Novi adalah seorang wanita seorang agen mata-mata profesional sekaligus dokter jenius yang sangat ahli pengobatan dan sangat ahli membuat racun.
Meninggal ketika sedang melakukan aktivitas olahraga sambil membaca novel online setelah melakukan misi nya tadi malam. Sayangnya ia malah mati ketika sedang berolahraga.
Tak lama ia terbangun, menjadi seorang wanita bangsawan anak dari jendral di kekaisaran Dongxin, yang dipaksa menikah oleh keluarga nya kepada raja perang Liang Si Wei. Liang sangat membenci keluarga Sun karena merasa mencari dukungan dengan gelar nya sebagai salah satu pangeran sekaligus raja perang yang disayang kaisar.
Tepat setelah menikah, Novi melakukan malam pertama, ia menuliskan surat cerai dan lari. Sayangnya Liang, selalu memburu nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi
Sinar matahari pagi menembus celah dedaunan, memantul lembut di atas atap bambu tempat Sun Yu Yuan tinggal sementara. Di dalam rumah kayu sederhana itu, aroma bubur kacang merah dan roti kukus memenuhi udara.
Sun Yu Yuan duduk bersila di depan meja kecil, mangkuk demi mangkuk makanan tersaji di hadapannya, bubur hangat, irisan telur asin, acar sayuran, dan bahkan beberapa potong daging kering yang langka di desa ini.
Dengan lahap, ia menyuap makanan tanpa henti. Pipi yang biasanya tirus kini sedikit membulat. Ia baru menyadarinya saat meraih cermin kecil dari balik bungkusan kain.
“Hmm... sejak kapan pipiku jadi begini?” gumamnya pelan, menatap refleksi dirinya. “Dan perutku, kenapa terasa begah terus, padahal belum makan banyak?”
Ia menatap mangkuk-mangkuk kosong di sekelilingnya, lalu meraih satu lagi kue wijen dan memasukkannya ke mulut. Tapi kali ini, setelah dua gigitan, ia berhenti. Alisnya berkerut.
“Ba... Bagaimana mungkin. Aku sudah makan hampir dua kali lipat porsi biasanya dan aku masih merasa lapar.”
Pikiran aneh muncul di benaknya. Dengan cepat, ia memindahkan makanan ke samping dan mengangkat pergelangan tangannya, lalu meletakkan dua jari di titik nadi. Ia memejamkan mata, merasakan denyutan ritmis yang tak biasa.
Deg.
Sun Yu Yuan membuka mata lebar-lebar. Wajahnya memucat. “T... Tidak mungkin...”
Ia memeriksa kembali. Kali ini dengan lebih cermat. Tak salah lagi. Nadi yang ia rasakan... adalah nadi dua nyawa. Tanda klasik seorang wanita yang sedang mengandung.
Ia menatap tangannya sendiri, napas tercekat. “Aku... hamil...?”
Ia menunduk memegang perutnya yang masih rata. “Astaga, kenapa sekarang?”
Kegelisahan mulai melingkupi dadanya. Ia bangkit berdiri, mondar-mandir di ruangan sempit itu. Matanya menatap pintu dengan waspada, seolah-olah para tetua desa akan menerobos masuk dan menuduhnya berbohong soal jati dirinya.
“Tidak... aku tidak bisa tinggal di sini lebih lama. Jika perutku mulai membesar, semua orang akan tahu aku bukan lelaki!”
Ia menggigit bibirnya, menahan kepanikan. “Aku harus segera pergi. Menemukan tempat yang aman.”
Tangannya meremas baju di bagian dada, napasnya mulai memburu.
“Dan... bagaimana ini bisa terjadi? Aku bahkan belum tahu pasti siapa...” Ia terdiam, mata melebar.
Bayangan wajah seorang pria muncul jelas di benaknya. Tatapan dan lidah tajam. Liang Si Wei. “Astaga,kenapa aku bisa lupa dengan lelaki gila itu, kenapa produk nya sangat tokcer? Apakah bibit nya, bibit unggul?”
Ia terduduk perlahan, memeluk lututnya. “Ini... tidak boleh terjadi sekarang. Tapi aku juga tak bisa membiarkan anak ini...”
Sun Yu Yuan menunduk dalam, matanya terpejam. Perlahan, ia meletakkan tangannya di perutnya. Sebuah keputusan mulai terbentuk di benaknya. “Maafkan Ibu, Nak... kita harus berjuang sendirian mulai sekarang.”
Dan dengan itu, ia mulai berkemas, bersiap meninggalkan desa. Lagipula ia sudah disini selama sebulan, sesuai dengan keinginan nya untuk mengembara.
Matahari belum tinggi saat Sun Yu Yuan, berdiri di depan balai desa, mengenakan pakaian pria sederhana berwarna biru tua. Di sampingnya, seekor kuda berdiri tenang, tali kekangnya digenggam erat.
Kepala Desa Han berdiri di hadapannya bersama beberapa penduduk, termasuk para pemuda dan gadis-gadis desa. Wajah mereka muram, terutama para gadis muda yang beberapa waktu terakhir kerap memberi alasan melewati kediaman nya hanya untuk sekadar melihat senyum Xie Yuan dari kejauhan.
“Kau yakin tak mau tinggal lebih lama, Xie Gongzi?” tanya Kepala Desa Han dengan nada penuh sayang. “Desa ini bisa memberimu tempat berlindung. Tak perlu terburu-buru pergi.”
Sun Yu Yuan tersenyum tipis dan membungkuk hormat. “Terima kasih, Kepala Desa. Semua kebaikan Anda dan warga desa... takkan pernah saya lupakan. Tapi saya tak bisa tinggal lebih lama. Saya akan menuju ke tempat selanjutnya.”
Kepala Desa Han mengangguk pelan, meski sorot matanya masih mengandung kekhawatiran. “Kalau begitu, bawalah ini. Bekal jalan. Dan sedikit uang dari kami semua. Bukan apa-apa, hanya bentuk terima kasih kami, karena kau banyak membantu kami yang sakit.”
Seorang pemuda menyerahkan bungkusan kecil berisi kue kering dan kantong kulit berisi uang perak. Sun Yu Yuan menerimanya, membungkuk dalam-dalam. “Terima kasih. Aku takkan melupakannya.”
Kepala Desa Han menghela napas pelan. Ia menepuk bahu Sun Yu Yuan pelan, seperti seorang ayah melepas anaknya. “Kalau begitu, jaga dirimu baik-baik, nak. Jalan di luar sana tidak selalu ramah.”
“Saya akan berhati-hati.”
Beberapa gadis desa menunduk kecewa, beberapa lainnya menyeka air mata. Mereka diam-diam menyukai kehadiran pemuda kalem itu, yang sopan, pandai menolong, dan punya senyum yang menenangkan.
Salah satu gadis muda, Lian Hua, memberanikan diri maju. Ia membawa sekuntum bunga liar yang baru dipetik dari tepi sungai. Tangan mungilnya sedikit gemetar saat mengulurkannya.
“Xie Yuan-ge... ini... untukmu,” ujarnya lirih. “Agar kau tak melupakan kami...”
Sun Yu Yuan terpaku sesaat, sebelum tersenyum lembut dan menerimanya. “Terima kasih, Lian Hua. Aku akan menyimpannya baik-baik.”
“Semoga kau kembali suatu hari nanti!”
Sun Yu Yuan berkata dengan lembut. “Jika takdir mengizinkan, mungkin suatu hari nanti aku akan kembali.”
“Kenapa kau tak tinggal saja dan menikah dengan salah satu dari kami?” seru seorang gadis lain, mencoba berseloroh tapi nadanya getir.
Penduduk lain tertawa pelan, meski senyum mereka tidak sepenuhnya tulus. Sun Yu Yuan hanya tersenyum, tapi dalam hati, “Aku ini wanita, mana bis menikah dengan wanita. Aneh,-aneh saja.”
Sun Yu Yuan menaiki kudanya dengan lincah. Tubuhnya masih terasa berat, tapi ia menyembunyikannya di balik gerakan mantap.
Dengan satu gerakan lembut, ia menarik tali kekang.
“Kuharap desa ini selalu damai,” katanya. “Jaga diri kalian baik-baik.”
“Kau juga!” sahut penduduk serempak.
Kuda itu perlahan melangkah meninggalkan desa. Di belakangnya, debu jalan berhamburan ringan, sementara beberapa gadis menatap punggung Sun Yu Yuan dengan sorot mata kehilangan.