NovelToon NovelToon
The Stoicisme

The Stoicisme

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Berbaikan
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Wahyudi0596

Shiratsuka mendecak, lalu membaca salah satu bagian esai yang ditulis Naruto dengan suara pelan tetapi jelas:

"Manusia yang mengejar kebahagiaan adalah manusia yang mengejar fatamorgana. Mereka berlari tanpa arah, berharap menemukan oase yang mereka ciptakan sendiri. Namun, ketika sampai di sana, mereka menyadari bahwa mereka hanya haus, bukan karena kurangnya air, tetapi karena terlalu banyak berharap."

Dia menurunkan kertas itu, menatap Naruto dengan mata tajam. "Jujur saja, kau benar-benar percaya ini?"

Naruto akhirnya berbicara, suaranya datar namun tidak terkesan defensif. "Ya. Kebahagiaan hanyalah efek samping dari bagaimana kita menjalani hidup, bukan sesuatu yang harus kita kejar secara membabi buta."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyudi0596, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 1

Ruang BK selalu memiliki atmosfer yang khas—terisolasi dari hiruk-pikuk kelas, sunyi, tetapi penuh ketegangan yang mengendap di udara. Naruto duduk dengan postur santai, satu kaki menyilang di atas yang lain, sementara Hiratsuka -sensei berdiri di dekat jendela, menatap ke luar sejenak sebelum akhirnya berbalik menghadapnya.

Di atas meja, esai Naruto terbuka, penuh dengan tinta merah. Namun, bukan karena kesalahan teknis, melainkan komentar-komentar panjang yang lebih mirip peringatan ketimbang koreksi.

"Kau membuatku pusing, Uzumaki."

Hiratsuka -sensei menghela napas, mengangkat kertas itu dan melambai-lambaikannya sedikit. "Aku sudah membaca esaimu tiga kali. Dan aku masih tidak tahu apakah seharusnya aku memberimu nilai sempurna atau memanggil wali kelasmu untuk membahas isi kepalamu."

Naruto tidak merespons langsung. Ia hanya memiringkan kepalanya sedikit, menunggu kalimat berikutnya.

Shiratsuka mendecak, lalu membaca salah satu bagian esai yang ditulis Naruto dengan suara pelan tetapi jelas:

"Manusia yang mengejar kebahagiaan adalah manusia yang mengejar fatamorgana. Mereka berlari tanpa arah, berharap menemukan oase yang mereka ciptakan sendiri. Namun, ketika sampai di sana, mereka menyadari bahwa mereka hanya haus, bukan karena kurangnya air, tetapi karena terlalu banyak berharap."

Dia menurunkan kertas itu, menatap Naruto dengan mata tajam. "Jujur saja, kau benar-benar percaya ini?"

Naruto akhirnya berbicara, suaranya datar namun tidak terkesan defensif. "Ya. Kebahagiaan hanyalah efek samping dari bagaimana kita menjalani hidup, bukan sesuatu yang harus kita kejar secara membabi buta."

Hiratsuka tertawa kecil, meskipun ada nada frustasi di dalamnya. "Kau baru berapa? Enam belas? Tujuh belas? Dan kau sudah berbicara seperti seorang filsuf tua yang telah melihat dunia terlalu lama."

Naruto mengangkat bahu. "Usia tidak selalu menentukan kedewasaan berpikir, Sensei."

Hiratsuka menatapnya lama, sebelum akhirnya berjalan menuju kursinya, duduk dengan sikap yang lebih rileks. Dia menyandarkan punggungnya, menyilangkan tangan di dada.

"Dengar, Uzumaki, aku tidak akan menyangkal bahwa pemikiranmu menarik. Bahkan, aku harus mengakui kalau beberapa bagian esaimu lebih dalam daripada kebanyakan tulisan anak-anak seusiamu. Tapi…" Dia mengetuk kertas itu pelan. "Pemikiran seperti ini bisa membuat orang lain melihatmu sebagai seseorang yang terlalu dingin, terlalu lepas dari realitas sosial."

Naruto menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela. "Jika mereka menilai sesuatu tanpa mencoba memahaminya, apakah itu masih menjadi masalahku?"

Hiratsuka tersenyum miring. "Itulah masalahnya. Kau tidak peduli dengan bagaimana dunia menilaimu."

Naruto diam sebentar, lalu menoleh kembali ke gurunya. "Apakah saya seharusnya peduli?"

Hening sesaat.

Hiratsuka akhirnya menghela napas panjang. "Tidak sepenuhnya. Tapi kau juga tidak hidup dalam ruang hampa, Naruto. Kau mungkin bisa mengendalikan bagaimana kau bereaksi terhadap dunia, tapi dunia tetap akan meresponsmu dengan caranya sendiri."

Naruto berpikir sejenak. "Jadi menurut Sensei, saya harus menyesuaikan diri dengan ekspektasi orang lain?"

"Tidak, bukan begitu." Hiratsuka mengetuk meja dengan jarinya, seolah mencari cara terbaik untuk menjelaskan. "Aku hanya ingin kau menyadari bahwa pemikiran seperti ini bisa menempatkanmu dalam posisi yang sulit, terutama dalam interaksi sosial."

Naruto tersenyum kecil. "Saya sudah terbiasa dengan itu."

Hiratsuka menghela napas lagi, lebih panjang kali ini. Dia lalu berdiri, merapikan tumpukan kertas di mejanya. "Aku tidak akan meminta kau mengubah cara berpikirmu, Uzumaki. Tapi aku ingin kau setidaknya memahami bahwa ada cara untuk menjalani prinsipmu tanpa harus menjauh dari dunia."

Naruto bangkit dari kursinya, memasukkan tangannya ke dalam saku. "Saya selalu memahami dunia, Sensei. Saya hanya memilih untuk tidak terlalu bergantung padanya."

Hiratsuka menatapnya lama, sebelum akhirnya mengangkat bahu. "Terserah kau. Tapi jangan kaget kalau suatu hari nanti, dunia ini menantangmu lebih dari yang kau perkirakan."

Naruto hanya tersenyum tipis sebelum melangkah keluar ruangan, meninggalkan Hiratsuka -sensei dengan esainya yang masih terbuka di meja.

Dan untuk pertama kalinya, guru itu bertanya-tanya apakah ia baru saja berbicara dengan muridnya… atau dengan seseorang yang telah memahami dunia lebih baik darinya.

Saat Naruto hampir mencapai pintu, tangan Hiratsuka refleks meraih pena di meja, mengetuknya pelan ke permukaan kayu. Pikirannya masih terpaku pada diskusi mereka barusan.

Tiga murid.

Semuanya kaku.

Semuanya punya cara unik dalam memahami dunia.

Dan semuanya… terlalu sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Hikigaya Hachiman.

Pesimistik, sinis, dan terlalu tajam dalam menilai manusia.

Yukinoshita Yukino.

Perfeksionis, dingin, dan memiliki ekspektasi terlalu tinggi terhadap dunia.

Yuigahama Yui.

Ceria, tapi kurang mampu menyuarakan isi hatinya dengan jelas.

Lalu… Naruto Uzumaki.

Seorang pemikir stoik, tetapi dengan sentuhan optimisme yang unik.

Hiratsuka membayangkan keempatnya dalam satu ruangan.

—Hachiman akan mencibir dan mengatakan sesuatu tentang "usaha tidak selalu membuahkan hasil."

—Yukino akan melipat tangannya dan membantah setiap pandangan yang tidak sesuai dengan prinsipnya.

—Yui mungkin akan berusaha mencairkan suasana, tapi tetap saja kesulitan.

—Dan Naruto…

Naruto mungkin akan mendengarkan dengan tenang, lalu merespons dengan sudut pandang yang membingungkan mereka semua.

Tapi itu bukan hal buruk.

Bahkan, jika ada seseorang yang bisa memberikan perspektif yang cukup berbeda untuk memecah kebuntuan di klub itu… bukankah itu dia?

Dia bisa membayangkan interaksi pertama mereka:

Hachiman dan Yukino akan mempertanyakan eksistensinya di klub.

Naruto hanya akan mengangkat bahu dan berkata, "Sensei menyuruhku ke sini. Aku hanya menjalani hidup."

Hiratsuka menyeringai kecil.

Akan jadi apa klub itu kalau Naruto bergabung?

Akan jadi kacau? Atau justru berkembang dengan cara yang tidak terduga?

Mungkin ini bukan hanya tentang membantu Naruto.

Mungkin ini juga tentang membantu yang lain—dan klub itu sendiri.

Dengan pemikiran itu, dia akhirnya bersuara.

"Tunggu sebentar, Naruto."

Naruto berhenti, menoleh dengan ekspresi datarnya.

Hiratsuka menyilangkan tangan. "Aku punya ide. Kau tertarik bergabung dengan sebuah klub?"

Naruto berhenti tepat di depan pintu, menoleh sedikit ke belakang. Matanya yang biasanya tenang kini menatap Hiratsuka dengan rasa ingin tahu samar.

"Klub?" suaranya terdengar datar, seolah hanya mengulang kata itu untuk memastikan.

Hiratsuka mengangguk, menyandarkan punggungnya ke kursi dengan ekspresi serius. "Ya. Klub Relawan. Isinya tidak banyak, hanya tiga orang. Tapi, aku ingin melihat sesuatu."

Naruto tetap diam, menunggu kelanjutannya.

Hiratsuka menghela napas pelan, menatap Naruto dengan penuh pertimbangan. "Kau bicara banyak soal prinsip. Bagaimana manusia tidak perlu mengejar kebahagiaan. Bagaimana kita harus menerima dunia sebagaimana adanya. Dan bagaimana kau, dalam semua itu, tetap bisa berjalan tanpa terpengaruh."

Dia mengetukkan jarinya ke meja, ekspresinya sedikit mengeras. "Tapi sejauh mana prinsip itu bisa diterapkan dalam kehidupan nyata? Apakah itu hanya berguna untukmu sendiri, atau bisa juga membantu orang lain?"

Naruto menatapnya sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Jika prinsip itu hanya bekerja untukku, apakah itu masalah?"

Hiratsuka tersenyum miring. "Itu berarti kau tidak lebih baik dari orang-orang yang hanya hidup untuk dirinya sendiri. Kau mungkin tidak egois, tapi kau juga tidak berarti bagi siapa pun."

Naruto terdiam.

Hiratsuka melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih dalam. "Aku ingin kau membuktikan sesuatu. Jika prinsip yang kau pegang memang sekuat yang kau katakan, maka kau harus bisa bertahan di dalam klub itu. Kau harus bisa berinteraksi, menghadapi orang-orang dengan masalahnya sendiri. Dan lebih dari itu—apakah prinsipmu bisa membantu mereka? Apakah itu masih relevan di tengah masyarakat?"

Dia menatap Naruto dengan intens, seolah ingin memastikan kata-katanya benar-benar masuk ke dalam pikirannya. "Ini ujian. Bukan hanya untukmu, tapi juga untuk ideologi yang kau pegang."

Naruto akhirnya menghela napas pelan, memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Matanya masih menunjukkan ketenangan, tapi ada sedikit kilatan dalam tatapannya.

"Menarik."

Hiratsuka menaikkan satu alis. "Jadi kau akan mencobanya?"

Naruto tersenyum kecil. "Tidak ada salahnya melihat bagaimana dunia bereaksi terhadap prinsip yang kupegang."

Hiratsuka tersenyum puas. "Bagus. Klub itu ada di ruang kelas kosong di lantai dua. Datanglah setelah sekolah."

Naruto mengangguk, lalu membuka pintu, melangkah keluar tanpa banyak kata lagi.

Hiratsuka memperhatikannya hingga dia menghilang di balik pintu, lalu menyandarkan kepalanya ke kursi sambil menghela napas.

"Sekarang kita lihat… apakah si bocah stoik ini bisa bertahan di tengah kekacauan itu."

Naruto melangkah menyusuri koridor sekolah dengan tenang, tanpa terburu-buru, menuju ruang klub yang disebutkan oleh Hiratsuka-sensei. Cahaya matahari sore menerobos jendela, menyorot ke lantai dengan bias keemasan. Hiruk-pikuk siswa yang masih berada di sekolah mulai mereda, hanya menyisakan beberapa suara percakapan samar dan langkah kaki yang menggema di sepanjang lorong.

Setibanya di depan pintu, Naruto berhenti sejenak. Suasana di dalam ruangan terasa sunyi, seakan waktu berjalan lebih lambat di sana. Dia mengetuk sekali sebelum mendorong pintu terbuka.

Begitu pintu terbuka, tiga pasang mata langsung tertuju padanya.

Di ujung meja panjang, seorang gadis dengan rambut hitam panjang yang jatuh dengan sempurna ke pundaknya menatapnya dengan ekspresi tajam dan penuh evaluasi. Matanya biru seperti kristal es yang memantulkan ketidakpedulian. Yukinoshita Yukino.

Di seberangnya, seorang pemuda dengan rambut hitam acak-acakan, duduk dengan sikap malas, lengan bersedekap dan tatapan kosong. Seolah kehadiran Naruto hanyalah satu lagi gangguan dalam hidupnya yang sudah cukup melelahkan. Hikigaya Hachiman.

Dan yang terakhir, seorang gadis dengan rambut jingga terang yang dikuncir setengah. Mata cokelatnya membulat sedikit, menunjukkan kejutan sekaligus rasa penasaran. Yuigahama Yui.

Suasana di dalam ruangan mendadak berubah menjadi canggung. Tidak ada yang langsung berbicara, seolah kedatangan Naruto bukanlah hal yang mereka antisipasi.

Yukino akhirnya membuka suara pertama. "Ada keperluan apa kau di sini?"

Nada suaranya datar, nyaris dingin. Jelas bahwa dia bukan tipe yang menyambut orang asing dengan hangat.

Naruto tidak langsung menjawab. Dia menutup pintu di belakangnya dengan pelan, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Matanya yang tajam menelusuri ruangan sebentar sebelum akhirnya kembali menatap Yukino.

"Hiratsuka-sensei menyuruhku bergabung. Katanya ini ujian."

Sekali lagi, keheningan menyelimuti ruangan.

Hachiman adalah orang pertama yang bereaksi, mendecih pelan sambil menggelengkan kepala. "Sensei benar-benar asal dalam mengambil keputusan," gumamnya sinis. "Apa dia pikir klub ini eksperimen sosial atau semacamnya?"

Sementara itu, Yuigahama justru bereaksi sebaliknya. Matanya berbinar, dan dia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. "Serius? Jadi sekarang kita punya anggota baru?"

Naruto meliriknya sebentar sebelum kembali menatap Yukino, yang masih diam, memandangnya seakan sedang menimbang sesuatu.

"Aku tidak keberatan berada di sini, selama kalian tidak menggangguku terlalu banyak," lanjut Naruto, suaranya tetap tenang.

Yukino menatapnya beberapa detik lebih lama, seolah sedang membaca Naruto lebih dalam.

Akhirnya, dia menghela napas kecil. "Kalau begitu, kita lihat saja apakah kau benar-benar berguna atau hanya membuang waktuku."

Naruto tetap diam, tidak menunjukkan tanda-tanda terganggu. Dia hanya mengangkat bahu sedikit. "Itu juga bagian dari ujiannya, bukan?"

Di sisi lain, Hachiman menatap Naruto dengan ekspresi skeptis. "Aku penasaran, seberapa lama kau akan bertahan di sini."

Naruto menoleh ke arahnya, matanya tetap netral, lalu mengangkat alis sedikit sebelum menjawab dengan nada santai, "Itu tergantung. Apakah klub ini cukup menarik untuk membuatku tetap tinggal?"

Hachiman hanya menghela napas, mengalihkan tatapannya ke jendela seolah percakapan ini sudah cukup membuang energinya. "Yah, semoga kau tidak menyesal."

Di sisi lain, Yuigahama tampak lebih bersemangat. "Aah, aku senang klub kita bertambah anggota! Selamat datang, Naruto!"

Untuk pertama kalinya sejak dia memasuki ruangan ini, Naruto melihat seseorang yang tampak benar-benar menerima keberadaannya tanpa pertanyaan atau keraguan. Dia menatap Yuigahama sejenak sebelum akhirnya mengangguk ringan.

"Ya. Terima kasih."

Meskipun percakapan sudah selesai, suasana di dalam ruangan masih terasa agak kaku. Tiga orang dengan kepribadian yang begitu berbeda kini harus berbagi ruang dan tujuan yang sama.

Naruto menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap ke luar jendela.

Hiratsuka-sensei menyebut ini sebagai ujian.

Tapi kini, dia mulai bertanya-tanya—apakah yang benar-benar diuji adalah dirinya? Ataukah orang-orang di dalam ruangan ini?

Suasana di ruang klub masih terasa canggung setelah Naruto memperkenalkan dirinya sebagai anggota baru. Udara sore yang masuk melalui jendela terbuka sedikit membantu mengurangi ketegangan, tapi tak cukup untuk mengusir keheningan yang menggantung.

Yuigahama adalah yang pertama memecah keheningan. Dia menggeser tubuhnya sedikit lebih dekat ke meja, lalu bertanya pada Naruto dengan suara penuh rasa ingin tahu, "Eeh, tapi kenapa sih Hiratsuka-sensei tiba-tiba ngasih ujian buat masuk klub ini?"

Naruto meliriknya sebentar, lalu mengangkat bahu. "Sensei ingin tahu apakah prinsip hidupku bisa berguna untuk orang lain atau hanya untuk kepuasan diriku sendiri."

Jawabannya singkat, tapi memiliki bobot yang cukup berat.

Hachiman, yang sejak tadi bersandar malas di kursinya, menghela napas kecil sebelum menyeringai sinis. "Hah... jadi kau semacam eksperimen sosial sekarang?"

Nada bicaranya jelas mencibir. "Menarik juga. Kita lihat saja apakah filosofi besar hidupmu itu bisa menyelamatkan orang-orang di dunia nyata, atau cuma jadi alasan agar kau terlihat keren sendiri."

Yukino menambahkan dengan nada datarnya yang khas. "Kalau itu memang alasanmu, maka aku ragu kau akan bertahan lama di sini."

Naruto menoleh padanya. Mata gadis itu tetap dingin, penuh penilaian, seakan dia sudah bisa melihat hasil dari ujian ini sebelum semuanya dimulai.

"Prinsip yang hanya berfungsi untuk diri sendiri tidak lebih dari sekadar ilusi. Jika kau percaya sesuatu hanya karena itu cocok dengan hidupmu sendiri, maka itu tidak ada bedanya dengan sekadar egoisme."

Kata-kata Yukino seakan menyudutkan Naruto. Tapi dia tetap tenang. Tidak ada perubahan dalam ekspresinya, tidak ada tanda bahwa dia tersinggung atau terpancing.

Sementara itu, Yuigahama menggigit bibirnya pelan. Dia menoleh ke arah Naruto, lalu ke Yukino dan Hachiman, terlihat sedikit gelisah. Seakan dia ingin membela Naruto, tapi tidak tahu harus mengatakan apa.

Setelah beberapa detik keheningan, Naruto akhirnya menjawab.

"Kalau begitu, mari kita lihat apakah aku memang egois atau tidak."

Nada suaranya tetap tenang, tapi ada sedikit tantangan di dalamnya.

Yukino hanya mendesah kecil, lalu kembali menatap tumpukan kertas di depannya, seolah diskusi ini sudah selesai baginya.

Hachiman mendecih lagi. "Heh, sepertinya ini akan menarik."

Sementara Yuigahama, meskipun masih terlihat ragu, akhirnya mengangkat kepalan tangannya dengan semangat. "Ayo lakukan yang terbaik bersama, Naruto!"

Naruto menoleh ke arahnya, lalu mengangguk ringan. "Ya, aku akan mencobanya."

Meski baru saja bergabung, dia sudah mendapat tantangan langsung dari dua anggota klub ini.

Tapi bukankah itu yang diinginkan oleh Hiratsuka-sensei? Sebuah ujian yang nyata.

Naruto menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap mereka satu per satu.

Ujian ini baru saja dimulai.

1
Tessar Wahyudi
Semoga bisa teruss update rutin, gak apa-apa satu hari satu chapter yang penting Istiqomah. semangat terus.
Eka Junaidi
saya baca ada yang janggal, seperti ada yang kurang. coba di koreksi lagi di chapter terakhir
Nekofied「ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ」
untung bukan sayaka 🗿
Tessar Wahyudi: ah nanti terjawab seiring cerita berjalan
Nekofied「ᵛᵉʳᶦᶠᶦᵉᵈ」: walaupun masih bingung 🗿 mc nya renkarnasi atau bukan
total 3 replies
Eka Junaidi
Masih dipantau, semoga gak macet seperti karya lainnya. atau semoga semuanya bakal di lanjutkan lagi.
Eka Junaidi
Itu sinar matahari pagi atau sore, kok dia akhir Naruto menemukan dokumen Yamato hanya dalam waktu satu jam setengah. jika Naruto Dateng pagi jam setengah enam, setidaknya waktu baru menunjukkan pukul tujuh pagi. jadi itu adalah typo.
Eka Junaidi
mantap, semangat nulisnya bro
anggita
like👍pertama... 👆iklan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!