Naya yakin, dunia tidak akan sekejam ini padanya. Satu malam yang buram, satu kesalahan yang tak seharusnya terjadi, kini mengubah hidupnya selamanya. Ia mengira anak dalam kandungannya adalah milik Zayan—lelaki yang selama ini ia cintai. Namun, Zayan menghilang, meninggalkannya tanpa jejak.
Demi menjaga nama baik keluarga, seseorang yang tak pernah ia duga justru muncul—Arsen Alastair. Paman dari lelaki yang ia cintai. Dingin, tak tersentuh, dan nyaris tak berperasaan.
"Paman tidak perlu merasa bertanggung jawab. Aku bisa membesarkan anak ini sendiri!"
Namun, jawaban Arsen menohok.
"Kamu pikir aku mau? Tidak, Naya. Aku terpaksa!"
Bersama seorang pria yang tak pernah ia cintai, Naya terjebak dalam ikatan tanpa rasa. Apakah Arsen hanya sekadar ayah pengganti bagi anaknya? Bagaimana jika keduanya menyadari bahwa anak ini adalah hasil dari kesalahan satu malam mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 DBAP
Satu bulan kemudian…
Naya berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap wajahnya yang pucat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Tangannya gemetar, menggenggam alat uji kehamilan yang baru saja menunjukkan dua garis merah terang. Dunia seperti berhenti sejenak.
“Tidak… ini nggak mungkin…” bisiknya pelan, suaranya hampir hilang.
Kakinya terasa lemas, tubuhnya seolah tak bisa berdiri. Rasanya seperti mimpi buruk yang akhirnya jadi kenyataan. Seharusnya ini nggak terjadi. Ia sudah minum obat dari apotek setelah malam itu—malam yang ia kira bersama Zayan, malam yang seharusnya tidak pernah terjadi sebelum kata 'sah' terucap.
Dan kini, ia hamil.
Perutnya terasa nyeri, mual datang lagi. Ia terhuyung, berpegangan pada wastafel agar tak jatuh. Napasnya terengah-engah. Haruskah ia mencari Zayan? Haruskah ia memberi tahu dia? Tapi… bagaimana kalau Zayan benar-benar membencinya? Bagaimana jika dia tidak menginginkan anak ini? Karena sampai saat ini lelaki itu menghilang bak tertelan bumi.
“Nay?”
Suara ibunya, Reni, terdengar dari balik pintu, penuh kecemasan. “Kamu kenapa, Nak?”
Naya menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah. “Aku… nggak apa-apa, Bu.”
Suara ibunya terdengar ragu, ada keresahan yang tak bisa disembunyikan. “Kamu muntah lagi? Sudah beberapa hari, kamu yakin cuma kecapekan?”
Naya menutup mata, berusaha menenangkan dirinya. Ia tak bisa memberitahu ibunya sekarang. Pikirannya kacau.
“Aku baik-baik aja, Bu. Mungkin cuma maag.”
Reni terdiam, seolah merasakan ada yang tak beres. Dia sudah terlalu lama mengenal Naya untuk tahu kalau ada yang disembunyikan.
“Nay, jangan bohong sama Ibu,” kata Reni dengan nada yang lebih tegas, lebih keras. “Kamu kayak Ibu waktu hamil dulu.”
Itu membuat tubuh Naya membeku. Seperti dipukul langsung ke jantung. Ibunya tahu. Ia tak bisa lagi mengelak.
“Bu, aku gak tahu,” suaranya serak, hampir tak terdengar.
“Nggak tahu?” Reni mengulang kata-kata itu dengan nada penuh tekanan. “Nay, kamu calon dokter, harusnya kamu tahu apa yang terjadi sama tubuhmu!”
Naya menunduk, menggigit bibirnya sampai rasanya sakit. Air mata yang sejak tadi tertahan, kini hampir tumpah. Tapi ia berusaha keras agar ibunya tidak melihatnya menangis.
“Bu… aku…” kata-katanya terhenti, tenggelam dalam rasa sakit yang semakin membuncah.
Reni menarik napas panjang, tampak frustrasi. “Jangan diam aja, Naya! Ini bukan hal sepele! Kamu hamil, kan?”
Naya terdiam, mulutnya kering. Ini bukan hanya masalah fisik, tapi juga perasaan yang begitu berat. Ia menundukkan kepala, mencoba menghindari tatapan ibunya yang penuh kecemasan.
“Aku… maafin Naya, Bu…”
Kata maaf yang baru saja terucap seolah sudah memberikan jawaban yang diinginkan Reni. Wanita itu menatap putrinya dengan pandangan yang sangat berbeda. Sorot matanya penuh kecewa.
“Kamu putri yang Ibu banggakan, Nay, tapi sekarang...”
Matanya mulai berkaca-kaca, namun amarahnya lebih kuat daripada rasa itu.
“Anak itu… anak Zayan?” tebaknya langsung.
Naya terdiam, tak bisa lagi membela diri. Ibunya sudah tahu segalanya, dan Naya hanya bisa menunduk.
Reni menatap putrinya dengan penuh kekecewaan. “Ibu sudah sering bilang, hati-hati sama dia. Tapi kamu nggak mau dengar. Kamu selalu yakin dia orang yang tepat. Tapi lihat sekarang! Kamu hamil! Apa kamu benar-benar nggak mikir apa-apa sebelum semuanya terjadi?”
“Bu, aku...” Naya ingin menjelaskan, tapi kata-katanya terhenti.
Reni menatapnya dengan kesal, matanya penuh amarah yang sulit dibendung. "Sekarang kamu baru menyesal? Apa kamu nggak bisa berpikir dulu? Nama keluarga kamu, nama kamu, sekarang semua itu jadi hancur gini..."
Hati Naya terasa remuk mendengarnya, tapi ia hanya bisa diam. Ia tak tahu harus menjelaskan apa—bagaimana malam itu terjadi, bagaimana ia terperangkap dalam perasaan yang bahkan kini terasa begitu membingungkan. Tapi Naya tahu, jika ia membuka mulut sekarang, ibunya akan semakin marah. Jadi, ia memilih untuk diam. Kadang, diam memang lebih baik.
Pikiran Naya tersentak saat pergelangan tangannya tiba-tiba dicekal kuat oleh Reni. "Sekarang, ikut Ibu! Kita minta pertanggungjawaban!"
"Ta... tapi Bu..." Naya mencoba membuka suara, tapi kata-katanya tercekat di tenggorokan.
Reni tak memberi kesempatan untuk alasan. Bagi Reni, yang dipertaruhkan saat ini bukan hanya masalah perasaan Naya, tapi juga nama keluarga mereka.
***
Keluarga Alastair...
"Arsen, kapan kamu akan menikah?" Suara Puput terdengar setengah putus asa. "Aku ini sudah nggak muda lagi, dan kamu juga sudah dipanggil ‘Paman’. Jangan bikin kakakmu ini tambah stres!"
Lelaki berusia 32 tahun itu hanya melirik sekilas sebelum kembali sibuk dengan ponselnya. "Tenang saja, Kak. Aku sedang mencarinya," jawabnya santai.
Puput melipat tangan di dada, menatap adiknya dengan kesal. Jawaban itu sudah terlalu sering ia dengar. "Arsen, kamu tahu kan, sejak orang tua kita meninggal, kamu tanggung jawabku?"
Arsen menghela napas, akhirnya meletakkan ponselnya dan menatap Puput dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Aku tahu, Kak."
"Kalau tahu, kenapa santai sekali? Kamu pikir mencari pasangan itu kayak pesan makanan online? Tinggal klik, terus datang sendiri?"
Arsen terkekeh kecil. "Kalau bisa begitu, aku sudah pesan dari dulu."
Puput mendesah berat. "Arsen, aku serius."
Lelaki itu tersenyum kecil, kali ini lebih tulus. "Aku tahu, Kak. Aku benar-benar sedang mencarinya. Tapi yang terpenting saat ini sepertinya bukan aku, tapi anak Kakak—Zayan."
Puput mengerutkan kening. "Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan dengan menumbalkan ponakanmu!"
Arsen mengangkat bahu. "Aku nggak menumbalkan siapa-siapa, Kak. Tapi aku baru saja dapat laporan dari beberapa temanku yang ada di luar negeri. Dia sedang bersama seorang wanita."
Puput menegang.
"Dan aku yakin sebentar lagi Kakak bakal menggendong cucu," lanjut Arsen, nada suaranya terdengar menggoda.
Puput mendelik tajam. "Ponakanmu itu beda sama kamu! Dia ingin jadi dokter yang kompeten, bukan bikin anak orang hamil duluan."
Arsen tersenyum miring. "Kakak yakin banget?"
"Tentu saja! Zayan itu anak baik, penurut, lembut." Puput menatap adiknya dengan penuh cibir. "Nggak kayak kamu. Dingin, kaku. Aku heran, gimana bisa rumah sakit ternama di kota ini merekrut kamu, bela-belain bayar gaji kamu puluhan juta, bahkan maksa kamu pulang dari luar negeri? Apa mereka nggak takut rumah sakitnya bangkrut dalam semalam?"
Arsen tertawa pelan, matanya berkilat jahil. "Kakak nggak tahu daya tarik seorang paman."
"Sudahlah!" Puput memutar bola matanya dengan kesal. "Balik ke Zayan. Dia apa?"
Tawa Arsen mereda. Ada jeda yang tak biasa sebelum ia berbicara lagi, kali ini dengan nada lebih dalam. "Zayan... dia mungkin nggak sebaik yang Kakak kira."
Puput merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya. "Arsen, kamu…"
Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, seorang pembantu muncul di ambang pintu, membungkuk sopan. "Bu, ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda."
Puput menoleh dengan kening berkerut. "Siapa?"
"Saya tidak tahu, Bu. Tapi beliau bilang ini penting."
Arsen bersandar di sofa, tangannya terlipat di dada. Wajahnya tetap tenang, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Puput semakin gelisah.
"Baik, suruh masuk."
Tak butuh waktu lama. Langkah-langkah terdengar mendekat dari arah pintu, lalu seorang wanita muncul di hadapan mereka. Puput mengamati sosok itu, begitu pula Arsen. Wajahnya terasa asing, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya—sesuatu yang familiar.
"Dia..."
jangan jangan,jangan deh
double update dong,,, kurang nih