NovelToon NovelToon
Tinta Darah

Tinta Darah

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Mengubah Takdir / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Mengubah sejarah / Keluarga / Persahabatan
Popularitas:361
Nilai: 5
Nama Author: Permenkapas_

terlalu kejam Pandangan orang lain, sampai tak memberiku celah untuk menjelaskan apa yang terjadi!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Permenkapas_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bertukar pendapat

Oline menyerahkan kotak bekalnya kepada Devanka yang termenung sendirian di taman sekolah.

“Jadi, dia membawa bekal untuk lelaki aneh itu,” ucap Bara dari kejauhan.

Bara melihat Oline yang sedang mengobrol dengan Devanka, kadang mereka tertawa, entah apa yang mereka bicarakan, Bara tidak bisa mendengar percakapan mereka karena Bara berada di ruang kepala sekolah. Kebetulan ruang kepala sekolah jendelanya langsung terhubung ke taman tempat Oline dan Devanka bercengkrama.

“Kamu tidak suka jika Oline bersama pemuda itu?” tanya kepala sekolah dari arah belakang Bara.

“Dia masih kecil, harus fokus sekolah!”

“Kau terlalu memperlakukannya seperti anak-anak.”

Kepala sekolah menghela nafas kemudian melanjutkan kalimatnya.

“Padahal Oline sudah berumur 18 tahun.”

“Umurnya masih 17 tahun, ulang tahunnya baru tiga bulan yang lalu,” ucapnya membenahi kesalahan kalimat si kepala sekolah.

“Diumur segitu remaja seperti Oline sudah merasakan hal yang berbeda kepala lawan jenis.”

Bara menatap tajam mata kepala sekolah, sang kepala sekolah langsung salah tingkah dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.

“Bagiku dia tetap makhluk kecil, ‘tak peduli sedewasa apapun dirinya!” ucapnya dengan nada mengecam.

Bara melihat Oline sekilas, lalu melenggang pergi dari ruang kepala sekolah itu tanpa permisi.

Bara melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi membelah ramainya kendaraan di ibu kota, ada sebuah urusan yang harus dia bicarakan kepada sang kakak Antoni.

Karena Bara sedang tidak ada Oline mengambil kesempatan untuk pulang berjalan kaki, dia pulang bersama Devanka. Meski arah jalan pulang mereka berbeda tetapi Devanka tetap bersikeras untuk mengantarkan Oline pulang dengan selamat.

Keadaan ekonomi Devanka tidak jauh berbeda dengan almarhumah teman mereka di Vanya, tetapi Devanka lebih beruntung karena orang tuanya tidak kerja serabutan, mereka memiliki sebuah toko sandang pangan di kota dan desa tersebut, setiap hari Devanka berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki sendiri, meski letak rumah dan sekolahnya lumayan jauh.

Tidak ada yang mau berteman dengan Devanka karena sifatnya yang pendiam dan tak suka bergaul dengan orang-orang, Sebagian besar orang menyebutnya aneh.

Meski kedua orang tua Devanka lengkap, dia tetap merasa kosong karena kesibukan keduanya, tak jarang Devanka sering sendirian di rumahnya karena orang tuanya selalu pergi ke toko milik mereka di kota, sedangkan toko di desa Devanka lah yang harus mengurusnya.

Mereka bersenda gurau melupakan masalah mereka masing-masing, meski cuma sebentar, setidaknya mereka sedikit melupakannya.

“Dev.”

“Iya?”

“Hem ....” ucap Oline ragu-ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

“Ada apa? Ngomong aja jangan ragu-ragu gitu.”

“Aku—aku boleh nanya sesuatu tidak?”

“Iya boleh lah, tanyakan saja semuanya. Kalau aku tahu aku akan jawab.”

Oline terdiam, rasanya dia masih sangat ragu untuk bertanya kepada Devanka.

“Woy ... kenapa diam saja? Katanya ingin bertanya sesuatu?” desaknya.

“Ini tentang Vanya,” ucap Oline ragu sambil menggigit bibir bawahnya.

Devanka menatap Oline sekilas kemudian kembali memandang kearah depan, dimana banyak teman-teman sekolahnya yang sedang bercengkrama.

“A—aku ....”

“Hari itu aku tidak sengaja melihatnya yang sedang terburu-buru, dia kelihatan ketakutan tetapi aku memilih cuek dan melanjutkan perjalananku untuk kembali ke rumah.”

Devanka menatap langit yang sedikit mendung seperti hatinya.

“Beberapa jam kemudian, saat aku pembeli di tokoku seseorang itu mengatakan kalau Vanya telah tiada, aku yakin Vanya yang mereka maksud adalah Vanya teman kelas kita. Setelah orang itu pulang aku langsung menutup toko dan bergegas ke rumah Vanya, dan benar saja di sana sudah banyak orang dan aku juga melihat kamu di tengah-tengah keramaian orang,” lanjutnya.

“Jika saja aku tahu itu yang terakhir kalinya bertemu dengan Vanya, mungkin aku akan menyempatkan diri untuk mengantarkannya pulang,” sesalnya.

“Kau tahu tentang teror itu?”

Devanka menatap Oline sambil mengangkat salah satu alisnya.

“Teror?”

“Iya, teror Vanya.”

Devanka terkejut, dia merubah posisinya menghadap Oline, tetapi belum sempat Oline bercerita bel berbunyi, mau tidak mau mereka harus membubarkan diri.

Oline mengingat kejadian barusan di taman, sedangkan sekarang dia sedang berjalan kaki bersama Devanka untuk pulang, di sepanjang perjalanan Devanka tampak melamun, dia bahkan tak bertanya kepada Oline padahal saat di taman tadi dia sangat antusias ingin mendengar cerita tentang teror yang dialami Vanya, sampai-sampai mengubah tempat duduknya menghadap Oline dan itu membuat jantung Oline berdebar. Tetapi kini lelaki yang berada di sampingnya diam seribu bahasa, Oline melirik ke arah Devanka tetapi lelaki itu tidak bereaksi apapun.

Sampai tiba di depan rumah Devanka masih terdiam.

“Terimakasih, oh iya? Gak mau mampir dulu?” tanya Oline.

“Tidak, lain kali saja,” ucapnya sambil membalikkan badan lalu melenggang pergi dari kediaman Oline.

Oline merasa sedikit kecewa karena sikap Devanka kepadanya.

“Apa aku mulai menyukainya?” tanyanya dalam hati.

“tidak! Itu tidak mungkin!” pungkirnya.

“Non,” panggilnya sambil menepuk pundak Oline.

“Akh ....”

Oline kaget, dia berteriak. Pasalnya yang dia tahu dari tadi tidak ada siapa-siapa di sana, sekarang pemuda itu sudah berada tepat di belakangnya.

“M—maaf non,” ucap pemuda itu yang usianya sedikit lebih tua dari Oline.

“Tidak apa-apa, lain kali jangan seperti itu. Untung saja aku tidak punya riwayat penyakit jantung,” candanya sambil tersenyum manis.

Pemuda itu membalas senyuman Oline.

“Ada apa?”

“Non pulang sendiri? Kenapa tidak nelfon Pak sopir saja biar di jemput?”

“Aku ingin pulang jalan kaki aja,” jawabnya enteng sambil berlalu masuk ke dalam rumah.

Sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu Oline masih sempat bertanya nama pemuda tersebut.

“Satya non,” jawabnya.

“Oh ... ok.”

Oline berlari menuju kamarnya, dia yakin kalau pamannya Bara belum pulang dari kota.

Setelah berganti baju Oline pergi ke dapur, dia lapar tetapi dia tidak ingin makan masakan Bibi hari itu. Akhirnya dia memutuskan untuk masak sendiri.

“Gak papa sekali-kali, toh paman Bara belum pulang. Ini kesempatan yang tidak boleh di sia-siakan,” ucapnya pada diri sendiri.

Dia mengambil peralatan masak dan mengeluarkan bahan-bahan yang akan dia masak hari itu. Sang Bibi datang lalu mencegahnya.

“Non mau ngapain? Sini biar Bibi saja yang masak,” ucap sang pembantu sambil berusaha meraih wajan yang Oline pegang.

Oline menahan tang Bibi.

“Gak, biar Oline aja yang masak sekarang. Oline ingin makan masakan Korea, emang Bibi tau?”

Pembantu tersebut menggeleng.

“Tuh kan, gak tau.”

“Memangnya non Oline tau?”

“Enggak, Oline liat tutornya di YouTube. Lebih baik Bibi istirahat saja sana.”

“Tetapi non,” bantahnya ragu.

“Ini perintah dari Oline sendiri, sana istirahat!” usirnya.

Pembantu tersebut tidak berani membantah majikannya, akhirnya ia mengikuti saran Oline dan kembali ke kamarnya untuk istirahat. Sedangkan Oline berkutat dengan kesibukannya di dapur.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!