Plak!
" Percuma aku menikahi mu, tapi sampai sekarang kamu belum juga memiliki anak. Kamu sibuk dengan anak orang lain itu!"
" Itu pekerjaanku, Mas. Kamu tahu aku ini baby sitter. Memang mengurus anak orang lain adalah pekerjaanku."
Lagi dan lagi, Raina mendapatkan cap lima jari dari Rusman di pipinya. Dan yang dibahas adalah hal yang sama yakni kenapa dia tak kunjung bisa hamil padahal pernikahan mereka sudah berjalan 3 tahun lamanya.
Raina Puspita, usianya 25 tahun sekarang. Dia menikah dengan Rusman Pambudi, pria yang dulu lembut namun kini berubah setelah mereka menikah.
Pernikahan yang ia harap menjadi sebuah rumah baginya, nyatanya menjadi sebuah gubuk derita. Beruntung hari-harinya diwarnai oleh wajah lucu dan tingkah menggemaskan dari Chandran Akash Dwiangga.
" Sus, abis nanis ya? Janan sedih Sus, kalau ada yang nakal sama Sus, nanti Chan bilang ke Yayah. Bial Yayah yang ulus."
Bagaimana nasib pernikahan Raina kedepannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Baby Sitter 12
Blak!
"Rus, apa bener kabar yang Ibu dapet barusan? Gila ya kamu Rus, bisa-bisanya kamu buat rusuh di kampung orang. Hape ibu dari tadi bunyi mulu karena dikabari sama orang-orang. Dan gilanya di sana banyak temen-temen Ibu. Kamu beneran aah ... nggak tau lagi Ibu harus ngomong apa."
"Ya udah nggak usah ngomong!"
Rusman menjawab dengan nada tinggi dan juga kasar, Pikirannya sangat kusut, tapi malah ditambahi dengan ocehan Ningsih.
Ia pun memilih masuk ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat.
Di luar Ningsih masih terus bicara tentang rasa kesalnya akan ulah Rusman itu.
Memang benar dia menginginkan anak dan menantunya berpisah, namun bukan seperti ini caranya.
Betapa kagetnya Ningsih ketika mendapat panggilan telepon dari temannya yang berada di kampung itu soal penggrebekan Rusman. Dia juga diberitahu kalau Raina mengetahui semua itu dan saat itu juga Raina meminta cerai.
Dugh dugh dugh
"Kalau begini, gimana hidup kita nanti Rus!" pekik Ningsih di balik pintu.
"Brisik, suruh Ida kerja sambil kuliah! Kalau nggak mau ya udah berhenti saja! gitu aja kok repot. Sekarang Ibu diem, brisik!"
Rusman menutup telinganya dengan bantal, dan tak lama Ningsih tidak lagi bersuara. Agaknya wanita itu telah pergi dari depan kamar putra sulungnya.
"Ini~"
Rusman mencium dalam-dalam aroma Raina yang tertinggal pada bantal itu. Ya, bantal yang ia gunakan untuk menutup telinga adalah bantal milik Raina. Aroma yang segar, dimana selama ini tak pernah dia indahkan kini menjadi sesuatu yang tiba-tiba dirindukannya.
"Ai, maafkan aku,"ucapnya lirih.
Benarkah itu? Menyesalkan Rusman? entahlah, hanya saja dia saat ini memang benar merindukan Raina. merindukan wanita yang sudah tidak bisa ia rengkuh karena tak lagi berstatus sebagai istrinya.
Malam yang berat dan tidak menyenangkan. Puncak dari segala rasa sakit yang dirasakan Raina itu bergulir dengan lambat. Suara adzan yang berkumandang, tak lagi membangunkan wanita 25 tahun itu karena dia sudah terbangun sedari tadi.
Entah pukul berapa tepatnya dia bangun, tapi yang pasti saat ini dia sudah duduk diatas sajadah lengkap dengan mukenanya.
Di meja belajar yang ada pada kamar itu terletak satu set perlengkapan sholat. Raina tidak meminta izin lebih dulu untuk menggunakan karena tidak mungkin mengganggu istirahat Bu Asri maupun Pak Budi.
"Di dalam simpuh dan dan sujud ku sekarang ini, Rabb. Mohon hilangkan rasa sakit yang luar biasa ini. Berilah aku kekuatan untuk menjalani semuanya. Jika semua rasa sakit ini bisa melepaskan ku dari derita yang aku alami, maka aku akan berusaha kuat dan ikhlas untuk menerimanya. Matahari akan terbit, dan malam yang gelap pun akan berganti. Aku berharap setelah ini, baik siang atau pun malam aku bisa merasakan indahnya hangat mentari dan sejuknya udara malam tanpa nyeri. Aamiin."
Tak ada tasbih, ruas jari pun jadi. Raina terus mengagungkan nama Tuhannya. Air mata terus meluncur di pipinya. Namun memang hanya itu lah cara dia mengadu.
Dirinya tidak memiliki siapapun, maka hanya kepada Tuhan nya lah dia berkeluh kesah. Meluapkan semu rasa yang ada.
Tok tok tok
"Nak, apa sudah bangun?"
"Sudah, Bu."
Raina bergegas melipat sajadah dan mukena. Ia lalu mengenakan hijab instan yang ia letakkan di atas ranjang dan berjalan menuju pintu.
Cekleek
"Ayo sarapan, ini memang sedikit lebih pagi. Nggak masalah kan?"
"Tidak Bu, saya tidak ada masalah. Ah iya, tadi saya meminjam mukena yang ada di atas meja. Maaf tidak izin lebih dulu."
"Nggak apa-apa, pakai aja. Ayo."
Raina mengangguk, ia lalu berjalan di sisi Asri menuju ke meja makan. Dan betapa terkejutnya dia saat melihat ada Bagus di sana.
"P-pak Bagus?"
"Iya Sus Raina. Bapak nelpon, dan udah jelasin semuanya. Nanti kita ketemu pengacara, kita selesaikan permasalahan kamu."
"Terimakasih, Pak. Lalu Chan?"
"Chan nanti biar di sini sama Bapak Ibu. Jadi kamu bisa fokus dulu sama semua proses perceraian kamu."
Raina mengangguk, rasanya sangat terharu. Ternyata masih ada orang yang peduli dengan dirinya. Ternyata dia tidak sendirian di dunia ini.
"Terimakasih Pak Bagus, Bapak dan Ib. Saya sungguh berterimakasih."
"Semoga semuanya cepat selesai ya, Nak. Oh iya Gus, selama prosesnya biar Raina tinggal di sini aja. Itu juga lebih aman ketimbang dia tinggal di kos kan?"
"Iya, bener juga. Ya udah gitu aja."
Ide dari Asri tentu langsung disetujui oleh Bagus. Memang benar bahwa di rumah Asri dan Bagus menjadi lebih aman ketimbang di kos. Khawatir jika di kos, mantan suami Raina itu bisa datang dan berbuat hal yang buruk.
"Tapi Raina nya mau nggak?"
"Kalau itu tidak merepotkan Bapak dan Ibu, saya mau."
"Nggak kok, kami malah seneng. Rumah jadi lebih ramai kan?"sahut Budi. Memang benar begitu. Anak-anaknya sudah berumahtangga semuanya dan memiliki keluarga masing-masing. Mereka hanya berdua saja. Bagus yang menjadi orang tua tunggal juga lebih banyak tinggal di rumahnya.
Sedangkan Raina, dia memutuskan untuk membuka diri dan menerima bantuan dari orang lain. Selama ini dia selalu mandiri. Dia selalu berdiri di kakinya sendiri. Dan setiap ada yang bertanya apa dia baik-baik saja, maka dia akan menjawab ya, semua baik baik-baik saja.
Tapi tidak sekarang, dia ingin berkata lelah jika memang lelah. Dia akan meminta tolong jika kesulitan.
"Jadi, maaf kalau aku tanya hal pribadi Sus. Apa suamimu itu melakukan KDRT terhadap mu? Baik fisik maupun verbal?"
"Iya benar, Pak. Saya memiliki foto-fotonya. Dan yang terbaru pun masih ada juga."
"Bagus, kalau gitu mari kita ke rumah sakit untuk melakukan visum. terus untuk perselingkuhan yang dilakukan, apa kamu ada bukti?"
Raina mengangguk lagi, bukti yang dikirimkan oleh satpam pabrik tempat Rusman bekerja akan jadi buktinya. Dan itu cukup untuk melakukannya.
"Kira-kira apa ada yang mau jadi saksi?"
"Seluruh warga di kampung itu melihatnya, Pak. Saya yakin satu diantaranya pasti mau."
"Ya, kalau pun tidak ada yang mau kita akan membuatnya mau."
Meskipun Raina tidak paham dengan arti ucapan bagus yang terakhir, namun dia merasa yakin bahwa proses yang akan dilakukan ini akan berjalan dengan lancar. Semuanya akan menadi sebuah kebebasan setelah dirinya berpisah dari Rusman sepenuhnya.
"Sus Aiiiii!"
Greb
Chan berlari dari kamar dan langsung memeluk Raina. Bocah itu mengangkat kedua tangannya pertanda ingin minta duduk dipangku oleh Raina.
"Sama Nenek aja ya, biar Sus Ai nya makan dulu."
"Nda mau, Chan maunya sama Sus Ai. Ehh ko mata Sus Ai benkak? Sus Ai nanis ladi ya. Yayah, tuh Sus Ai nanis ladi. Cepet malahin olan yan bikin Sus Ai nanis. Kasian Sus Ai sedih telus."
Semua orang saling pandang, rupanya Chan menjadi orang yang pertama peka dengan kondisi Ai.
"Tidak apa-apa Bu, saya malah senang kok. Sini sayang, Sus Ai pangku. Mau makan bareng?"
"He em."
Selama ini Asri tidak terlalu memerhatikan interaksi antara pengasuh dan cucunya itu. Dan sekarang ia baru menyadari bahwa keduanya sangat dekat sampai bisa merasakan perasaan satu sama lain.
Asri juga bisa melihat, bahwa suasana hati Raina langsung berubah saat ada Chan bersamanya.
"Mereka cocok."
TBC