Di kehidupan sebelumnya, Duchess Evelyne von Asteria adalah wanita paling ditakuti di kerajaan. Kejam, haus kekuasaan, dan tak ragu menyingkirkan siapa pun yang menghalangi jalannya. Namun, semuanya berakhir tragis. Pengkhianatan, pedang yang menembus perutnya yang tengah mengandung besar itu mengakhiri segalanya.
Namun, takdir berkata lain. Evelyne justru terbangun kembali di usia 19 tahun, di mana ia harus menentukan jodohnya. Kali ini, tekadnya berbeda. Bukan kekuasaan atau harta yang ia incar, dan bukan pula keinginan untuk kembali menjadi sosok kejam. Dia ingin menebus segala kesalahannya di kehidupan sebelumnya dengan melakukan banyak hal baik.
Mampukah sang antagonis mengubah hidupnya dan memperbaiki kesalahannya? Ataukah bayangan masa lalunya justru membuatnya kembali menapaki jalan yang sama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Sang Duchess Kejam
Di sebuah kerajaan yang makmur dan sejahtera, beredar mitos tentang Dewa Permohonan. Setiap orang berhak memohon satu permintaan kepada sang Dewa, meski hasilnya tak akan tampak dalam sekejap mata. Namun, orang-orang amat percaya akan mitos tersebut.
Clep!
Sebuah pedang menembus dada seseorang, langsung menusuk jantungnya. Semua mata yang menyaksikan kejadian itu terbelalak, tetapi tak ada yang berani bersuara. Mereka hanya bisa menatap orang yang melempar pedang itu dengan perasaan takut.
“Dasar sampah!” umpat orang tersebut. Ia melangkah dengan tenang, seolah tak pernah melakukan kesalahan, lalu menggenggam kembali pegangan pedangnya dan menariknya keluar. Darah segar menyembur deras, dan sosok yang terkena pedang itu tumbang seketika.
Dialah Evelyne von Astria, seorang Duchess dari salah satu dari tiga keluarga pendiri kerajaan. Keluarga Astria dikenal memiliki ilmu magis dalam menyembuhkan orang.
“Orang sekarat, cara tercepat menyembuhkannya adalah mati!” ucap Evelyne dengan senyum mengerikan. Matanya menyapu sekeliling, menatap tajam orang-orang yang masih terpaku ketakutan.
Hari itu, kerajaan sedang menggelar festival penyembahan kepada Dewa Permohonan. Semua warga berkumpul untuk memohon berkah dari sang Dewa. Evelyne pun turut hadir, tetapi ucapannya berubah menjadi malapetaka. Seseorang berani menyebutnya pembantai, dan amarahnya pun meledak. Di hari suci itu, ia mengotori tanah dengan darah.
“Duchess Astria! Apa yang Anda lakukan?!” Suara seorang pria bergaung di tengah kerumunan.
Evelyne melirik malas. “Heeh, Raja. Kau belum mati juga?” gumamnya dengan nada mengejek.
“K-kau!” Sang Raja mengepalkan tangannya, matanya dipenuhi kemarahan. Selama dua tahun terakhir, ia menderita penyakit aneh yang tak bisa disembuhkan oleh tabib mana pun.
Sejak ratusan tahun lalu, tugas penyembuhan keluarga kerajaan memang diamanatkan kepada keluarga Astria. Namun kini, tidak lagi. Evelyne tak pernah menundukkan kepalanya pada siapa pun sejak ibunya meninggal karena permainan licik di dalam kediaman Duke Astria.
Hatinya telah mati. Ia tak lagi bisa membedakan mana yang benar dan salah. Bagi Evelyne, siapa pun yang berani menentangnya berarti ingin merasakan pedangnya menembus tubuh mereka.
“Bukankah ini pengkhianatan?” bisik salah satu warga dengan suara gemetar.
Sang Raja tetap tak berkutik. Bukan karena ia tak ingin menyingkirkan Evelyne yang angkuh dan kejam, tetapi karena ia tak bisa. Evelyne adalah satu-satunya keturunan Astria yang masih hidup. Jika ia terbunuh, harapan akan sirna, dan kutukan mengerikan akan menimpa seluruh kerajaan.
Di dekat Raja, seorang pria berjubah berdiri tegap. Wajahnya tertutup berewok dan kumis lebat, rambutnya panjang hingga sepinggang. Ia tampak seperti seorang barbar, tetapi julukannya adalah Pedang Kerajaan, sang penjaga perbatasan yang tak terkalahkan. Dialah Piter von Zisilus, seorang jenius pedang yang terhormat dan disegani.
Selain itu, Piter juga pemimpin dari salah satu tiga keluarga pendiri kerajaan. Sebagai Duke Zisilus, ia dikenal sebagai ahli strategi dan pemimpin yang brilian.
“Haaah, kau diam saja, Piter?” sindir Evelyne. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Evelyne tak pernah bersinggungan dengan keluarga Zisilus karena jasa besar mereka di masa lalu.
Trang!
Suara pedang keluar dari sarungnya.
Evelyne menatap Piter tanpa ekspresi. Wajahnya sulit ditebak saat pria itu melangkah maju, menyeret pedang besarnya di atas tanah berbatu.
“Apa yang kau mau, Eve?” tanya Piter, suaranya bergetar hebat.
Mata Evelyne memerah, giginya bergetar, dan wajahnya menampakkan kemarahan bercampur dengan sesuatu yang lain, sebuah rasa sakit yang tak terlukiskan.
“Bangsat! Kau yang melakukannya, kan?!” pekik Evelyne, suaranya sarat dengan kesedihan. Bahkan semua orang terkejut
Semua orang terdiam. Bahkan sang Raja pun terkejut.
Evelyne melemparkan sarung pedangnya, memperlihatkan bilah tajam yang sanggup menebas kepala siapa pun tanpa ampun.
“Sadarlah, Eve!” teriak Piter akhirnya.
Tiba-tiba, hujan turun deras. Warga berlarian mencari tempat berteduh, menyisakan tiga sosok yang tetap berdiri di tengah lapangan—Evelyne, Piter, dan sang Raja.
“KAU yang mengambil kesucianku! KAU yang membuatku seperti ini! KAU, bedebah, Piter!!”
Evelyne berteriak dengan suara mengguncang langit, seiring petir yang menyambar keras.
Sang Raja terpaku, menatap bergantian antara Piter dan Evelyne. Pengawal datang menawarkan payung, tetapi Raja menolaknya.
Piter menghela napas berat. “Aku memang tak dapat dimaafkan… Aku juga tak bisa mengubah segalanya. Tapi, Eve… Aku hanya berharap kau tidak membenci anak di perutmu.”
JEDAR!
Suara petir menyambar langit.
Sang Raja membelalakkan mata. Anak?
Seluruh kerajaan tahu bahwa Evelyne pernah menikah, tetapi di malam pernikahannya, ia membunuh suaminya sendiri. Sejak saat itu, ia tak pernah berdekatan dengan siapa pun.
Sedangkan Piter… Baginya, Piter adalah pria yang tak pernah peduli pada lawan jenis. Sang Raja tak pernah melihatnya menunjukkan ketertarikan pada siapa pun.
Namun, hari ini…
Sang Raja menyaksikan kenyataan yang tak pernah ia bayangkan. Sebuah rahasia besar yang tersembunyi di balik darah dan pengkhianatan.
“Aku memang pantas mati,” bisik Piter, lalu ia mengangkat pedangnya dan menaruhnya di lehernya sendiri.
Mata Evelyne dan sang Raja melebar.
Cret!
Krek!
Duk!
Piter mengakhiri hidupnya sendiri.
Evelyne terengah-engah, menatap kepala Piter yang kini tergeletak di hadapannya.
Sang Raja terdiam, lalu pingsan akibat terkejut.
“Aaaaaaaaaaa!!”
Teriakan Evelyne menggema, menusuk hati siapa pun yang mendengarnya. Jika bukan karena nyawa lain yang dikandungnya, mungkin ia sudah menyusul Piter saat itu juga.
Hujan semakin deras. Beberapa pengawal istana akhirnya datang. Dengan langkah gontai, Evelyne mendekati jenazah Piter.
Di tangan pria itu, ada selembar kertas permohonan dari upacara pagi tadi. Evelyne meraihnya dengan tangan gemetar dan membaca isinya.
AKU BERHARAP EVE DAPAT BAHAGIA.
Tetesan air mata jatuh di atas kertas itu.
Dan untuk pertama kalinya, Evelyne menangis.
.
.
Setelah kejadian hari itu, Evelyne mengurung diri di kamar. Setiap hari dia dihantui rasa penyesalan, wajah cantiknya kini tampak pucat. Dia makan seadanya dan menangis, lalu kembali tertidur.
Itulah yang dia lakukan setiap harinya, hingga suatu hari sebuah kabar mengantarkan Evelyne keluar dari kediamannya. Kabar di mana sang Raja dinyatakan sakit parah dan hampir sekarat.
Dengan kereta kudanya dia datang ke istana, perutnya saat itu sudah membesar. Semua mata tertuju pada Evelyne, dan dia langsung menghadap ke arah kamar sang Raja.
“Duchess saya mohon, selamatkan suami saya hiks hiks,” Tangis seorang wanita cantik jelita, dia adalah Ratu Kerjaan saat ini.
“Semua orang keluar, Ratu kau tinggal disini!” Perintah Evelyne dan duduk di hadapan sang Raja yang saat ini terbaring di atas ranjangnya.
Akhirnya semua orang keluar, Evelyne menghela nafasnya perlahan dia mengulurkan kedua tangannya ke atas tubuh sang Raja. Evelyne menutup matanya hingga cahaya hijau keemasan keluar dari telapak tangannya.
Cahaya itu kian membesar dan terang hingga menyelimuti seluruh tubuh sang Raja. Sang Raja perlahan membuka kedua matanya dan menggerakkan tangannya.
“Evelyne!” Teriak sang Raja.
Clep!
Sebuah pedang menancap di perut buncit Evelyne, matanya seketika membulat, nafasnya tertahan dan hingga pedang itu kembali ada yang mencabut dan darah keluar dengan hebatnya dari perut Evelyne.
“Penjaga!” Teriak sang Raja, dan masih terdengar oleh Evelyne. Raja juga tampak menahan perut Evelyne yang mengeluarkan banyak darah.
“Tolong, selamatkan anakku.” Ucap Evelyne dalam nafas terakhirnya, sang Raja membulatkan matanya dan langsung mengambil pedang dan menodongkannya pada sosok di belakang tubuh Evelyne. Yang tak lain dan tak bukan adalah sang Ratu.
.
.
.
“Haaa.. haa.. haa… haah…” Suara nafas terengah terdengar begitu sakit, seorang gadis cantik dengan rambut keemasan bangun dari tidurnya dia langsung menekan perutnya dan tersentak kaget kemudian.
“Anakku?” Ucapnya dan langsung memutar mata ke arah sekeliling, nampak sunyi dan sebuah kamar mewah kini ditempatinya.