"Kita putus!"
"putus?"
"ya. aku mau kita menjadi asing. semoga kita bisa menemukan kebahagiaan sendiri-sendiri. aku pergi,"
"Silahkan pergi. tapi selangkah saja kamu melewati pintu itu ... detik itu juga kamu akan melihat gambar tubuh indahmu dimana-mana,"
"brengsek!"
"ya. itu aku, Sayang ..."
***
Bagai madu dan racun, itulah yang dirasakan Eva Rosiana ketika jatuh dalam pesona Januar Handitama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eva Rosita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02
Eva sudah bersiap akan untuk pergi bekerja, di cafe milik Budi. Sekarang dia memandangi dirinya sendiri di depan cermin kamarnya.
Diam namun kepalanya sedikit berisik.
Bedebah, batinnya.
Selama ini dia tidak pernah mengusik kehidupan orang lain. Tidak pernah mencari gara-gara ke orang lain.
Datang ke Jakarta untuk mengenyam pendidikan dan ingin merubah nasib. Berteman dengan orang-orang yang mau berteman dengannya. Selalu diam dengan tingkah laku orang-orang yang tersenyum didepan tapi mencemooh dibelakang.
Eva itu tidak budeg, dikelasnya banyak yang tersenyum tapi ternyata dibelakangnya mencemooh. Terutama para wanita.
Hanya karena sering mendapatkan pujian dari cowok-cowok, dia sering mendapat musuh dadakan dari para gadis-gadis aneh itu.
Malam ini, dia akan menantikan pertunjukan dari Gilang. Salah satu kating yang akhir-akhir ini sangat gencar mendekatinya.
Cowok tinggi, tampan, murah senyum, dan sangat hangat. Sering memberinya perhatian.
Tersentuh? Sedikit, hanya sedikit. Cukup menarik perhatian Eva.
Dan lima hari yang lalu tepatnya, Eva tahu kalau dirinya hanya dijadikan bahan taruhan oleh Gilang dan kelompoknya.
Sialan. Kabar itu mengusik harga diri Eva.
Rupanya ada yang mau bermain main. Dan mari kita mainkan peran sekarang.
Suara gedoran pintu dikamarnya membuat Eva keluar dari lamunannya. Itu suara Ajeng. Tetangga kos sekaligus sahabatnya.
"Bentar, Jeng!" teriaknya.
Eva pandangi lagi penampilannya. Memakai outif kasual seperti biasa, kaos krop putih yang dipadukan dengan celana cargo peanuts, dan sepatu yang warnanya senada dengan kaosnya.
Karena akan naik motor, Eva kenakan jaket denimnya.
"Yuk!" ajaknya ke Ajeng setelah keluar dari kamar kosnya.
***
"Kita mau kemana sih, Jan?"
"Cafe Budi,"
"Tumben?"
"Sepertinya akan ada pertunjukan yang menarik disana,"
Evan menatap heran ke sohibnya yang sedang menyetir itu. Tadi dia dijemput oleh Janu. Dan sungguh tak percaya akan pernyataan temannya tadi, pasalnya Janu itu tidak suka tempat keramaian.
Tiba-tiba saja mengajaknya ke cafe Budi dan mengatakan ada pertunjukan menarik?
"Ada apaan sih?" tanya Evan penasaran.
Janu hanya tersenyum tipis, tak menjawab pertanyaan temannya.
***
Sampai di cafe, Eva dan Ajeng langsung menghampiri meja yang sudah biasa mereka tempati. Ada di area outdoor, karena panggung kecil yang menjadi tempatnya bernyanyi ada disana.
Cafe Budi ini punya area indoor dan outdoor. Outdoornya bernuansa garden, sangat nyaman sekali dibuat nongkrong.
Dimeja yang didatangi Eva sudah ada Budi dan Maysaroh. Meja yang letaknya tak jauh dari panggung tempat Eva bernyanyi nanti.
"Gilang endegeng udah dateng tuh!" Budi mengedikkan dagunya ke arah meja Gilang yang berjarak empat meja dari tempatnya.
Eva menoleh. Tersenyum manis ketika Gilang melambaikan tangannya.
"Pe, serius lo bakalan ngelakuin itu?" tanya Ajeng memastikan. Wajahnya auto berubah cemas setelah Eva mengangguk yakin. "Bahaya, ih. Gue takut dia nggak terima dan malah nyelakain lo nantinya,"
"Celakain balik," jawab Eva santai sambil menyomot makanan Saroh.
Ajeng melotot, kalau penyakit keras kepalanya Eva sudah kumat, ingin sekali Ajeng menempelengnya. Biar itu anak punya kewarasan sedikit sebagai makhluk yang namanya perempuan.
"Si bencong mana?" tanya Eva.
"Tau tuh temen, lo. Katanya ada misi penting buat nyuburin dadanya!" gerutu Budi, mengingat kelakuan absurd Roni yang mengatakan akan melakukan penyuburan ke dadanya.
"Tanaman kale, pake dipupuk segala," celetuk Eva yang diakhiri dengan kekehannya.
"Pake pupuk apa kira-kira kalau yang disuburin dadanya?" satu pertanyaan lolos dari wajah Ajeng yang polos.
Ajeng ini orangnya cantik, imut-imut. Minusnya kurang tinggi dan rada bloon. Salah satu orang yang harus dijaga benar-benar oleh Eva.
Eva, Budi dan Saroh saling bertatapan. Lantas kembali menatap wajah imut Ajeng, apa lagi saat mata Ajeng mengerjap pelan, membuat mereka bertiga gemas. Seperti boneka.
"Diremes!" celetuk Budi.
"Hah?" ceno Ajeng, "emang diremes bisa bikin gede?"
"Bisa,"
"Ooh begitu. Berati punya gue bisa dong digedein? Tinggal diremes kan ya?"
"Heh! Kagak usah macem-macem!" amuk Eva membuat Budi dan Saroh tertawa.
"Kenapa sih?" lirik Ajeng sinis dengan bibir manyun nya, "masa iya punya Roni boleh gede tapi gue kagak?"
Eva putar bola matanya malas, dan semakin tertawa saja Budi dan Saroh. "Heh, Jeng. Dengerin, mau diremes seribu malem pake kekuatan rawa rontek juga punya Roni kagak bakalan bisa gede! Dia lakik, Jeng!" sungut Eva, "dan lo ... jangan macem-macem mau remes-remes segala. Apa lagi kalo diremesin cowok. Awas lo!" ancamnya.
Baru saja Ajeng mau menjawab, tiba-tiba Evan dan Janu datang menghampiri mereka.
"Hi ladies!" sapa Evan ramah.
"Hi!" sapa balik Saroh dan Ajeng, sedangkan Eva hanya tersenyum tipis.
"Rame banget, Bud!" seru Evan. Matanya menyapu para pengunjung yang memang sudah mulai rame.
Fyi, Eva ini banyak penggemarnya. Jadi setiap jadwal dia manggung di tempat Budi, pasti cafe itu akan ramai dikunjungi oleh penggemarnya Eva.
"Iya. Gabung aja sini!" ajak Budi dan langsung di iyakan oleh Evan dan Janu. "Pe, udah jamnya. Gawe sono!" Budi beralih ke Eva.
Eva menganggukkan kepalanya. Dia berdiri dan mengode dua cowok yang tak jauh dari meja mereka. Bayu sipemain cajon, dan Dani si gitaris.
Eva berjalan dengan Bayu dan Dani ke atas panggung kecil. Menempati tempat duduk yang sudah disediakan.
Eva mengambil gitarnya, memangku di atas satu kaki yang ia tumpukan ke kaki satunya.
"Okey, Guys. Sebelum kalian requet lagu, izinkan gue bawain lagu dari Mas Vidi, Nuansa Bening. Kalo kata temen-temen gue sih, itu lagu sekarang cocok banget sama suasana hati gue," kata Eva sebagai pembuka, menyapa para pengunjung. Dan sorakan mulai terdengar dari para penggemarnya.
"Kiw Kiw. Siapa nih?" Teriak dari salah satu penggemarnya.
Eva tersenyum sangat manis, "ada deh!" ucapnya seraya melirik ke salah satu meja sebentar.
"Anjir, tuh cewek ngelirik elo, Lang!" ucap teman Gilang yang membuat cowok itu tersenyum lebar.
"Gue udah bilang kan? Kalo gue nggak mungkin kalah!" jawabnya dengan bangga. Sebentar lagi Gilang akan memamerkan kemenangannya di hadapan kelima temannya ini.
Suara merdu Eva mulai terdengar, menyanyikan bait demi bait lagu yang ia bawa.
"Kini terasa sungguh. Semakin engkau jauh, semakin terasa dekaat. Akan ku kembangkan, kasih yang engkau tanam. Di dalam hatikuu,"
Sesekali Eva akan melirik Gilang, dan tak lupa ia sematkan senyum manisnya.
Suara tepuk tangan terdengar setelah Eva selesai membawakan lagu pertamanya. Lalu dilanjut lagu kedua, dan ketiga. Lagu ketiga sebagai lagu terakhir yang ia bawa.
Eva turun dari panggung kecil. Baru saja dia akan duduk, telinganya mendengar suara Gilang yang memanggilnya.
"Eva,"
"Ya?" Eva balik badan dan tersenyum ke Gilang, "kenapa, Kak?" tanyanya.
Posisinya Gilang ini berdiri di depan Eva, dekat dengan meja yang diduduki oleh teman-teman Eva.
Gilang melirik sana sini sambil menggaruk tengkuknya menggunakan tangan kiri, karena tangan kanannya memegang bunga yang ia sembunyikan di belakang badannya. "Emm, boleh minta waktunya sebentar kan?"
"Boleh," kepala Eva mengangguk pelan.
Gilang melirik lagi ke meja depannya. Ada para sahabatnya Eva dan ada juga Evan serta Janu. Gilang sangat mengenal siapa sosok Janu. Cowok tajir yang auranya tak bisa di anggap remeh.
"Ehem," ada gugup yang melanda Gilang. Entah kenapa melihat wajah datar Janu nyalinya menciut.
Padahal Janu cuma diam sambil merokok.
"Va, lo tau kan kalau akhir-akhir ini kita dekat?" tanya Evan yang mulai fokus ke Eva.
Eva menganggukkan kepalanya pelan serta menyatkan senyum malunya. "Iya," cicitnya.
Di meja tempat Gilang tadi duduk, kelima temannya sudah mengangkat ponsel masing-masing. Merekam adegan dimana Gilang akan menyatakan cintanya untuk Eva.
"Lo pasti sadar kalau gue ngedeketin lo karna ... gue suka sama lo, Va." Gilang tersenyum, mengeluarkan tangan yang menggenggam bunga ke hadapan Eva. "Lo mau nggak, jadi pacar gue?" ungkapnya.
Eva menutup mulutnya tak percaya, menunjukkan kalau dia sangat terkejut dengan tindakan romantis Gilang.
Bayangkan saja, dia di tembak oleh kakak tingkatnya di depan banyak orang.
"Kaak, lo ... lo suka sama gue?"
Gilang mengangguk yakin dan masih mempertahankan senyumnya, "Iya. Gue suka sama lo. Eva mau kan, jadi pacar gue?"
Gilang menggerakkan bunga ditangannya agar Eva segera menerima bunganya.
Bunga itu diterima, Eva tidak bisa untuk menahan senyumnya lagi. Sangat manis dan cantik sekali senyum lebarnya.
"Kak, Gilang... "
"Ya?"
"Harus di jawab disini?"
"Ya. Gue mau dengar jawaban lo disini. Sekarang!" dengan amat yakin Gilang mengatakannya.
"Beneran dijawab disini?" tanya Eva malu malu semakin membuat Gilang tersenyum.
"Iya, Eva. Dijawab disini!"
"Okeey, kalo Kak Gilang mau gue jawab disini,"
"Jadiii?"
"Sorry," Eva menggeleng membuat semua teman Gilang tak percaya.
"Lo ... nolak gue?"
Eva mengangguk.
"Kenapa?"
"Gue nggak suka sama cowo suka ngupil,"
"Hah? Maksut lo apa?"
"Pfft ..." Budi, Ajeng, Saroh dan Evan mati-matian menahan tawanya.
"Gue pernah liat Kak Gilang ngupil. Dua kali gue liatnya. Dan gue ... jijik!" jawab Eva dengan wajah polosnya.
Gilang tak bisa berkutik, yang ada dipikirannya hanya ingin menampar mulut gadis kurang ajar ini yang sudah berani mempermalukannya.
"Lo--" tudingnya.
Eva maju dua langkah, wajahnya sudah berubah. Tak ada wajah polos atau pun malu-malu disana. Hanya ada wajah datarnya.
Sampai didepan wajah Gilang, seringaian Eva terbit. "Lo pikir lo bisa, main-main sama gue? Lo salah pilih lawan, man!" bisiknya tajam.
Kedua mata Gilang melebar, rahangnya mengeras dan kedua tangannya sudah mengepal. Sialan sekali gadis ini, pikirnya.
Eva mundur dan meringis imut. "Maaf ya, Kak. Dan ini, gue kembaliin bunganya," ditarik tangan kanan Gilang, memaksa agar menerima bunganya kembali. "Gue lebih suka bunga bank soalnya, Kak. Sorry ya!"
Done!
Eva kembali ke kursinya, duduk di antara teman-temannya.
Banyak yang tertawa dan banyak juga yang bisik-bisik karena menganggap Eva terlalu sinting.
Bodo amat dengan reputasinya, Eva tak peduli. Dia tidak pernah meminta makan atau bantuan orang lain.
Dia diam saja masih banyak yang mencemooh. Peduli setan dengan semuanya. Yang terpenting hatinya puas.
Itu ganjaran karena berani mempermainkannya.
"Dasar sok cantik, lo! Lo pikir gue suka beneran sama lo, HAH??" teriak Gilang dengan amarahnya, "asal lo tau. Lo tuh cuma bahan taruan gue, jalang!" Dilemparnya bunga itu. Di injak-injak sebelum Gilang pergi.
See?? Tanpa klarifikasi pun, Eva bisa membuat Gilang menunjukkan kebusukannya. Dan dengan begitu pula bisikan negatif tentangnya langsung sirna seketika.
"Ini yang gue tunggu," gumam Eva dengan kekehannya.
"Daebak!" seru Ajeng memeluk sahabatnya dengan bangga.
"Agak laen emang lo, nyet!" Budi tertawa setelah menonyor kepala Eva.
Tak hanya Budi dan Ajeng, Saroh dan Evan pun salut dengan tindakan sintingnya Eva ini.
Semakin menarik, batin Janu.
Tersenyum tipis saat Eva tak sengaja menatapnya.
kak kenapa ga di fizo aja sih novel ini..