Wanita introvert itu akhirnya berani jatuh cinta, namun takut terlalu jauh dan memilih untuk berdiam, berdamai bahwa pada akhirnya semuanya bukan berakhir harus memiliki. cukup sekedar menganggumi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NRmala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memilih diam
“Lauraaaa...” Teriak seseorang dan melambai di belakang Laura. Laura tersenyum melihat orang itu. Mba Ayem memperhatikan raut wajah yang di keluarkan Laura, lalu ikut tersenyum. Pemilik suara yang berhasil mengubah suasana hati Laura. Mba Ayem mengalihkan pandangan ke seseorang yang membuat suasana hati Laura berubah.
Arya pemilik suara itu. Ia berlari menghampiri Laura dengan ngos-ngosan ia bertanya, “kamu habis dari mana malam-malam, Ra?”
“Habis keluar bareng mba ku. Mba, kenalin ini Arya. Arya, kenalin ini Mba Ayem. Salah satu mba yang menjagaku di rumah.” Mendengar perkataan Laura, Arya mengulurkan tangan untuk menyalim Mba Ayem. Yang kemudian di raih oleh Mba Ayem.
“Kamu sendiri mau kemana?” Tanya Laura memperhatikan bawaan Arya yang ternyata sebuah al-Qur’an.
“Aku habis Ta'daruzan di rumah teman lama aku. Rumahnya di belakang Restaurant itu.” Laura hanya mengangguk menanggapi. Suasana menjadi canggung. Mba Ayem hanya tersenyum kecil menyikapi suasana itu tanpa berbicara sama sekali.
“Em... Tumben, kamu keluar gak bareng Dinda!” Kata Arya kembali mencairkan suasana.
“Ibu Bapaknya sedang keluar. Gak ada yang temani dia di rumah.”
“Oh gitu... Yaudah deh kalau gitu, aku balik duluan ya. Soalnya aku jalan kaki juga. Dan masih jauh dari sini. Dah Laura... Assalamu’alaikum Ra, Mba Ayem.”
“Wa’alaikumsalam.” Jawab Laura dan Mba Ayem bersamaan.
Arya kembali berjalan meninggalkan Laura dan Mba Ayem. Sedangkan Laura hanya terdiam dan tersenyum menatap punggung itu. Lagi-lagi, Mba Ayem tertawa kecil melihat eskpresi Laura. “Ini laki-laki yang waktu itu neng Laura cerita kayaknya. Yang berhasil mencuri hatinya.” Pikir Mba Ayem.
“Ayo neng. Jalan lagi. Keburu malam. Besok lagi aja natapnya di sekolah.” Goda Mba Ayem.
“Mba ihhh.... Yaudah ayo mba.” Laura menyenggol pelan tubuh Mba Ayem lalu kembali menggandengnya.
Mereka melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda. Dengan sedikit candaan dan tanpa keheningan seperti sebelumnya. Kehadiran Arya malam ini benar-benar anugerah bagi Mba Ayem. Karena, Mba Ayem tidak perlu terlalu repot berpikir keras, bagaimana mengubah suasana hati Laura.
Tidak terasa, mereka pun telah sampai di depan gerbang rumah. Saat hendak masuk, lewat sebuah mobil mahal yang melintas di depan rumah Laura. Refleks membuat kaki Laura terhenti dan melihat mobil itu. Dua orang yang Laura lihat tadi siang itulah yang ia yakini si pengendara dan penumpang di mobil itu. Tidak ingin Laura melihat adegan itu terlalu jauh, Mba Ayem tiba-tiba menariknya masuk melewati pagar rumahnyan dan segera mengunci pagar.
**********
“Kamu kenapa sih, Ra? Aku risih kamu lihatin kayak gitu terus.” Tanya Dinda heran, karena sedari tadi sahabatnya itu terus melihatnya sedih.
Laura mencoba mengalihkan pandangannya ke handphone miliknya lalu berkata, “gak apa-apa. Kemarin aku ke Mall bareng Mba Ayem. Makasih yah udah ngasih ide itu.Seru banget tau! Untung aja kamu gak ikut.”
“Jahat banget sih kamu!” Dinda memasang wajah cemberut. Membuat Laura tertawa kecil.
“Nanti next lah kita pergi bareng berdua kalau udah gak sibuk-sibuk lagi.”
“Iya. Untung juga aku kemarin gak ikut kamu!”
“Kenapa emangnya?”
“Karena ada urusan di luar, Bapak dan Ibu pulangnya malam. Kasihan adikku sendiri di rumah sampai malam kalau aku tinggal.”
Laura tersenyum mendengar itu. Ia tidak ingin bertanya lebih jauh. Ia takut kalau pada akhirnya dia yang akan keceplosan. Mulutnya ingin sekali mengatakan semuanya. Tapi, hatinya menolak kalau pada akhirnya ia yang akan menjadi sumber patah hati keluarga Dinda.
Dinda hanya menatap heran Laura. Tidak seperti biasanya. Laura memang pendiam. Tapi, kalau berbicara tentang keluarga Dinda, Laura akan sangat antusias. Masalah apapun itu. Namun, sekarang terlihat berbeda. Laura hanya tersenyum tipis yang bahkan jika orang lain melihatnya, itu bukan senyuman.
“Berdiri.... Beri salam...” Teriak ketua kelas membuat Dinda mengurungkan niatnya untuk bertanya pada Laura.
“Selamat pagi bu....”
“Pagi... anak-anak.”
“Apa kabar semuanya? Baikkah? Atau burukkah susana hati kalian hari ini? Rata-rata dari kalian seperti tidak ada gairah.” Tanya Ibu Guru sadar melihat wajah anak-anak di kelas itu terlihat lelah.
“Baik kok bu.” Jawab salah satu siswa.
“Itukan! Yang jawab aja cuma satu orang. Yang lainnya berarti lagi gak bersemangat nih.” Goda guru itu kepada seluruh siswa. Namun, tidak ada yang menanggapinya
“Semua berdiri! Kita pemanasan sedikit agar mood kalian bisa kembali bagus. Dan aliran darah di otak kalian mengalir hingga bisa fokus lagi.”
Semua siswa di kelas mulai berdiri dan mengikuti arahan dari Ibu Guoru.jui Bergerak melengkungkan tubuh. Gerakkan lucu yang diberikan membuat semua siswa tertawa. Benar kata guru itu, mood semua siswa kembali. Semangat bangkit lagi. Tapi tidak dengan Laura. Ia hanya terdiam sembari mengikuti semua gerakan itu.
**********
Surya gantari di sebagian belahan buana. Memberikan kehangatan kepada setiap ingsan dengan askara miliknya. Ditemani hembusan dersik.
“Ra, sorry ya, aku telat datangnya. Nungguin Agnes tuh gantiin sift aku.” Ucap Dinda mengambil posisi duduk di sebelah Laura yang sedang asyik membaca buku.
“Santai aja lagi. Hari ini juga aku gak ada jadwal apa-apa juga makanya ngajak kamu duduk bareng gini. Udah lama juga kita gak nyantai kayak gini kan.”
“Iya yah. Kalau dipikir-pikir, setahun setelah kita lulus jadi jarang meluangkan waktu bareng-bareng gini. Bahkan gak pernah. Kamu sibuk dengan kuliahmu. Aku juga sibuk dengan kerjaanku.” Tanya Dinda sambil mengubah posisi duduknya menjadi berbaring diatas rumput yang terbentang luas di Taman itu.
“Kamu belum ada rencana lanjut kuliah?”
“Belum. Ekonomi keluargaku masih belum stabil. Aku ingin bantu Bapak dulu untuk membiayai sekolah adikku. Kasihan juga Ibu gak bisa beli apa-apa kalau semua uang Bapak harus dipakai untuk kebutuhan kami berdua saja.” Dinda menatap langit sore yang begitu aswara.
Laura menutup buku miliknya. Memandang dalam wajah sahabatnya itu. Memori yang ia coba kubur kembali terlintas. Hari dimana awal ia menjadi saksi perselingkuhan Ibunya. Hingga hari ini, Dinda belum tahu apa-apa. Hanya Laura yang selalu melihat itu terus berulang secara tidak sengaja selama setahun belakangan. Rasa takut setiap mendengar keluhan temannya, membuat Laura memilih diam tidak memberitahu.
“Kamu coba aja beasiswa full di kampus aku. Nanti aku bantuin.”
“Udahlah, Ra! Gini aja aku udah bersyukur kok. Nanti kalau sambil kuliah takut keteteran juga. Aku pasti akan kuliah pada waktunya kok. Kamu bantu doain ya.”
“Pasti dong!”
“Ngomong-ngomong, gimana kabar Mama dan Ayah? Mama masih maksa kamu ikut ke Surabaya terus?”
“Masih... Tapi, aku gak pengen buat Ayah merasa aku hanya dominan ke Mama. Lebih baik memang seperti ini saja. Aku juga udah betah banget di sini.”
Dukkk...
“Aduh...” Jerit Laura.
Bersambung....
Baguus yaa diksinya banyaak bangeet 😍