Dania dan Alvin menjalani pernikahan palsu, kebahagiaan mereka hanya untuk status di media sosial saja, pelarian adalah cara yang mereka pilih untuk bertahan, di saat keduanya tumbuh cinta dan ingin memperbaiki hubungan, Laksa menginginkan lebih dari sekedar pelarian Dania, dan mulai menguak satu demi satu rahasia kelam dan menyakitkan bagi keduanya,
Apakah Dania dan Alvin masih bisa mempertahankan rumah tangganya? Atau memilih untuk menjalin dunia baru?
Ikuti kisah cinta Dania dan Alvin yang seru dan menengangkan dalam cerita ini
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noesantara Rizky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 28 Masa Lalu Nila
Tekanan dari Pak Dhanu membuat udara seakan menyusut, nafasnya terlihat kembang kempis, kepalanya mulai berat sebelah, rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya agar sesak itu menghilang, namun sepertinya tidak akan mungkin terjadi.
Jika kondisi seperti ini, perempuan itu lebih sering menghabiskan waktu di panti asuhan, bermain bersama anak-anak. Melihat bagaimana mereka bermain dan tertawa mengamati tingkah laku yang kadang menjengkelkan membuat senyumannya terkembang dan berbunga-bunga.
Sebenarnya, hampir satu minggu sekali Nila datang ke Panti Asuhan Kasih Bunda, hanya saja kesibukan pekerjaan membuatnya lama sekali tak mengunjungi mereka. Dia selalu membawa begitu banyak mainan serta makanan, rasanya begitu teduh melihat keributan anak-anak saling berebut, serta tingkah-tingkah aneh yang memunculkan gelak tawa.
Perempuan itu mulai meninggalkan kantornya, masuk ke dalam mobil yang diletakkan di area VIP dan melaju menembus jalanan Jakarta yang cukup lengang. Pesannya kepada seseorang untuk membelikan makanan serta mainan telah tersampaikan dan sedang dalam proses pengiriman pula, mungkin datangnya bisa bersamaan.
Nila juga mengirim pesan chat ke Alvin bahwa dia akan pergi ke Panti Asuhan, namun lelaki itu belum mau membalasnya, bahkan sampai beberapa kali di cek tetap saja belum ada notif dari Alvin, dia mencoba untuk memahami situasinya dan mengalihkan fokus ke hal lain.
Mobil Nila tiba di sebuah halaman yang cukup luas. Ada pohon mangga terlihat rimbun dan tumbuh subur, buahnya juga tampak bergelantungan cukup banyak. Salah satu anak naik ke atas pohon, sementara lainnya di bawah dan bersiap untuk menangkap, ada yang menggunakan kaos hingga jaring-jaring.
Mobil Nila sudah berhenti cukup lama, tetapi dia tidak langsung turun. Tatapan matanya tertuju ke suara anak-anak yang sangat riuh. Ibu panti ada di depan pintu mengamati sekaligus ikut tertawa melihat tingkah laku anak-anaknya, serta terdengar, “hati-hati!”
“Kebahagiaan mereka hanya fana, namun rasa mereka sebenarnya?” kata Nila yang memegang erat kemudinya, lantas teringat bagaimana dia dulu juga berada di panti asuhan dengan situasi tidak jauh berbeda.
Perempuan itu turun dari mobil, anak yang ada di pohon mangga berteriak, “Ibu Nila datang!!!” Sambil menunjuk ke arah Nila.
Semua anak dan ibu panti mengalihkan perhatiannya serentak ke Nila yang membuka pintu mobil belakangnya dan mengambil semua barang bawaannya.
“Ibu Nila…!” teriak anak-anak panti yang terlihat membuang buah mangga mereka, kemudian berlari ke arah Nila.
Mereka saling bersalaman, ada juga yang memeluk erat serta saling membantu membawakan semua barang-barangnya, mata Nila berkaca-kaca, merasa terharu dengan perlakuan tersebut.
“Kalian….” kata Nila yang menyeka air matanya serta membalas pelukan tersebut dengan hangat.
Anak panti asuhan itu selalu mampu memberikan kenangan mendalam bagi Nila. Mereka semua mengingatkannya akan masa lalu yang begitu gelap, ketika ibunya sendiri menitipkannya di panti asuhan.
Waktu itu, sekitar 26 tahun lalu, dia dan Ibunya yang menembus hujan deras mengunjungi sebuah panti. Orang tuanya berbincang dengan perempuan lain sementara Nila kecil menunggu diluar.
Anak itu melihat seorang perempuan dewasa sedang mengamatinya. Begitu pula dengan ibunya, yang tak pernah berhenti memohon dan menunjuk ke arahnya, dia hanya diam karena tak tahu apa yang sedang dibicarakan, sambil menutup telinga karena petir menyambar.
Kilatan cahaya biru terlihat, gemuruh menggelegar terdengar begitu menakutkan. Nila kecil masih menutup telinganya dan mengeluarkan air mata, dia ingin mengatakan takut namun sulit keluar.
Ibunya paham benar dengan kondisi anaknya itu, dia langsung memeluknya erat, menenangkan nuraninya yang jantungnya berdetak kencang.
Setelah gemuruh mulai mereda, ibunya berkata, “Kamu di sini dulu, sama Ibu Sekar ya, jangan nakal!” Air matanya menetes, tangannya menyentuh pipi mungil Nila.
Ibu Nila belum bisa melepas buah hatinya dia kembali memeluk erat, mencium pipi dan keningnya beberapa kali. Sebenarnya dia tak ingin melakukan itu. Nuraninya berkali-kali mengatakan untuk tetap menjaganya dan bertahan dari ketidakmungkinan.
Namun dia sendiri bingung mau bagaimana mengurus Nila, sementara keuangannya sangat buruk, setelah bercerai dengan suaminya. Tidak ada pekerjaan sama sekali, sudah mencoba melamar sana sini, tetap saja belum diterima.
“Ibu kapan jemput aku?” tanya anak itu yang menatap ibunya sangat dalam.
Hati ibunya semakin teriris perih, perkataan itu mengguncang nuraninya, air matanya semakin menetes deras, namun dia harus pergi sekarang.
“Ibu pamit, Nak! kata Ibu Nila yang perlahan melepas pegangan tangan anaknya.
Ibu Sekarang datang menghampiri anak itu, dia merangkulnya, mencoba menjadi ibu pengganti. Pandangan itu, juga membuatnya terharu, terlebih hujan semakin deras dan gemuruh petir semakin intens.
“Dadah ibu… hati-hati… aku tunggu disini!” kata Nila yang melambaikan tangannya.
Ibu Sekar mengajaknya untuk masuk, namun dia masih ingin di situ, selama matanya melihat Ibu anak kecil itu tak mau beranjak dari tempat. Walaupun angin semakin kencang berhembus, dia tetap bertahan teguh, tak pernah gentar.
Itulah hari terakhir, dia bertemu dengan sosok ibunya. Setiap hujan, Nila kecil selalu menunggu di depan pintu dan berharap ibunya datang menjemput, namun dia harus memupusnya karena tak ada datang juga.
Setelah beranjak dewasa, Nila baru tahu mengapa ibunya meninggalkannya. Semua itu karena permintaan Pak Dhanu yang telah menghancurkan kehidupan ibunya, hingga tak sanggup menahan semua tekanan sehingga memutuskan bunuh diri.
Ingatan itu selalu tersimpan erat dalam diri Nila. Perempuan itu kembali tersadar ketika di sapa oleh Ibu Panti, dia mencoba menguasai dirinya sendiri dengan senyuman.
Anak-Anak membawa semua barang itu ke aula, tidak lama kemudian, makanan online yang dipesan juga datang. Riuh anak-anak semakin terdengar karena menu hari ini adalah kentang serta burger.
“Bu, Aksa dimana?” tanya Nila ke Ibu Panti yang berjalan menuju ke arah panti.
“Dia ada di kamar istirahat,” jawab Ibu Panti yang ikut berjalan masuk ke dalam.
Salah satu anak berlari mendatangi ibu panti, “Bu, Aksa Bu!” katanya berteriak.
“Kenapa?” tanya Ibu Panti yang jongkok dan mencoba menenangkan anak itu.
“Aksa sebut nama ibu terus,” kata anak itu.
Ibu Panti bangkit dan menatap wajah Nila, keduanya langsung berlari menuju kamar Aksa. Di kamarnya ada beberapa anak mengelilingi tempat tidur anak itu.
“Aksa!” kata Nila yang tampak ngos-ngosan, dia mengambil nafasnya di depan pintu, kemudian menghampiri anak lelaki yang masih memanggil nama Ibu.
Nila memegang dahi Aksa, “badannya panas banget,” perempuan itu langsung menggendong Aksa dan di bawanya menuju ke mobil.
“Kenapa Bu?” tanya Ibu Panti.
“Aksa demam, saya mau bawa ke rumah sakit,” kata Ibu Nila yang bergegas masuk ke dalam mobilnya, dia taruh di bagian belakang.
Ibu panti juga mengikuti dan masuk ke pintu belakang. Nila mencoba kembali menghubungi Alvin, namun tetap saja pesannya tidak di balas, teleponnya juga tidak diangkat.
“Lelaki itu!” katanya yang geram, Aksa mulai merengek, Nila langsung menghidupkan mobilnya, “Sabar ya Nak!”