Andai hanya KDRT dan sederet teror yang Mendung dapatkan setelah menolak rencana pernikahan Andika sang suami dan Yanti sang bos, Mendung masih bisa terima. Mendung bahkan tak segan menikahkan keduanya, asal Pelangi—putri semata wayang Mendung, tak diusik.
Masalahnya, tak lama setelah mengamuk Yanti karena tak terima Mendung disakiti, Pelangi justru dijebloskan ke penjara oleh Yanti atas persetujuan Andika. Padahal, selama enam tahun terakhir ketika Andika mengalami stroke, hanya Mendung dan Pelangi yang sudi mengurus sekaligus membiayai. Fatalnya, ketidakadilan yang harus ia dan bundanya dapatkan, membuat Pelangi menjadi ODGJ.
Ketika mati nyaris menjadi pilihan Mendung, Salman—selaku pria dari masa lalunya yang kini sangat sukses, datang. Selain membantu, Salman yang memperlakukan Mendung layaknya ratu, juga mengajak Mendung melanjutkan kisah mereka yang sempat kandas di masa lalu, meski kini mereka sama-sama lansia.
Masalahnya, Salman masih memiliki istri bahkan ... anak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bukan Emak-Emak Biasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua
“Bunda, tolong buka matamu. Tolong dengarkan aku! Setelah ini, Bunda harus bercerai dari ayah. Bunda ... Bunda masih bisa mendengarku, kan?”
Tangis kepedihan Pelangi sang putri membuat kesadaran Mendung, kembali terisi. Mendung terkapar di lantai ruang tamu setelah dihajar Andika sang suami. Pria yang usianya sudah lima puluh tahunan itu menghajar Mendung hingga sekarat, hanya karena Mendung menentang rencana pernikahan baru Andika.
Masalahnya, Mendung tak mungkin bercerai karena Pelangi akan menikah dalam waktu dekat. Adat pernikahan yang mengikat, menjadikan syarat orang tua pihak Pelangi harus ‘utuh’ jika Pelangi ingin melanjutkan rencana pernikahannya.
Padahal dulu, Pelangi yang selalu memohon kepada Mendung agar bundanya tetap bertahan. Apa pun yang terjadi, Pelangi selalu memohon agar bundanya tidak pernah bercerai dari sang ayah. Pelangi selalu meyakinkan, akan ada masa hati ayahnya menjadi lembut, menjadi ayah-ayah penyayang seperti mereka di luar sana. Terlebih setelah sang ayah mengalami kecelakaan lalu lintas fatal dan membuat pria itu stroke. Sedangkan keluarga Andika yang selalu dibela, langsung menjauh tanpa ada satu pun yang peduli, walau hanya memberikan bantuan tenaga.
Setelah mengalami kecelakaan dan sempat terkena saraf kejepit dan juga tukak lambung secara bersamaan, Andika memang jadi agak lembut. Pria itu kerap diam-diam menangis dan tampak sangat nelangsa. Terlebih selain hanya Mendung dan Pelangi yang peduli, ekonomi keluarga mereka jadi benar-benar terpuruk karena biaya pengobatan Andika tidak lah sedikit.
“Bunda, ayah benar-benar sudah berubah. Alhamdullilah akhirnya kita bisa, Bunda!” ucap Pelangi kala itu ketika Andika yang sakit parah, mulai sepenuhnya bergantung sekaligus peduli kepada mereka.
Semula, hubungan mereka sungguh baik-baik saja. Pelangi apalagi Mendung tidak pernah mempermasalahkan hutang menggunung yang melilit mereka untuk biaya pengobatan Andika. Mereka mau-mau saja bekerja keras tanpa kenal waktu agar hasilnya bisa untuk mencicil hutang. Namun, justru Andika yang kelabakan. Apalagi setelah Andika bekerja dan langsung dekat dengan bosnya yang statusnya janda. Beberapa kali terdengar pula hubungan keduanya yang sudah menjadi obrolan hangat tetangga.
***
Tiga hari sudah kejadian itu berlalu. Mendung juga sudah diizinkan pulang dari puskesmas, sementara Andika tak lagi di rumah. Andika dibawa Yanti sang bos, dan tak lain merupakan wanita yang akan Andika nikahi. Yanti yang masih muda dan kiranya baru berusia di awal tiga puluhan itu dengan terang-terangan mengumbar rasa cintanya kepada Andika.
Mendung memang sakit karenanya. Hati Mendung yang dipenuhi luka teriris pedih dibuatnya. Akan tetapi karena sudah terbiasa disakiti, rasa sakit itu akan pergi dengan sendirinya. Malahan, justru Pelangi yang jadi kerap tantrum dan kesulitan mengontrol emosi. Ditambah lagi, Mendung yakin hubungan terlarang antara Andika dan Yanti juga sudah terendus oleh pihak Rendy, calon suami Pelangi.
“Ikhlaskan, Ngi. Ikhlas ... ini sudah menjadi pilihan ayah.” Mendung duduk lemah di sudut kasur sembari menatap Pelangi yang sedang bersimpuh di hadapannya.
Sebagai bentuk dari penyesalannya karena terus meminta sang mama bertahan, anak gadisnya yang tahun ini akan genap berusia dua puluh empat tahun itu, mencuci kedua kaki Mendung. Berulang kali Pelangi memohon maaf.
“Pokoknya Bunda harus cerai dari ayah, Nda. Harus! Jijik banget aku lihat kelakuan ayah! Tega banget ayah. Aku jijik, Nda ... aku jijik banget ke ayah!”
Layaknya ketika dulu memohon agar Mendung tidak pernah bercerai dari Andika, begitu pula yang Pelangi lakukan agar Mendung segera bercerai dari sang ayah.
Mendung yakin, keputusannya bertahan tidak bercerai agar membuat putri semata wayangnya merasakan keutuhan keluarga, malah berakhir fatal. Putrinya tidak baik-baik saja. Padahal tak ada satu bulan lagi, harusnya putrinya itu menikah. Harusnya, kini menjadi saat-saat bahagia putrinya.
“Dulu, Bunda selalu mengingatkan, akan ada masa kamu justru menjadi yang paling terluka karena keputusan Bunda tetap bertahan, Ngi. Luka Bunda mungkin tak seberapa karena Bunda sudah terbiasa merasakannya. Namun lukamu, ditambah lagi kamu akan menjalani pernikahan juga,” lembut Mendung sembari membelai kepal sang putri penuh kasih sayang. Hanya itu yang mampu ia berikan karena harta bendanya sungguh tak tersisa habis untuk pengobatan Andika.
“Satu yang Bunda minta dari kamu, Ngie. Jangan pernah trauma, jangan pernah takut bercerai. Karena meski Allah membenci perceraian, Allah tetap lebih membenci umatnya yang saling menyakiti!” Walau begitu, dalam hati Mendung berdalih, “Walau buah busuk bisa jatuh dengan sendirinya. Ya Allah ... izinkan aku membalas luka seumur hidup yang sudah Andika torehkan kepada Pelangi putriku. Biarkan aku membalasnya!”
Tentu Mendung masih ingat, kala awal ia hamil. Sekitar dua puluh tujuh tahun lalu, kabar kehamilan Mendung setelah dua tahun lebih menikah dengan Andika. Alih-alih disambut baik, Mendung justru diamuk.
“Goblok kamu! Aku kan sudah bilang, jangan hamil. Jangan pernah hamil! Nambah beban hidup saja!” ucap Andika tak segan menempeleng Mendung.
Padahal Mendung berpikir, pria pilihan bapaknya itu tidak pernah benar-benar menginginkannya tidak pernah hamil. Mendung sengaja diam-diam tak KB, agar dirinya hamil. Karena setelah mendengar banyak masukan orang-orang terdekatnya, biasanya kehamilan akan membuat suami kasar dan malah sibuk mengurus keluarga sendiri, jadi berubah lebih peduli kepada Mendung dan kehamilannya. Namun nyatanya sungguh tidak. Andika tetap menganggap Mendung bahkan anak yang dikandung, sebagai orang lain yang hanya akan menambah beban hidupnya.
“Aku enggak mau tahu, urus bayi kamu sendiri! Aku sudah pusing, ... beban hidupku banyak!” Itulah jawaban Andika ketika Pelangi lahir dan sibuk menangis di malam harinya.
Saat itu juga, malam-malam dan posisinya sedang hujan disertai petir, Mendung sempat minggat sambil membawa Pelangi yang masih berupa bayi merah. Sebab penantian Mendung yang menunggu Andika akan berubah dan peduli kepadanya justru sia-sia.
Namun, sampai di rumah sang bapak, Mendung malah diusir. Pintu rumah itu tertutup. Saudara tirinya pun mengecam, menganggapnya istri tidak benar. Tentunya, predikat beban keluarga, juga sempat mereka sematkan kepada Mendung.
“Ya Allah ... hidupku kok enggak berguna banget!” batin Mendung yang kemudian berkata, “Nantinya Bunda ingin, ... jika apa yang Bunda alami juga sampai kamu alami, ... jangan pernah ragu untuk bercerai, Ngi. Ingat, berharap orang berubah untuk kita itu mustahil!”
“Enggak Nda, enggak. Aku yakin, mas Riky beda. Hal semacam yang Bunda alami pasti tidak akan terjadi kepadaku!” yakin Pelangi.
“Iya ... ini hanya andai, Ngi. Bukan berarti Bunda mendoakan kamu mengalami. Hanya untuk jaga-jaga. Karena Bunda sudah mengalaminya sendiri. Tiga puluh tahun Bunda menunggu.”
Ketika Mendung masih memberi arahan Pelangi, dari luar seseorang ada yang menggedor pintu mereka. Gedoran yang makin lama makin keras dan terdengar tidak sabar. Tentu jika bukan karena terdesak, pengetuknya itu malah memiliki niat tidak baik.
“MENDUNG!”
“MENDUNG BUKA PINTUNYA JIKA KAMU TAK MAU PINTU RUMAH REOTMU INI AKU DOBRAK!”
Dan dibatalkanya jg baru aja kan