KESHI SANCHEZ tidak pernah tahu apa pekerjaan yang ayahnya lakukan. Sejak kecil hidupnya sudah bergelimang harta sampai waktunya di mana ia mendapatkan kehidupan yang buruk. Tiba-tiba saja sang ayah menyuruhnya untuk tinggal di sebuah rumah kecil yang di sekelilingnya di tumbuhi hutan belukar dengan hanya satu orang bodyguard saja yang menjaganya.
Pria yang menjadi bodyguardnya bernama LUCA LUCIANO, dan Keshi seperti merasa familiar dengan pria itu, seperti pernah bertemu tetapi ia tidak ingat apa pun.
Jadi siapakah pria itu?
Apakah Keshi akan bisa bertahan hidup berduaan saja bersama Luca di rumah kecil tersebut?
***
“Kamu menyakitiku, Luca! Pergi! Aku membencimu!” Keshi berteriak nyaring sambil terus berlari memasuki sebuah hutan yang terlihat menyeramkan.
“Maafkan aku. Tolong jangan tinggalkan aku.” Luca terus mengejar gadis itu sampai dapat, tidak akan pernah melepaskan Keshi.
Hai, ini karya pertamaku. Semoga kalian suka dan jangan lupa untuk selalu tinggalkan jejak🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fasyhamor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukankah Aku Temanmu?
Keshi di larikan kerumah sakit terdekat, mereka menempuh waktu selama 16 menit. Bowen menyetir, sedangkan Luca berada di sebelah Bowen. Tangan pria itu membalas genggam tangan Keshi yang duduk di kursi penumpang belakang.
Rio berada di sebelah putrinya, mengelus puncak kepala anaknya dengan sayang. Bulir-bulir keringat membasahi pakaian dan wajah Keshi. Selama perjalanan mereka, gadis itu terus menggenggam tangan Luca.
Luca sempat melepas pegangan itu, tetapi Keshi menangis dan mengatakan, “jangan dilepas, Luca.”
16 menit terlewati, Rio segera menggendong tubuh putrinya menuju bangsal pasien dan membawanya menuju ruang gawat darurat.
“Mohon tunggu di luar.” seorang perawat membentangkan kedua tangannya di hadapan Rio dan Luca.
“Tolong selamatkan putriku.” pinta Rio.
“Kami akan mengusahakan yang terbaik, Sir.” jawab perawat tersebut sebelum masuk ke dalam ruang operasi.
Luca bersandar pada tembok, ia mengusap wajahnya berkali-kali dengan telapak tangannya. Luca benar-benar takut jika sesuatu terjadi pada Keshi.
“Bisakah kamu menjelaskan semua yang terjadi dalam rumah itu?” Rio mengembuskan napas panjang sebelum bertanya pada Luca.
Bodyguardnya itu menegapkan tubuhnya saat berhadapan dengan Rio.
“Nona Keshi berada di kamar Nina, sedangkan saya berada di ruang tamu karena Mikael mengajak saya mengobrol. Saya tahu itu sedikit aneh, Mikael memang sudah membuat rencana matang. Membiarkan putrinya bersama dengan Nona Keshi supaya putrinya bisa mencelakai Nona Keshi. Lalu pria itu menyerang saya, dan untungnya saya bisa melawan.” Luca menjeda sejenak.
“Saya berhasil menembak bahu dan punggung Mikael, tapi dis berhasil kabur. Saya bahkan baru menyadari bahwa di rumah itu tidak ada satupun pelayan atau para penjaga, seolah sudah di rencanakan dengan matang-matang untuk membunuh saya dan Nona Keshi. Mikael berhasil kabur lewat rumah belakangnya, dengan kondisi seperti itu saja dia tidak peduli dengan putrinya.” Luca melanjutkan sambil menghela napas panjang.
Luca terhenyak sejenak, baru menyadari dia bisa berbicara sepanjang ini. Bahkan dirinya saat melapor pada oknum lain saja ia tidak pernah mengucapkan kalimat sepanjang ini.
“Mikael, dia benar-benar bajingan.” Rio mengumpat, kakinya menendang kursi panjang yang ada di sana.
“Sebelum penembakan dan tikaman itu, Mikael menghidangkan makanan seafood untuk Nona Keshi.” celetukan Luca membuat Rio melebarkan matanya.
“Apa?!”
“Saya tahu ada yang salah saat melihat nona Keshi yang tegang ketika melihat makanan itu, saya berpikir dia mempunyai alergi. Saya sudah mencoba melarangnya memakan itu, tapi dia tetap memakannya.” jawab Luca.
Rio mengusap wajahnya. “Dia memang anak yang keras kepala, itu karena dia tidak ingin membuat perasaan Mikael dan temannya terluka.”
Luca mengangguk, jawaban itu sama seperti jawaban Keshi saat keduanya berada di toilet. Ah, benar, toilet. Haruskah Luca melaporkan bahwa dirinya sudah mencium nona majikannya sendiri?
“Aku sudah menyuruh Dante untuk mengejar si bajingan itu.” Rio mengotak-atik ponselnya.
“Biarkan saya juga mengejarnya.” Luca mengajukan diri.
Rio menggeleng.
“Tidak. Kamu tetap di sini untuk menjaga putriku sampai operasinya selesai.” ucap Rio sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.
“Ya? Anda ingin kemana?” tanya Luca.
“Aku akan pergi kerumah mereka dan menangkap putrinya. Kamu di sini saja, Luca. Putriku sepertinya membutuhkanmu.” Rio mengulas senyum tipis pada bodyguard putrinya itu.
Sebelum mendengar perkataan Luca, Rio segera berjalan cepat menuju luar rumah sakit.
Luca mendongak, menatap langit-langit rumah sakit. Tubuhnya kembali bersandar pada tembok dengan bersedekap dada. Jantungnya berpacu cepat, merasa takut dengan kondisi seorang gadis di dalam ruang operasi.
...\~\~\~...
Ini sudah lebih dari lima jam sejak operasi itu telah selesai. Rio belum kembali ke rumah sakit ini. Luca sudah mengabarinya, tetapi pesan itu belum juga di baca oleh Rio.
Sebelumnya seorang dokter meminta untuk berbicara pada wali pasien, tetapi Rio masih belum datang. Jadi dokter tersebut mau tidak mau mengatakannya pada Luca.
Kini Luca sedang berada di dalam ruang inap milik Keshi, duduk pada kursi di sebelah ranjang pasien. Menatap lekat deru napas tenang gadis itu serta kedua matanya yang masih terpejam erat, seolah nyaman untuk terus tertidur.
Beberap kali jari tangan Luca mengelus dan mengetuk pipi Keshi, berharap bisa membangunkan gadis itu dari tidurnya.
Luca menghela napas panjang, ia memejamkan matanya erat. Lelah dan takut masih menumpuk di tubuhnya.
“L-luca ….. “
Suara lirih Keshi membuat Luca membuka matanya cepat. Tubuhnya bangkit dan berdiri di dekat ranjang pasien tersebut.
“Nona Keshi, apa kamu merasakan sesuatu? Sakit? Atau butuh sesuatu yang lain?” Luca meledakkan banyak pertanyaan saat melihat kedua mata gadis itu telah terbuka sempurna.
“Aku…aku tidak apa-apa. Luca, aku ingin minum.” pinta gadis itu.
Luca menoleh, menatap segelas air yang ada di atas nakas sebelah ranjang, lalu meraih dan menyodorkannya kehadapan Keshi. Sepelan mungkin pria itu membawa tubuh Keshi untuk duduk, satu tangannya berada di punggung gadis itu, sedangkan satu tangannya yang lain sedang membawa gelas itu kemulut Keshi.
Luca menaruh gelas itu kembali keatas nakas dan membaringkan lagi tubuh mungil Keshi.
“Apa kamu butuh sesuatu lagi?” tanya Luca.
Keshi tidak langsung menjawab, matanya terlihat kosong menatap pada langit-langit kamar inapnya.
“Ayahku?” akhirnya gadis itu membuka suara lagi.
“Tuan Sanchez pergi karena ada urusan lain, dia akan secepatnya datang kemari.”
“Apa ayah sedang melukai Nina karena Nina melukaiku?” tanya Keshi, menatap mata Luca dengan raut wajah datar.
“Dia harus mendapatkan ganjarannya.” jawab Luca tegas.
“Kamu ‘kan sudah menembak kakinya.”
“Itu tidak setimpal, dia sudah selalu mencoba melukaimu. Seperti menyediakan makanan seafood itu.” jawab Luca.
Keshi terdiam, kedua matanya memerah seakan ingin menangis.
“Nina sudah menjadi temanku sejak kecil. Dia teman satu-satunya yang aku miliki hingga sekarang. Mengapa dia bisa melakukan hal itu kepadaku? Aku tidak memiliki teman lagi sekarang.” air mata gadis itu luruh, jatuh dan membasahi wajahnya.
Luca mengelap air mata Keshi, membersihkannya dengan ibu jarinya. “Kamu masih memiliki teman. Bukankah aku temanmu?” pria itu tersenyum tipis, untuk pertama kalinya Luca memberikan senyuman tanpa paksaan.
“Luca … “ gadis itu terus menangis dan terisak sehingga wajahnya bersimbah oleh air mata.
“Kamu tidak sendirian, ada aku yang akan selalu berdiri di sisimu.”
...\~\~\~...
Rio memasuki rumah besar itu, rumah Mikael dan Nina. Pria paruh baya tersebut menginjak sebatang rokok di bawah kakinya sebelum melangkah tegas memasuki rumah tersebut
Matanya langsung mendapati seorang gadis dengan kedua tangan yang sudah terikat kuat di belakang tubuhnya. Kakinya yang sebelumnya di tembak oleh Luca, sudah di obati oleh anak buah Rio.
“Nina. Nina. Nina.” Rio berdecak, duduk di sofa ruang tamu, berhadapan dengan kursi yang mengikat tubuh Nina.
“Mari kita saling berbincang, bukankah sudah lama kita tidak bertemu dan mengobrol, nak?”