"Lebih baik, kau mati saja!"
Ucapan Bram membuat Cassandra membeku. Dia tidak menyangka sang suami dapat mengeluarkan pernyataan yang menyakiti hatinya. Memang kesalahannya memaksakan kehendak dalam perjodohan mereka hingga keduanya terjebak dalam pernikahan ini. Akan tetapi, dia pikir dapat meraih cinta Bramastya.
Namun, semua hanya khayalan dari Cassandra Bram tidak pernah menginginkannya, dia hanya menyukai Raina.
Hingga, keinginan Bram menjadi kenyataan. Cassandra mengalami kecelakaan hingga dinyatakan meninggal dunia.
"Tidak! Kalian bohong! Dia tidak mungkin mati!"
Apakah yang terjadi selanjutnya? Akankah Bram mendapatkan kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02. Di Ambang Kematian
Bram merenung setelah kepergian Cassie dari hadapannya. Dia tahu telah menodai pernikahan mereka dengan kehadiran Raina. Akan tetapi, dari dulu dia sudah menegaskan pada perempuan itu kalau tidak mungkin dia mencintai Cassie.
Teringat ucapannya yang sangat kasar, dia mengatakan kalau lebih baik Cassie mati saja. Wajah Cassie saat itu terlihat sangat terluka karena ucapannya.
"Ah, sudahlah. Tidak mungkin dia mati, kan? Perempuan itu pasti tidak akan membiarkanku hidup dengan tenang!" Bram menggelengkan kepalanya.
Namun, ketika sedang membaca beberapa laporan. Sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya.
Bram mengernyit, melihat nomor asing yang tertera di layar ponselnya. Jantungnya tiba-tiba berdegup lebih cepat, namun dia mencoba menepis rasa cemas yang merayapi pikirannya. Dengan ragu, dia mengangkat panggilan itu.
"Halo?" suaranya terdengar datar, tetapi ada kegelisahan yang tersembunyi di baliknya.
"Pak Bramastya?" suara di seberang terdengar serius. "Kami dari Rumah Sakit Harapan. Kami ingin memberitahukan bahwa istri Anda, Cassandra Wijaya, mengalami kecelakaan dan saat ini sedang dalam kondisi kritis. Kami harap Anda bisa segera datang."
Ponsel nyaris terjatuh dari genggamannya. Mata Bram melebar, dan napasnya tercekat. "Apa? Tidak mungkin...!"
Tanpa berpikir panjang, dia langsung bangkit dari kursinya, meraih kunci mobil, dan melangkah cepat keluar dari kantornya. Dalam perjalanan ke rumah sakit, pikirannya dipenuhi dengan gambaran wajah Cassie—wajah yang selalu menampilkan sorot sedih setiap kali dia mengabaikannya. Rasa bersalah mulai menghantam dadanya. Benarkah dia yang telah mengutuk Cassie hingga perempuan itu kini berada di ambang kematian?
Begitu tiba di rumah sakit, Bram berlari menuju ruang gawat darurat. Matanya liar mencari sosok yang bisa memberinya kepastian.
"Di mana istri saya? Cassandra Wijaya!" suaranya hampir bergetar saat bertanya kepada perawat di meja informasi.
Perawat itu segera mengarahkan Bram ke ruang ICU. Langkahnya terasa berat ketika dia melangkah masuk. Di balik kaca besar yang memisahkan pasien dan pengunjung, dia melihat Cassie terbaring di ranjang rumah sakit.
Tubuhnya dipenuhi selang, wajahnya pucat, dan nyaris tidak bergerak. Alat-alat medis berbunyi monoton, menandakan bahwa kehidupan Cassie masih menggantung di ujung tanduk.
Tiba-tiba dokter dan petugas kesehatan berbondong-bondong menuju ruangan yang membuat Bram kebingungan. Dia berusaha bertanya tentang kondisi Cassie.
"Maaf, Pak. Kondisi pasien sedang kritis, kami harus segera melakukan tindakan," ujar salah satu petugas yang bisa ditanya. Kemudian, mereka membawa Cassie ke ruang operasi.
Bram menelan ludah. Hatinya mencelos melihat kondisi perempuan yang selama ini selalu dia abaikan. Ini nyata. Cassie benar-benar mengalami kecelakaan. Dia tidak mati seperti ucapannya, tetapi keadaan ini jauh lebih buruk dari yang bisa dia bayangkan.
Tiba-tiba, seseorang menyentuh bahunya. Dia menoleh dan melihat Raina berdiri di sana, matanya juga dipenuhi kecemasan. "Bram... aku baru tahu soal Cassie. Aku ikut prihatin."
Bram menatap Raina tanpa ekspresi. Dulu, kehadiran perempuan ini adalah pelariannya. Raina adalah orang yang selalu dia pilih untuk berada di sisinya, bukan Cassie. Tetapi sekarang, melihat Cassie yang tak berdaya di hadapannya, Bram menyadari sesuatu yang selama ini dia abaikan.
"Ini salahku," gumamnya pelan. "Seharusnya aku tidak pernah mengatakan hal itu padanya. Seharusnya aku tidak pernah..." Kalimatnya menggantung, rasa sesak menyerangnya begitu saja.
Raina menggenggam lengannya, berusaha menenangkan. "Bram, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Ini hanya kecelakaan—"
"Tidak," Bram memotong cepat. Tatapannya gelap dan penuh dengan rasa bersalah yang baru saja dia sadari. "Ini bukan hanya kecelakaan. Ini adalah akibat dari semua yang telah aku lakukan padanya."
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Bramastya merasakan ketakutan yang begitu nyata—ketakutan akan kehilangan seseorang yang mungkin selama ini lebih berarti daripada yang dia sadari.
"Jadi, kamu masih bersama dengan jalang ini!" ucap sebuah suara yang membuat kedua orang itu menoleh.
Jessica Wijaya, kakak dari Cassie menatap dengan sinis. Bram membalas tatapan mematikan itu, tetapi dia sadar diri kalau selama ini dialah yang memantik permusuhan di antara keluarga mereka.
"Dia bukan jalang! Jaga ucapanmu, Jessie!" tukas Bram yang masih membela Raina.
"Cih! Kalau kalian masih ingin berduaan di sini. Pergilah! Aku tidak ingin adikku sadar dan melihat kalian bersama, sampai kapan pun aku akan membenci kalian," balas Jessie.
Wanita itu sudah memperingatkan beberapa kali pada Cassie kalau tidak mungkin Bram akan membalas cinta adiknya itu. Akan tetapi, Cassie tidak peduli.
Keinginan Cassie untuk mendapatkan Bram lebih besar dari apa pun. Cassie dengan licik mengatur perjodohan dua keluarga mereka. Tentu saja, kedua orang tuanya mendukung hal tersebut.
Namun, apa yang didapatkan oleh Cassie setelah menikah?
Cassie terus saja diabaikan, dia tidak mendapatkan kasih sayang sebagaimana mestinya. Hanya dijadikan bayang-bayang oleh Bram. Cassie adalah istri yang tidak pernah dianggap dan diakui.
"Bram, lebih baik aku pergi saja," ujar Raina dengan ucapan parau.
"Tidak kau di sini saja!" cegah Bram dengan menggenggam erat tangan Raina.
Jessie tidak lagi mempedulikan kedua orang yang duduk di sampingnya itu. Dia sedang menunggu keajaiban datang. Kedua orang tuanya berada di luar negeri untuk perjalanan bisnis. Dia harusnya bisa menjaga Cassie, tetapi sang adik malah mengalami kecelakaan.
Seorang dokter keluar dari kamar dengan raut wajah tidak bisa terbaca. Seketika, mereka semua menegang. Sebelum, Bram menanyakan kondisi Cassie, Jessie telah lebih dulu bertanya.
"Bagaimana kondisi Cassie? Bagaimana dengan adik saya? Dia selamat kan, Dok?" suara Jessie terdengar memohon, isak tangisnya tertahan.
Dokter di hadapan mereka menghela napas panjang sebelum menjawab dengan suara tenang namun penuh kehati-hatian. "Mohon maaf..."
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca. 🥰
Dan juga keluarga Adrian kenapa tdk menggunakan kekuasaannya untuk menghadapi Rania yg licik?? dan membiarkan Bram menyelesaikannya sendiri?? 🤔😇😇
Untuk mendapatkan hati & kepercayaannya lagi sangat sulitkan?? banyak hal yg harus kau perjuangan kan?
Apalagi kamu harus menghadapi Rania perempuan licik yg berhati ular, yang selama ini selalu kau banggakan dalam menyakiti hati cassie isteri sahmu,??
Semoga saja kau bisa mendapatkan bukti kelicikan Rania ??
dan juga kamu bisa menggapai hati Cassie 😢🤔😇😇
🙏👍❤🌹🤭
😭🙏🌹❤👍