"ABANG HATI-HATI!!!" teriak seorang anak kecil menarik tangan Arrazi yang berdiri diatas pagar jembatan. Hingga keduanya terjatuh di alas jembatan yang berbahan beton.
"Aduh!" rintih gadis kecil yang badannya tertindih oleh Arrazi yang ukuran badannya lebih besar dan berat dari badan kecilnya. Laki-laki itu langsung bangun dan membantu si gadis kecil untuk bangun.
Setelah keduanya berdiri, si gadis kecil malah mengomel.
"Jangan berdiri di sana Bang, bahaya! Abang emang mau jatuh ke sungai, terus di makan buaya? Kalo Abang mati gimana? Kasian Mami Papinya Abang, nanti mereka sedih." omel gadis kecil itu dengan khawatir.
Menghiraukan omelan gadis kecil di depannya, Arrazi menjatuhkan pantatnya di atas jembatan, lalu menangis dengan menekukan kedua kaki dan tangannya menutupi wajah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Icut Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 2 : ARRAZONG
Ghaniyyah : Daniah, lo dimana?
**Daniah** : Gue baru banget sampe parkiran Ghaniyyah, bentar lagi sampe.
Sambil berjalan, Daniah membals chat dari Ghaniyyah, tempat se koasnya di RS Harapan Keluarga.
**Ghaniyyah** : Nia, kayak lo harus langsung ke ruang Dokter Arrazi.
**Daniah** : GUE TAU!
**Ghaniyyah** : Santai Bu.. Hehehe. Siapin mental ya Nia, gue selalu berdoa yang terbaik buat lo dalam menghadapi manusia satu itu.
Daniah menghela nafas. Paham apa yang di maksud Ghaniyyah. Sudah 3 bulan masa koas Daniah lalui. Ia dan teman-temannya sudah sangat mengenali sidat Dokter Arrazi. Seorang Dokter yang bekerja di RS Harapan Keluarga, tempat Daniah Koas, juga seorang petinggi bagian RS tersebut.
Dokter pembimbing yang katanya sangat tampan, rupawan, care kepada semua pasien, selalu berusaha untuk melayani pasien dengan baik, bahkan tersemat kepada laki-laki 28 tahun itu sebagai calon suami idaman.
Tapi bagi Daniah dan teman satu koasnya, Dokter Arrazi itu orangnya galak, perfeksionis, pendiam dan dingin kayak es balok. Di tambah tragedi saat di Bandara minggu lalu, Dokter Arrazi semakin galak kepada Daniah.
Tidak, bahkan buas kata yang tepat disematkan kepada Arrazi terhadap Daniah. Padahal Daniah sudah klarifikasi dan yang bersalah adalah Arrazi, karena telah menabraknya dan menghancurkan buket Daniah yang akan dihadiahkan untuk Eliza.
Tapi, laki-laki itu sangat gengsi untuk mengakui kalau dirinya salah. Ia malah menyalahkan Daniah, lalu pergi begitu saja. Daniah memang harus selalu siap mental kalau berhadapan dengan Arrazi. Dan mengelus dada sambil beristigfar. Ya, lumayan buat ngurangin dosa.
**Daniah** : Ya.
**Ghaniyyah** : Hati-hati lo di tabrak setan RS lagi :D
**Daniah** : ODOB!
Daniah mengendus kesal melihat chat terakhir dari Ghaniyyah. Daniah memang pernah mengalami hal mistis di RS yang saat itu tempatnya koas. Saat itu jam 12 malam, Daniah baru selesai dengan tugasnya dari Dokter Arrazi yang nggak kira-kira. Sedangkan beberapa teman yang lain sudah pada pulang.
Awalnya Daniah akan pulang bersama Ghazalah. Namun Ghazalah buru-buru pulang saat mendapati kabar kucing peliharaanya mati satu. Ghazalah itu sekte babunya kucing, dia lebih mementingkan kucingnya daripada hal apapun. Bahkan rela membeli makanan kucing dengan uang yang tadinya akan ia pakai untuk beli seblak.
Daniah berjalan melewati koridor RS menuju parkiran. Baru beberapa langlah Daniah berjalan di koridor, ia sudah merasakan bulu kuduknya merinding. Dan entah kenapa rasanya koridor yang di lewatinya begitu sepi. Ia tidak tahu, apakah selalu sepi seperti ini kalau sudah malam atau memang hanya saat itu saja.
Karena baru pertama kali Daniah pulang malam, setelah seminggu Koas. Merasa ada yang tidak beres, Daniah mempercepat langkahnya. Ia sama sekali tidak mau menoleh ke arah manapun. Tatapannya lurus ke depan, ingin cepat keluar dari RS.
BRUK!
Tiba-tiba saja Daniah terjatuh di lantai setelah merasakan ada sesuatu yang menyenggol bahunya dengan keras. Namun tidak ada siapapun di koridor itu. Hanya ada Daniah manusia satu-satunya di sana.
Daniah segera bangkit dari jatuhnya, ia berlari menuju parkiran. Namun ia kembali terjatuh karena tidak menyadari ada tangga kecil yang ia lewati. Dada Daniah naik turun, nafasnya tidak teratur. Rasa akut yang saat itu ia rasakan, mengalahkan rasa sakit di kakinya. Daniah kembali bangkit, ia lari sambil berteriak.
"GUE NGGAK TAKUT, SETAN!" itulah kalimat yang keluar dari mulutnya, padahal dirinya ketakutan.
Keesokan harinya Daniah menceritakan hal yang dialaminya. Bahkan kasihan, teman-temannya itu malah menertawakan nasib malang yang menimpa gadis berusia 22 tahun itu.
"Mau kenalan dia sama lo, Nia." ceplos Halwa.
***
TOK! TOK! TOK! TOK!
Pintu di ketuk oleh Daniah, lalu ia membuka pintu ruangan Arrazi. Tak lupa, sebelum ia membuka pintu. Daniah menghela nafas, menetralisir nafa yang tidak beraturan dan menenangkan hatinya agar bisa lapang menghadapi semburan lahar panas dari mulut Arrazi.
Ia tahu, hari ini dirinya yang bersalah karena telat datang ke RS. Namun begitu, Daniah sudah mengantongi alasan kenapa dirinya bisa telat. Daniah harap, alasan itu bisa membuat Arrazi memahami dan memaafkan atas ketelatannya.
"Permisi Dokter." ucap Daniah dengan sangat ramah. Ia masih berdiri di ambang pintu.
Arrazi hanya melirik ke arah Daniah dengan ekor matanya. Laki-laki itu sedang berhadapan dengan macbook-nya. Entah sedang apa. Namun terlihat begitu serius. Merasa dihiraukan, karena tidak ada balasan apapun dari Arrazi, Daniah kembali berucap.
"Permisi Dokter....."
"Telinga saya masih normal! Cepat masuk!" ujar Arrazi dengan ketus.
Daniah meneguk salivanya, aura-aura panas mulai terasa olehnya. Perlahan ia masuk, lalu menutup pintu ruangan dari dalam. Kemudian menghampiri Arrazi dan duduk di bangku depan Arrazi yang dibatasi jaraknya oleh meja.
"Siapa yang suruh kamu duduk?"
Lagi-lagi Arrazi masih berbicara dengan ketus kepada Daniah, ditambah tatapan mata Arrazi yang tajam membuat badan perempuan itu lemas, kayak jeli. Aduh, kalau ada kamera lebih baik Daniah melambaikan tangan saja. Nggak kuat.
Daniah kembali berdiri sambil menundukkan kepala.
"Anu Dok.....Hmmm.......maaf...."
"Bicara yang jelas!" ujar Arrazi dengan dingin.
"Saya minta maaf karena telat, Dokter. Soalnya tadi say nolongin Ibu-Ibu yang hampir keserempet mobil waktu di perempatan jalan. Saya bantuin Ibu itu buat duduk, ternyata kakinya ada yang terluka, keseleo juga. Terus saya obatin lukanya, saya urutin kakinya yang ke........"
"Mau sampai kapan kamu mendongeng?"
Pertanyaan Arrazi menginterupsi penjelasan Daniah atas keterlambatannya. Sudag 4 kalinya gadis itu menelan salivanya karena kalimat yang di ucapkan Arrazi. Menyakitkan sekali.
"Dongeng apanya? Orang itu kisah nyata!" gerutu Daniah dalam hati.
"Temuin Ghaniyyah. Tugas kamu sudah saya titip ke dia." lanjut Arrazi.
"Ghaniyyah dimana, Do....Dokter?"
"Cari sendiri."
Daniah mengumpat tanpa suara setelah dirinya keluar dari ruangan Arrazi. Sambil menatap pintunya, giginya bergemeretak dan tangannya mengepal kuat, hingga buku-buku jarinya memutih.
"Liat aja, gue bale lo suatu hari nanti!"
"Gila! Dokter gila! Galak! Buas!!!"
"Hhhsss......Astagfirullah, sabar Nia....sabar....nggak papa. Masih ada 19 bulan lagi lo ngadepin demit itu! Nggak papa.....sabar, rileks...huuu haaa."
Kali ini Daniah mengelus dada sambil menghela nafasnya, mencoba menenangkan diri. Kemudia meninggalkan tempatnya mengumpat tanpa suara, menuju ruangan yang sudah di beri tahi oleh Ghaniyyah lewat chat. Ghaniyyah sedang berjaga di IGD.
Saat masuk ke ruangan IGD, Daniah sudah berganti pakaian dengan menggunakan baju seragam koasnya berwarna biru. Sedangkan jas putih bertengger di bahu kirinya. Daniah langsung duduk di samping Ghaniyyah yang saat itu sedang mencatat.
"Gila Ghaniyyah, kayaknya Dokter Arrazi itu titisan dajjal buat nguji gue deh." keluh Daniah sambil menghela nafas dengan penggung yang menyender di bahu kursi sambil bersedekap tangan didada.
Beruntung di ruangan itu hanya ada mereka berdua. Karena Halwa dan Ghazalah sedang membantu pasien pindah ke ruang inap. Sedangkan Bahi, Bariq dan Huwaida ada tugas di ruang lain. Sedangkan pegawai yang lain sibuk di tempatnya masing-masing. Jadi, Daniah bisa melampiaskannya.
"Titisan Dajjal mah ngujinya pake cara halus Nia, mereka......"
"Nah, berarti dia lebih parah dari pada titisan Dajjal." Daniah menginterupsi kalimat Ghazalah.
"Gue heran deh Ghazalah, emaknya ngidam apa sih waktu hamil dia. Sampe punya anak garang begitu! Mana tadi gue ceritain kan, alesan kenapa gue datang terlambat, eh dia malah nganggep gue lagi ngedongeng. Mana gue nggak diizinin duduk lagi. Sumpah, pengen gue kunyah ginjalnya." ujar Daniah berapi-rapi.
Menghadapi laki-laki macam Arrazi benar-benar menguras emosi dan kesabarannya.
"Psikopat lo, Nia." cibir Ghazalah. Ia masih mendengar keluhan temannya itu meskipun samnil merekap laporan.
Daniah memajukan badannya. Menggeser kursi yang didudukinya agar lebih dekat dengan meja, sehingga ia dapat duduk dengan posisi nyaman, setelah Ghazalah memberikan map berwarna hijau yang di titipi oleh Arrazi untuk Daniah.
Daniah mengoceh lagi sambil mencatat.
"Sumpah Ghazalah. Gue kesel banget sama itu makhluk. Namanya aja bagus, Arrazi. Tapi attitudenya Arrazong!"
"Nia......."
"Keknya Arrazong emang lebih cocok sih sama karakter Dokter galak itu.....aaoouu Ghazalah! Lo kenapa nyubit gue?" omel Daniah karena perutnya tiba-tiba di cubit oleh Ghazalah.
Namun segera bibir Daniah membungkam saat kepalanya berputar mengikuti arah pandangan mata Ghazalah yang mengarah kebelakangnya. Pulpen yang berada di tangannya terlepas begitu saja.
"Mati gue!" rutuk Daniah dalam hati melihat sosok laki-laki yang sedang ia maki ada di belakangnya.
Laki-laki yang memiliki tinggi 190 itu berdiri tegap sambil bersedekap tangan, tak ketinggalan tatapan tajamnya bagaikan belati yang siap menusuk setiap inci tubuh kecil Daniah itu, menatap manik mata Daniah dengan lekat.
Entah dari kapan makhluk itu berada di belakang Daniah. Daniah tak tahu. Nyali Daniah langsung menciut, kini mulutnya kelu, tenggorokannya terasa tercekat, badannya pun panas dingin.
"Lanjutin makian kamu, saya mau dengar." sindir Arrazi. Nada bicaranya memang datar, tapi menusuk.
"Ma.......maaf Do......Dokter....." cicit Daniah setelah ia beranjak dari kursinya, berdiri dan menundukkan kepalanya didepan Arrazi.
Hal itu pun di lakukan Ghazalah, namun ia hanya diam saja. Tapi ikut merasa bersalah karena tidak menghentikan makian Daniah terhadap Dokter pembimbingnya itu. Satu menit ruangan itu senyap, tak ada yang mengatakan sepatah katapun.
Daniah maupun Ghazalah tetap dalam posisinya berdiri sambil menundukkan kepalanya. Sedangkan Arrazi masih menatap tajam ke arah gadis yang berada di depannya.
"*Immortal girl*!" ucap Arrazi dengan sarkas. Daniah menelan salivanya mendengar ucapan Arrazi yang di tunjukkan untuk dirinya.
Arrazi mengalihkan tatapannya dari Daniah ke Ghazalah.
"Ghazalah, berikan laporan hasil rekapnya ke Dokter Bari." ujar Arrazi dengan nada bicara lebih lembut dari sebelumnya, meskipun masih terdengar ketusnya.
"Ba.......Baik Dokter."
Daniah dan Ghazalah baru bisa duduk setelah Arrazi keluar dari ruangan. Berbeda dengan Ghazalah yang kembali sibuk dengan rekapan laporan, Daniah malah merasakan tubuhnya lemas lunglai bagai jeli. Kepalanya mendarat di atas meja.
Dua kata yang di ucapkan Arrazi masih tergiang di telinganya dan langsung menusuk ke dalam hatinya. Apakah Daniah sangat kelewatan sampai Arrazi mengatakan hal itu? Sepertinya iya.
"Mati gue! Mati gue!" Daniah merutuki dirinya sendiri, sambil membenturkan keningnya di meja.
Sikap Arrazi kepadanya yang pasti akan semakin menjadi-jadi, bahkan bisa lebih dari sekedar kebencian Arrazi kepada dirinya. Apalagi dia menyebut Daniah tidak bermoral. Apakah itu akan mempengaruhi penilaian hasil koasnya selama 2 tahun?
"Nia, gue saranin lo minta maaf lagi sana sama Dokter Arrazi, bawa buah kek atau bunga." ujar Ghazalah, kasihan melihat Daniah yang sedang nelangsa. Daniah saat ini berada di dalam masalah besar. Apalagi menyangkut dengan Dokter Arrazi. Dokter pembimbingnya.
"Lo kira gue berantem sama pacar, pake bawain bunga atau coklat!" omel Daniah.
Ghazalah meringis.
"*Salah gue ngasih saran" gumamnya dalam hati*.
"Ya udah sana minta maaf lagi."
"Gue udah nggak punya muka di depan dia, Ghazalah."
ha..ha...ha