, jujur,” jawab Arundaru sambil terkekeh.
Setelah makan, mereka kembali menata dapur. Yumna ingin menaruh panci di rak atas, tapi tubuhnya tidak cukup tinggi. Ia berjinjit, tangannya terulur, tetapi masih jauh.
Arundaru yang melihatnya hanya bersandar di kusen pintu sambil melipat tangan. “Kamu mau aku bantu?”
“Aku bisa sendiri,” jawab Yumna keras kepala.
Namun, ketika Yumna berusaha lagi, tubuhnya oleng sedikit. Arundaru langsung maju, meraih pinggangnya dan menstabilkannya.
“Nah, gini aman,” bisik Arundaru.
Karena terkejut, Yumna menoleh. Kali ini bibirnya kena ke pipi Arundaru. Keduanya tersentak karena terkejut.
“Kamu sengaja, ya, Mas?” tuduh Yumna dengan suara hampir hilang.
“Nggak,” jawab Arundaru sambil tersenyum nakal. “Tapi, kalau kamu mau aku sengaja juga boleh.”
Yumna mendorongnya sambil tertawa gemas. Tadinya mau marah, tetapi tidak jadi.
“Kamu itu kenapa, sih, Mas!”
Arundaru mengangkat bahu. “Aku suka kamu. Banget. Jadi otomatis jiwa dan ragaku pengen dekat.”
Ketika Arundaru mengucapkan itu, tak ada godaan atau nakal, hanya ketulusan yang membuat jantung Yumna mencelos.
“Mas Arun ....” Yumna menatapnya lama. “Terima kasih, ya. Untuk semua ini. Untuk bantuannya dan untuk tetap sabar sama aku.”
Arundaru mendekat. “Aku bakal sabar berapa pun lamanya. Aku nggak mau kamu merasa tertekan. Yang penting kamu nyaman sama aku.”
Yumna menggigit bibir, menahan senyum. “Aku nyaman, kok, saat kamu, Mas. Sangat nyaman!”
Mata Arundaru melembut. “Kalau gitu, sini.”
Yumna mengerutkan dahi. “Kenapa?”
Arundaru memeluknya, menaruh dagu di pundaknya. “Aku cuma mau peluk kamu sebentar saja. Tanpa macam-macam.”
Pelukan itu hangat, membuat Yumna menutup mata sejenak. Jantung mereka berdetak dalam ritme yang sama.
Setelah beberapa detik, Yumna menarik diri pelan. “Ayo, lanjut! Masih banyak yang harus ditata.”
Arundaru mengangguk. “Siap, Nona Yumna yang cerewet tapi manis.”
“Mas Arundaru!”
Pria itu tertawa, suara bariton itu memenuhi ruangan seperti melodi kebahagiaan baru.
Rumah kecil itu terasa hidup, bukan hanya karena perabot yang mulai dipasang, tetapi karena dua hati yang perlahan saling menemukan tempatnya.
***
“Pak, sekarang Arun jarang pulang ke rumah. Rupanya dia betah tinggal di kontrakan yang dekat kost-an perempuan itu,” keluh Nenek Gendis sambil menepuk-nepuk bantal Kakek Rama.
Kakek Rama yang sedang rebahan hanya menggumam santai. “Biarkan saja, Bu. Arun sudah dewasa. Dia tahu apa yang harus dia lakukan dan bisa mempertanggungjawabkannya.”
Nenek Gendis langsung duduk tegak. Ekspresinya mencerminkan kekesalan yang sudah meningkat sejak beberapa hari lalu. “Kok Bapak mikirnya begitu? Bagaimana kalau Arun berbuat sesuatu yang tidak benar?”
“Dia sudah dewasa, tahu mana baik dan buruk,” jawab Kakek Rama tanpa membuka mata.
“Tidak bisa begitu!” sergah Nenek Gendis. “Kita sebagai kakek-neneknya harus memantau cucu kita. Apalagi dia penerus satu-satunya keluarga besar kita. Kalau dia salah langkah, siapa yang repot? Kita juga!”
Kakek Rama akhirnya membuka mata, menatap istrinya dengan lelah. “Bu, Arun lagi menikmati hidup. Dia lagi jatuh cinta. Biarin saja. Paling sebentar lagi datang minta dinikahin.”
“Hmph!” Nenek Gendis menghela napas panjang dan akhirnya merebahkan diri di samping suaminya. “Bapak, anak, cucu, semuanya sama saja! Mengabaikan kata-kata istri.”
Kakek Rama tertawa kecil dan memejamkan mata lagi. “Percaya saja sama Arun.”
Nenek Gendis mendengus, meski diam-diam hatinya ikut lembut. Tapi tetap saja, kekhawatirannya lebih besar.
“Bagaimana kalau perempuan itu membawa masalah kepada keluarga kita?” tanya Nenek Gendis lirih.
Kakek Rama tak menjawab. Napasnya yang teratur menandakan ia sudah tidur.
Sementara itu, cucu yang sedang dikhawatirkan itu justru sedang senyum-senyum sendiri di ruang tamu rumah barunya.
Rumah sederhana yang dibeli Arundaru untuk alasan “karyawan berprestasi” itu kini penuh aroma cat baru dan wangi kayu dari beberapa furnitur yang ia pasang sendiri. Tapi bukan rumah itu yang membuat Arundaru tersenyum bahagia.
Melainkan memori yang menempel kuat di bibirnya.
Ciuman Yumna tadi siang.
“Aduh ....” Arundaru memegang dadanya sambil memutar tubuh seolah tidak bisa menyalurkan rasa senangnya. “Gila, itu ciuman bikin aku kehilangan akal sehat.”
semoga keluarga Arun bisa menerima Yumna
ibunya arun gmn setujua g sm yumna
secara yumna kan bukan kalangann atas