“Perut itu harusnya di isi dengan janin, bukan dengan kotoran mampet!”
Ara tak pernah menyangka, keputusannya menikah dengan Harry—lelaki yang dulu ia percaya akan menjadi pelindungnya—justru menyeretnya ke dalam lingkaran rasa sakit yang tak berkesudahan.
Wanita yang sehari-harinya berpakaian lusuh itu, selalu dihina habis-habisan. Dibilang tak berguna. Disebut tak layak jadi istri. Dicemooh karena belum juga hamil. Diremehkan karena penampilannya, direndahkan di depan banyak orang, seolah keberadaannya hanyalah beban. Padahal, Ara telah mengorbankan banyak hal, termasuk karier dan mimpinya, demi rumah tangga yang tak pernah benar-benar berpihak padanya.
Setelah berkali-kali menelan luka dalam diam, di tambah lagi ia terjebak dengan hutang piutang—Ara mulai sadar: mungkin, diam bukan lagi pilihan. Ini tentang harga dirinya yang terlalu lama diinjak.
Ara akhirnya memutuskan untuk bangkit. Mampukah ia membuktikan bahwa dia yang dulu dianggap hina, bisa jadi yang paling bersinar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
“MANA BU SYAM?!” Teriak seorang wanita paruh baya bertubuh tegap, berkaos olahraga ketat dan membawa pentungan kayu—berdiri di ambang pintu.
Di belakangnya, seorang pria dewasa tampak menahan langkahnya. Namun, pria itu tak kuasa menahan ibunya yang sudah meledak-ledak.
Semua tamu berhenti berbicara. Musik dari speaker kecil berhenti diputar. Pandangan semua orang menatap lurus ke satu titik—ke arah wanita itu yang kini dengan penuh percaya diri melangkah masuk ke dalam rumah, tanpa salam, dan tanpa basa-basi.
Bu Romlah. Seorang pedagang yang dua minggu lalu tertimpa kemalangan, warungnya di bobol maling. Kerugiannya ditaksir 9juta rupiah.
Wajahnya merah padam, napasnya memburu. Ia berjalan melewati tamu-tamu yang terdiam keheranan. Termasuk melewati Ara dan Bu Farida yang berdiri di samping pintu utama. Pentungan di tangannya berputar-putar, seperti hendak menyambit bola kasti.
Bu Syam yang tadinya sedang berdiri sambil berkacak pinggang dan menatap tajam sang besan—langsung pucat pasi.
“Astaghfirullah, Bu Romlah. Ada apa ini?!” tanyanya hati-hati, dengan jantung berdetak kencang.
“ADA APA ADA APA!” bentak Bu Romlah. “Aku mau minta pertanggungjawaban di sini!”
“Pertanggungjawaban? Untuk hal?” kening Bu Syam berkerut.
“Jangan pura-pura nggak tau ya, Bu Syam! Dua minggu yang lalu, warung ku di bobol sama pacar anakmu!” jawab Bu Romlah lantang.
“Anak ku? —Dwi?” Bu Syam mencoba menebak, meskipun sudah jelas—Dwi lah yang dimaksud.
“Emangnya, anak laki-laki mu punya pacar juga? Main serong?!” Bu Romlah mulai keluar topik.
Harry gelagapan, ia menatap Ara yang berdiri di sisi pintu, lalu menatap Bu Romlah. “Jangan asal nuduh, Bu!”
“Asal nuduh yang mana? Yang maling? Atau yang ....” Bu Romlah mengalihkan tatapannya ke arah Puspa. Bukan rahasia lagi, wanita itu rutin mengunjungi rumah Bu Syam demi menarik perhatian Harry. Dan itu sudah berlangsung cukup lama.
“Dua-duanya!” tegas Harry.
“Heh! Anakku sudah nyari bukti kemana-mana, dan akhirnya ketemu! Kamu tau Mas Adam yang tinggal di depan rumah ku, toh? Yang kapten kapal nelayan itu—dia baru pulang berlayar. Dia mendengar musibah yang menimpaku—lalu memeriksa dashcam mobilnya yang terparkir tepat menghadap ke rumah ku. Dan kamu tau siapa yang tertangkap di kamera itu?!”
Bu Syam, Harry serta Dwi serentak menahan napas.
“PACARNYA DWI, YANG SERING DIBANGGAKAN IBUMU—YANG KATANYA PENGUSAHA SHOWROOM MOBIL! YANG DI PUJA-PUJI KARENA DUA MINGGU YANG LALU UDAH BELIIN HP BARU UNTUK SI DWI. TERNYATA, PAKAI UANG KU TOH?!” Bu Romlah meninggikan suaranya. “Aku ingat betul wajah bocah itu. Beberapa kali, dia beli rokok batangan di warungku—sepertinya hanya kedok untuk mengintai keadaan warung. Sekarang, aku mau minta ganti rugi! Pertanggungjawaban! Asal kalian tau ya—kerugianku mencakup 9 juta rupiah!”
Semua kepala langsung menoleh ke Dwi, adik Harry, yang berdiri dengan gaun warna hijau tosca. Wajahnya memucat, lalu mendadak berubah semerah tomat.
“Jangan ngadi-ngadi dah, Bu Romlah! Berani banget nyebarin fitnah. Jangan asal jeplak—mana buktinya?!” teriak Dwi dengan suara cempreng, wajahnya tegas tapi pandangannya melesat ke kiri dan ke kanan mencari dukungan. “Sanking kepingin uang kembali, sampe tega nyebarin informasi palsu seperti ini. Berapa tadi yang hilang? 9 juta doang kan? Ikhlasin aja napa, elaaah! Namanya juga musibah!”
“ADA BUKTINYA! MAU LIHAT REKAMANNYA?!” bentak Bu Romlah, sambil mengeluarkan flashdisk dari kantong celananya dan mengacungkan ke arah wajah Dwi.
Seketika, Dwi menelan ludah. Ia ingin tau kebenarannya. Namun, ia juga terlalu takut untuk menerima faktanya—jikalau semua yang dikatakan Bu Romlah, benar adanya.
“Heh, Dwi—tunggu apa lagi? Buruan itu flashdisk colokin ke laptop! Biar kita tau kebenarannya kayak apa!” teriak Wulan, teman curhat Ara—di tengah kerumunan. “Enak bener nyuruh ikhlasin gitu aja di saat udah ada buktinya. Otak lo di dengkul ya?!”
Dwi menatap sengit. “Diem deh lo, Mandul! Jangan ikut campur!”
“Gimana ceritanya gue mandul? Gue kan pernah hamil—keguguran gara-gara iblis tua bangka di rumah. Lo tau arti mandul nggak sih? Katanya mahasiswi di universitas ternama, segini doang otaknya? Masuk hasil nyogok kah? Tak patuuuuut!” Wulan melipat tangan di dada, tak lupa pula ia menyunggingkan senyuman remeh.
Dwi semakin panas. “Lo ngajak ribut, hah?!”
Dwi maju selangkah, hendak menghampiri Wulan. Namun, langkahnya terhenti kala melihat sosok iblis tua bangka yang dimaksud Wulan—tengah berdiri di samping Wulan.
“Siapa yang kau sebut iblis tua bangka, hah?!” Bu Susi—mertua Wulan, menatap sengit menantunya. “Sekarang, kau ikut aku pulang! Jangan menyebarkan cerita yang tidak-tidak!”
Bu Susi menarik paksa Wulan, jelas ia hendak memberi pelajaran yang berharga pada Wulan setelah sampai di rumah.
Semua mata menatap punggung Wulan dan ibu mertuanya yang semakin menjauh. Kemudian, mereka kembali menatap Bu Romlah setelah dua sosok tadi menghilang.
“Aduh, Bu Romlah, jangan begini caranya dong,” potong Bu Syam, mencoba tetap tenang. “Anak saya nggak mungkin bergaul sama maling!”
Bu Farida yang sedari tadi diam, akhirnya bicara. “Bu Syam … kalau memang faktanya seperti itu, sebaiknya diselesaikan baik-baik. Kalau kalian tidak mampu bertanggungjawab secara materi, sebaiknya kalian antarkan saja Ibu ini ke showroom mobil pacarnya si Dwi, biar masalah ini cepat sel—”
“Jangan ikut campur, Anda bukan siapa-siapa di sini!” teriak Bu Syam. Ia benar-benar malu.
“Selagi mati nggak bisa nguburin mayat sendiri dan masih berharap dikirimkan doa, sebaiknya jaga lisan, Bu. Jangan terlalu angkuh jadi manusia,” balas Ara.
“Ara!” Bentak Harry dengan kilat mata menyala. “Kamu nyumpahin ibuku mati, hah?!”
Ara mengangkat sudut bibirnya, “kami permisi.”
Wanita berparas ayu itu lekas menarik lembut tangan sang ibu. “Ayo, Bu. Kita pulang.”
Harry hanya bisa menatap kepergian Ara. Dia hendak menyusul, tetapi, situasi dan kondisi di rumah ibunya masih tak kondusif.
Sedangkan Dwi, sedari tadi sibuk dengan ponselnya. Ia berkali-kali menghubungi Rizal, sang kekasih. Namun, tak satupun panggilan telepon nya ditanggapi. Bahkan, pesan yang dikirimkan Dwi pun—hanya dibaca saja.
‘Duh, gimana ini?!’ batin Dwi seraya menggigit ujung kukunya.
“Jadi bagaimana? Kalian sanggup bayar atau tidak? Kalau tidak, cepat antarkan aku ke showroom maling yang sudah kalian bangga-banggakan itu selama ini.” Bu Romlah semakin mengayun-ayunkan pentungannya—layaknya preman pasar.
“Dwi ... gimana ini?!” bisik Bu Syam panik.
“Nggak diangkat, Bu,” jawab Dwi pelan.
“GIMANA?!” bentak Bu Romlah.
Dwi tersentak kaget. “Ya sabarlah, Tua Bangka!” kata-kata yang jauh dari sopan santun itu tercetus begitu saja.
“Tua Bangka? Kau ngatain aku Tua Bangka? Kau nyari mati ya?!” Bu Romlah seketika kalap. Ia mengangkat pentungan itu setinggi-tingginya, membuat orang-orang yang berada di sana menjerit.
BUGH!
BUGH!
Arrrggghhh!
Harry meraung keras kala pentungan itu mendarat di wajahnya—Dwi tiba-tiba menarik tubuhnya untuk dijadikan benteng pertahanan. Alhasil, kening Harry mengeluarkan darah segar. Pipinya pun turut lebam.
...****************...
“Wulan? Astagfirullah, muka lo kenapa?” tanya Ara panik saat melihat Wulan berdiri di depan pintu rumah ibunya dalam kondisi babak belur. “Mertua lo?”
“Dan Mas Mukhlis. Dia nggak terima ibunya gue katain iblis tua bangka,” jawab Wulan.
Ara meringis melihat mata Wulan yang lebam. Kedua tangannya penuh memar. Ara menatap jam di dinding yang sudah menunjukkan jam 10 malam, lalu menatap koper yang di bawa Wulan. Jelas, Wulan tidak ingin pulang.
“Ayo masuk dulu. Kita obati dulu luka-luka lo ini.”
Ara sempat mengira, bahwa Harry lah yang datang untuk menjemputnya pulang. Namun ternyata, yang datang justru yang tak terduga-duga.
‘Mas Harry bener-bener keterlaluan kalau sampai malam ini dia nggak datang untuk minta maaf.’
.
.
“Harry, muka mu kenapa—bonyok begitu?!” tanya Tiasa, rekan kerja Harry.
“Oh, ini.” Harry mengusap-usap tengkuknya. “Semalam aku berantem sama begal. Mereka mau ngambil paksa motor ku. Enak aja—belinya aja susah setengah mati.”
“Ya ampun, serius?! Tapi, motor mu aman, ‘kan?” Tiasa menatap penuh iba. Tidak tau saja dia, rekannya itu korban cosplay benteng pertahanan.
“Aman-aman. Ada warga juga yang nolongin,” sahut Harry.
“Ya ampun, untung aja kamunya gapapa,” balas Tiasa.
‘Gapapa gimana? Muka gue udah bonyok begini—masih juga dibilang untung!’ batin Harry mendumel.
“Tapi, kamu hebat deh, Har. Berani ngelawan, kalau aku sih—udah pasrah aja pasti.”
Harry hanya menyengir.
“Ya udah, aku lanjut dulu ya. Lekas sembuh itu muka mu.”
Harry hanya menjawab dengan anggukan kecil. Setelah Tiasa pergi, Harry pun melangkah menuju ruangan arsip. Dan ... seseorang mengikutinya dari belakang, siapa lagi jika bukan—Puspa. Mereka berdua masuk ke dalam ruangan tersebut, dan mengunci pintunya dari dalam.
Dalam hitungan menit, suara desahan pun menggema di ruangan tersebut. Jemari Harry sudah menari-nari di balik kain segitiga berbahan satin tersebut.
“Ah, Mas. Lebih cepat! Enghhhhh!” Puspa melenguh nikmat ketika jemari itu semakin bergerak cepat. “hmmppp!”
Harry membungkam bibir Puspa dengan bibirnya, ia cemas suara wanita itu terdengar sampai keluar.
Hampir satu minggu ini, kedua insan itu saling memuaskan dengan jari-jari mereka. Tak sampai bercinta, tetapi, cukup juga membuat tubuh mereka bergetar nikmat. Harry belum berani sampai melakukan hal sejauh itu, karena ia masih memikirkan hubungannya dengan Ara. Terlebih lagi, belum ada kata jadian di antara Harry dan Puspa. Namun, aktivitas nakal ini terjadi begitu saja. Layaknya air yang mengalir.
Puspa mendorong kuat tubuh Harry hingga pagutan mereka terlepas. “Akh! Mas, aku keluar—ahhhh!”
Mereka berdua kembali membelit lidah. Tanpa mereka sadari, sepasang mata sedari tadi menatap liar sambil menyalakan kamera.
*
*
*
pinisirinnnnnn🤭🤭🤭