Mitha, Gadis Kaya yang mendadak miskin karena sang ayah direbut Pelakor. Hidupnya berubah 180⁰ sehingga pekerjaan apapun dia geluti demi menafkahi sang mama yang sakit-sakitan. Dia bergabung menjadi Pasukan Orange DKI Jakarta
Selama menjalani profesinya menjadi pasukan orange banyak ujian dan cobaan. Dan Mitha menemukan cinta sejati di lingkungan kerjanya, seorang lelaki yang berkedudukan tinggi tapi sudah beristri.
Apakah dia juga akan menjadi Pelakor seperti perempuan yang merebut ayahnya dari mamanya?? Yuk..di subscribe dan ikuti ceritanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Megantara Pradana
Seorang gadis berteriak dengan mata sembab, meminta seseorang segera membantu sang mama di depan ruang IGD. Wajahnya terasa familiar, aku seperti pernah melihatnya. Kejadian begitu cepat, belum sempat aku memperhatikan wajahnya sudah menghilang di balik pintu IGD.
Saat menunggu papa di depan ruang operasi, aku kembali bertemu dengannya. Dia terlihat lelah, tatapannya kosong, sebagian wajah cantiknya tertutup rambutnya yang acak-acakan. Setelah aku perhatikan ternyata dia Mitha, gadis yang selalu membuat aku memutar kepala hanya untuk menatapnya lebih lama.
FLASHBACK ON~
"Minggir...minggir.." Gubrak!
Aku jatuh tertimpa sepeda berwarna pink yang dikendarai seorang gadis berkepang dua, rambutnya berwarna kecoklatan, hidung mancung dan matanya yang bulat indah.
"Aku bilang minggir kenapa Kaka malah menghalangi jalanku" Gerutu gadis yang belum ku ketahui namanya
"Dek, kalau belum bisa bawa sepeda jangan main di sini ya. Ini jalan raya. Masih untung kamu nabrak Abang, coba kalo nabrak mobil, gimana?" Aku menasehatinya
"Kalau Abang ga menghalangi jalan, aku ga bakalan jatuh bang" Bibirnya mengerucut
"Ayo sini Abang anter pulang, rumahmu dimana?" Tanyaku
"Di rumah yang ada pohon mangganya" Aku menggendongnya di belakang
Anak itu sangat asik diajak ngobrol, padahal usianya baru dua belas tahun, tapi obrolan kami nyambung.
Setiap kegiatan pembinaan fisik berupa lari pagi di kampusku IPDN, selalu melewati depan rumahnya. Dia tidak pernah terlihat jika hari Senin sampai Jumat. Tapi dia akan ada di depan rumah jika hari Sabtu Minggu. Sampai hapal aku, kan. Karena pesonanya membuatku seringkali terbayang-bayang dan memimpikannya.
Ah! Mungkin Cinta pertama, ya bisa dibilang begitu.
Menatapnya adalah obat sekaligus hiburan saat menempuh pendidikan yang penuh 'cuaca' di bandung selama tiga tahun. Aku ingat betul saat neneknya meninggal dia sering termenung di kursi bawah pohon mangga. Saat itu aku sudah tidak lagi menggodanya, karena dia sudah beranjak remaja. Sudah malu-malu kalau di sapa
Lama aku tak melihatnya karena tugasku yang berpindah-pindah, kemudian Tuhan pertemukan di sebuah club malam. Dia sudah berubah, dia sudah pandai berdandan dan terkesan urakan. Aku hampir tak mengenalinya. Dan tentu saja dia tak mengenaliku.
FLASHBACK END
Dari ruang tunggu operasi aku mengikutinya untuk menyapanya, tapi dia larut dalam tangisannya. Sesekali dia membuka dompetnya dan menghitung uangnya dengan wajah cemas. Aku tidak tega melihatnya gemetar saat apoteker menyebutkan biaya obat mamanya, dengan tulus ku membantunya.
Tak ku sangka selesai aku dari apotik, papa diijinkan pulang. Aku tidak ada kesempatan untuk bertemunya lagi.
*****
"Mitha!" Bella sepupuku memanggil seseorang saat kami di sebuah kafe untuk COD pembelian mobil.
Ya! Aku berencana membelikan mobil untuk papa selama tugasnya di Bandung.
Bagai punguk merindukan rembulan, mataku berbinar saat mengetahui si empu mobil adalah Mitha.
"Bel!" Katanya dengan senyumnya yang manis
"Kenalin nih Abang gw, Abang Megan. Dia yang bakal beli mobi Lo, mit" Mitha nampak mengernyitkan keningnya
"Bapak yang waktu itu bayarin obat mamaku, kan? Ehh maksudnya pinjemin uang" Dia ingat!
"Terimakasih ya pak, kebetulan kita ketemuan di sini. Tadi pagi saya cari bapak di Anyelir tapi bapak sudah pulang"
"Iya ga apa-apa dek, kebetulan ya ketemu di sini. Oiya jangan manggil bapak" Aku masih belum bisa merubah panggilanku padanya. Aku suka sekali memanggilnya adek. Secara aku anak tunggal.
Proses jual beli berjalan lancar, sebenarnya aku yang ingin mempermudah jalannya untuk segera mendapatkan uang. Sampai Bella sepupuku sewot karena aku tidak menawar sepeserpun harga yang diberikan Mitha. Itung-itung menolong, pikirku.
Aku sempat menanyakan dia tinggal dimana, tapi wajahnya galau. Aku tidak enak menanyakan lebih jauh. Dia hanya bilang sedang cari tempat tinggal karena rumah neneknya sudah dijual. Aku sempet memberikan kartu nama. Semoga suatu saat dia membutuhkan bantuan, aku orang yang akan dia hubungi.
Aku sempat mengantarkannya kembali ke rumah sakit, membelikannya makanan dan minuman untuk bekal selama di rumah sakit. Awalnya dia sungkan menerimanya, tapi Bella sedikit memaksa. Akhirnya dia membawa semua yang kami berikan padanya. Hari itu adalah hari terakhir kami berjumpa di bandung, karena aku harus berangkat ke tempat tugas di Kalimantan.
Aku pulang dengan membawakan papa hadiah mobil untuk aktivitasnya selama di Bandung. Papaku mempunyai usaha kontruksi perumahan mewah dan gedung-gedung pemerintahan.
Dengan penerbangan malam aku kembali ke Kalimantan untuk menjalankan tugas sebagai Purna praja ASN di sebuah desa terpencil.
Dua tahun aku menjalankan tugas di Kalimantan tidak pernah mengambil cuti karena kesibukan membangun desa tertinggal. Hingga SK ku turun untuk pemindahan tugas di Jakarta. Aku sempatkan pulang ke Jambi sebelum tugas di Jakarta.
Ternyata keluargaku sudah memilihkan calon pendamping untukku. Kepulanganku ke Jambi adalah hal yang mereka tunggu-tunggu. Baru dua jam di rumah, kami sekeluarga berangkat untuk melamar seorang gadis yang satu daerah denganku.
Dia gadis bercadar dengan mata yang indah walaupun tak seindah Mitha cinta pertamaku. Tapi dia adalah sosok yang diharapkan orangtuaku, mantu idaman katanya. Irish namanya, suaranya saat mengaji memang merdu, tutur katanya pun lembut. Cowo mana yang bisa menolak gadis seperti Irish, cantik, Sholihah dan masih belum pernah dijamah tentunya karena dia sudah bercadar sedari kecil, pasti sangat terjaga dari lelaki hidung belang karena dia mengharamkan pacaran. Kupikir cinta akan tumbuh seiring waktu.
Orangtua kami langsung menentukan tanggal pernikahan dan aku setuju. Sebulan setelah lamaran, aku melangsungkan pernikahan di Jambi. Aku melupakan cinta pertamaku. Aku benar-benar fokus dengan istriku. Irish adalah istri yang baik, sangat penurut dan tidak pernah menuntut. Walaupun saat malam pertama dia sudah tidak suci lagi. Dia ceritakan itu saat malam pertama, bagaimana mungkin aku batalkan pernikahan. Kalau saja dia ceritakan saat lamaran, mungkin aku akan mempertimbangkan dan tidak shock seperti ini. Mau tidak mau pernikahan harus tetap berjalan, serasa menelan pil pahit karena merasa ditipu. Tapi kalau karena hal itu saja aku menceraikan istriku rasanya aku pecundang.
Selama pernikahan Irish menjadi sosok istri yang diinginkan semua suami. Cantik di fisiknya juga hatinya. Dia Baik, pintar membawa diri, tidak banyak menuntut dan pengertian. Lambat Laun perasaanku padanya tumbuh kasih dan sayang. Hingga dia mengandung anak pertama kami. Aku merasa kehidupan rumah tanggaku lengkap dan bahagia.
Saat melahirkan anak pertamaku Irish mengalami pendarahan hebat hingga harus di transfusi sebanyak sepuluh kantong. Pasca operasi dia mengalami kelumpuhan, kakinya kaku tidak dapat di gerakan. Aku terima ini sebagai ujian. Aku terus memberikan support agar dia kuat, semangat sembuh demi anak perempuan kami yang bernama Faiza.
Saat aku bekerja, ada perawat dan baby sitter yang membantuku. Saat aku pulang ke rumah, aku yang mengurus anak dan istriku. Aku tidak merasa terbebani. Aku malah ikhash menerima ujian ini.