Harry sama sekali tak menyangka, bahwa pacarnya yang selama ini sangat ia sayangi, ternyata justru menjalin hubungan dengan ayah kandungnya sendiri di belakangnya! Dan parahnya lagi, pacarnya itu adalah simpanan ayahnya sekaligus selingkuhan ibunya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Permainan Harry
Langkah kaki Raline terdengar tergesa memasuki apartemennya yang mewah, heels-nya mengetuk-ngetuk lantai marmer putih seperti mengiringi denyut jantungnya yang tak karuan. Pintu tertutup cepat di belakangnya, dan tanpa menyalakan lampu, ia langsung menjatuhkan tas ke sofa lalu meraih ponselnya kembali.
Layar ponsel yang tadi sempat mati kini kembali menyala, menampilkan notifikasi dari berbagai media sosial dan aplikasi berita. Judul-judulnya mencolok: "Pengusaha Besar Calvin Hartanto Diduga Selingkuh dengan Wanita Muda Berinisial R!"; "Siapa R Sebenarnya? Dugaan Skandal Baru di Lingkaran Keluarga Hartanto."
Raline membekap mulutnya, tubuhnya limbung seketika.
"Oh tidak… Ini benar-benar terjadi," lirihnya.
Ia menatap layar ponsel lebih dalam, membaca isi artikel yang belum terlalu jelas—namun cukup untuk membuat siapapun menduga-duga. Meski nama lengkapnya tidak disebut, inisial “R” dan berbagai petunjuk yang samar namun tajam itu bisa saja mengarah padanya. Lagi pula, semua orang terdekat Calvin pasti tahu siapa Raline.
Ia langsung tahu, ini pasti ulah Harry. Lelaki itu sudah terlalu jauh.
Tanpa pikir panjang, Raline membuka kontak Harry dan menekan ikon telepon dengan tangan gemetar. Ponsel terhubung setelah beberapa dering, dan suara lirih menggoda terdengar dari ujung sana—desahan seorang wanita.
"Ahh aahhh oouuhh ...."
Raline mematung. "Harry?" ucapnya dengan nada tinggi, mencoba menahan emosi. Suara itu jelas bukan hanya rekaman. Itu nyata.
"Oh… Raline?" suara Harry terdengar santai, nyaris malas. "Ada apa kamu telepon? Aku sedang sibuk sekarang."
Raline mengatupkan giginya kuat-kuat, nyaris menggertak. "Kamu… sudah sejauh ini? Kamu benar-benar sebegitu bencinya padaku, hah? Kamu sebarkan gosip menjijikkan itu, lalu kamu tidur dengan perempuan lain dan—dan kamu masih bisa bicara seakan-akan aku yang salah?"
Harry tertawa singkat, dingin. "Gosip? Bukankah gosip itu kadang benar kalau ditelusuri, Lin? Tapi... ini bukan waktunya kita bahas. Aku benar-benar sibuk. Jangan ganggu."
Klik.
Sambungan terputus. Raline mematung, kemudian berteriak frustasi sambil membanting ponselnya ke atas ranjang. Emosinya meledak-ledak. Ia jatuh terduduk di pinggir ranjang dengan napas tak beraturan. Tangannya mencengkeram rambut panjangnya sendiri.
Harry yang dulu ia kenal tak pernah seperti ini. Tapi sekarang? Dia berubah total. Dingin. Kejam. Dan menyebalkan.
Sebelum ia bisa mengatur napasnya kembali, ponselnya yang baru saja dibanting berdering lagi. Nama Daddy Calvin muncul di layar.
Raline sempat ragu menjawab. Tapi jika ia tak mengangkat, bisa saja keadaan jadi lebih buruk.
"Halo, Daddy?" suaranya lirih, penuh tekanan.
"Raline, kamu sudah lihat berita itu?" suara Calvin terdengar tergesa, gelisah, dan sedikit marah. "Apa-apaan ini? Siapa yang menyebarkan? Apa mereka menyebut nama lengkapmu?!"
"Belum… belum disebut," jawab Raline cepat. "Tapi... semua petunjuk seolah mengarah padaku. Ini pasti kerjaannya Harry…"
Calvin terdiam sesaat. "Dia sudah sejauh itu, ya?"
"Iya… dan Daddy, Harry tahu semuanya. Tentang kita." Suara Raline nyaris pecah.
"Tapi dia tidak punya bukti, kan?" tanya Calvin, terdengar lebih tenang meski jelas sedang berusaha menenangkan diri.
"Belum... aku nggak tahu. Tapi dia pasti punya rencana lebih besar, Daddy. Kita harus waspada." Raline bangkit dari tempat tidur, mulai berjalan mondar-mandir di dalam kamar. "Dia bilang gosip itu baru permulaan, dan sekarang dia bahkan tidur dengan perempuan lain hanya untuk menyakitiku."
Calvin menarik napas panjang. "Kamu tenang dulu. Aku akan cari tahu siapa yang pertama kali sebar berita ini. Dan kamu… pastikan kamu nggak terlihat di depan umum dulu, sampai semuanya mereda."
Raline mengangguk meski tak bisa dilihat. "Baik, Daddy…"
"Dan satu lagi. Jangan percaya siapa pun, bahkan teman terdekatmu. Harry bisa saja punya orang di sekelilingmu. Sekarang dia bukan anak kecil lagi—dia pemain."
Panggilan berakhir tak lama setelah itu. Raline menggenggam ponselnya erat, lalu menatap keluar jendela apartemennya yang menampilkan langit malam Jakarta yang gemerlap. Dunia luar tetap ramai, tetap hidup, seakan tak peduli bahwa hidupnya sedang diambang kehancuran.
Tapi dia tahu satu hal: ia tak bisa diam saja.
Kalau ini adalah permainan, maka Raline harus siap jadi pemain juga.
÷÷÷
Tawa pelan terdengar dari sudut ruangan bar yang remang-remang, diselingi suara musik jazz yang mengalun lembut di latar belakang. Harry memutus sambungan teleponnya dengan Raline, bibirnya menyunggingkan senyum puas yang tak bisa disembunyikan.
Ia memiringkan wajahnya, menatap Sandrina yang masih nyaman duduk di pangkuannya dengan anggun. Jemarinya yang panjang dan lentik menggenggam gelas minuman ringan yang telah setengah kosong.
"Bagus sekali, Sandrina," ucap Harry pelan, suaranya berat namun terdengar puas. "Terima kasih sudah membantuku tadi. Suara desahanmu cukup meyakinkan… Raline pasti terbakar emosi mendengarnya."
Sandrina menoleh dan tersenyum manis, lesung pipinya terlihat jelas di bawah pencahayaan hangat bar itu. "Sama-sama, Tuan Harry," ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata dengan genit. "Segala kemauanmu… adalah perintah bagiku. Aku akan selalu lakukan yang terbaik."
Harry mengusap lembut dagu Sandrina dengan ibu jarinya, lalu mengangguk. "Kamu memang sekretaris terbaik sekaligus partner paling menyenangkan," bisiknya sebelum mengangkat gelas miliknya.
Mereka pun bersulang pelan, dua gelas bening itu beradu ringan, menghasilkan denting kecil yang terdengar elegan di tengah suasana malam yang perlahan larut. Setelah meneguk minumannya, Harry menyandarkan diri ke sofa empuk sambil menatap layar ponselnya. Notifikasi terus bermunculan—dari media sosial, blog gosip, bahkan beberapa jurnalis mulai menghubunginya secara anonim.
"Semua mulai bereaksi, dan Calvin pasti sedang kalang kabut sekarang. Tapi... itu belum seberapa," gumam Harry sambil tertawa pelan.
Sandrina menyandarkan kepalanya di bahu Harry, memeluk lengannya dengan manja. "Apa kamu akan menyebarkan video itu, Pak Harry?"
Harry terdiam sejenak, memikirkan strateginya. "Belum. Biarkan saja dulu gosip itu menjadi racun perlahan yang merembes ke reputasi mereka. Saat semuanya mulai tenang, saat mereka mengira badai sudah berlalu… baru kuledakkan semuanya."
*
Di sisi lain kota, di dalam apartemennya yang kini terasa jauh lebih gelap dan dingin, Raline mondar-mandir dengan gelisah. Ponselnya sudah diisi daya dan kembali aktif, tapi satu hal kini membayanginya lebih dari apapun—video itu.
Ia baru mengingatnya beberapa menit setelah perdebatan panas lewat telepon barusan. Wajahnya pucat, dan jantungnya berdegup kencang. Bagaimana kalau Harry menyebarkannya? Bagaimana kalau dia mengunggahnya ke media sosial atau mengirimkannya ke para wartawan?
"Astaga… tidak, tidak, tidak…" Raline memegangi kepala sambil duduk di ujung ranjang. "Itu bisa menghancurkan segalanya… karierku, nama keluargaku… Daddy…"
Ia mencoba membuka galeri ponselnya, mencari video atau file apa pun yang mungkin sempat dikirimkan Harry dulu, namun nihil. Tidak ada satu pun. Tentu saja Harry menyimpannya di tempat yang hanya ia yang tahu—dan pasti dijaga dengan rapi.
Raline menggigit bibirnya, berpikir cepat. Haruskah ia temui Harry? Memohon padanya untuk tidak menyebarkan video itu? Tapi… mengingat suara wanita tadi, Harry sudah jelas tak ingin berdamai.
Tak ada pilihan lain.
Raline harus mencari cara untuk mendapatkan video itu. Ia tidak bisa membiarkan hidupnya dikendalikan oleh ancaman. Ia pun membuka pesan dan mulai mengetik sesuatu untuk seseorang—seseorang yang mungkin bisa membantunya diam-diam.
"Aku butuh bantuanmu. Ini soal hidup dan matiku."
Setelah mengirim pesan itu, Raline menarik napas dalam-dalam. Air mata menggenang di sudut matanya, bukan hanya karena takut, tapi karena hatinya benar-benar hancur. Dikhianati oleh Harry, dimanfaatkan oleh Calvin, dan kini harus menghadapi semuanya seorang diri.
Tapi satu hal yang pasti—ia takkan membiarkan dirinya kalah. Tidak kali ini. Tidak dengan begitu banyak hal yang bisa dipertaruhkan. Dan jika Harry ingin perang… maka ia akan mendapatkannya.