NovelToon NovelToon
WIDARPA

WIDARPA

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Horror Thriller-Horror / Anak Yatim Piatu / Pengasuh
Popularitas:705
Nilai: 5
Nama Author: Karangkuna

Renjana, seorang gadis muda yang baru saja pindah ke kota kecil Manarang, mulai bekerja di panti asuhan Widarpa, sebuah tempat yang tampaknya penuh dengan kebaikan dan harapan. Namun, tak lama setelah kedatangannya, ia merasakan ada yang tidak beres di tempat tersebut. Panti asuhan itu, meski terlihat tenang, menyimpan rahasia gelap yang tak terungkap. Dari mulai bungkusan biru tua yang mencurigakan hingga ruangan misterius dengan pintu hitam sebagai penghalangnya.

Keberanian Renjana akan diuji, dan ia harus memilih antara melarikan diri atau bertahan untuk menyelamatkan anak-anak yang masih terjebak dalam kegelapan itu.

Akankah Renjana berhasil mengungkap misteri yang terkubur di Widarpa, atau ia akan menjadi korban dari kekuatan jahat yang telah lama bersembunyi di balik pintu hitam itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

WIDARPA 11

Renjana merasa ketegangan merayap di tubuhnya, jantungnya berdegup lebih cepat. Suasana yang awalnya tenang kini terasa mencekam. Tangisan bayi yang sempat terdengar tadi masih bergema dalam pikirannya, meski kini suara itu sudah menghilang. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres, dan ketakutan mulai mengambil alih rasa penasarannya.

Dengan langkah cepat, Renjana berbalik dan berjalan menjauh dari pintu hitam itu. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah lorong itu semakin panjang dan gelap. Dia berusaha menenangkan diri, mengingatkan dirinya bahwa mungkin hanya imajinasinya yang bermain-main, tetapi perasaan aneh itu tetap menyelubungi dirinya.

Setelah beberapa langkah, Renjana akhirnya sampai di pintu utama lagi,  merasa lega bisa keluar dari lorong yang begitu sunyi dan misterius. Namun, pikirannya masih dipenuhi oleh suara tangisan bayi yang mengganggu.

Renjana menyapa ramah wanita muda yang duduk di meja resepsionis dan melirik sekilas kembali ruangan yang ada diujung koridor tadi, lalu dengan cepat membuka pintu utama dan melangkah keluar.

Renjana menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri di tengah kesunyian yang mencekam. Setiap suara angin yang berdesir di antara pepohonan terasa begitu keras, sementara kesunyian seolah menekan napasnya. Matanya memandangi jalanan sepi yang mengarah ke hutan, berharap ada tanda-tanda kehidupan yang akan datang menghampiri.

Tiba-tiba, dari kejauhan, suara klakson mobil terdengar, memecah keheningan. Renjana segera menoleh, melihat angkot Pak Benos yang melaju menuju pos kecilnya. Dengan lega, dia segera berdiri dan melangkah cepat menuju angkot, berterima kasih dalam hati bahwa akhirnya dia bisa meninggalkan tempat itu yang terasa begitu menakutkan.

Renjana terbaring diam, matanya fokus menatap langit-langit kamar yang tampak suram. Di dalam pikirannya, berbagai pertanyaan bergulir, mengisi ruang yang sepi. Apakah keputusan ini benar? Apakah dia sudah siap dengan kehidupan baru di tempat yang asing ini? Rasa ragu perlahan merayap, membuat perasaan tidak nyaman mengisi dadanya.

Dia menggulung tubuhnya sedikit, meraih bantal dan memeluknya erat. Ada kerinduan terhadap masa lalu, terhadap ibunya yang tak lagi ada. Keputusan untuk pindah ke Manarang, bekerja di panti asuhan, terasa seperti langkah yang tiba-tiba, tapi dia tahu dia butuh perubahan, butuh melanjutkan hidup, meski itu berarti harus menghadapi banyak ketidakpastian.

Namun, satu hal yang pasti—Renjana tidak bisa kembali. Dia harus terus maju, menghadapi setiap tantangan yang datang. Tapi apakah dia akan menemukan kedamaian di sini? Ataukah hanya sekadar pelarian sementara dari kehidupan yang sebenarnya?

Renjana menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan pikiran yang berputar. Mungkin waktu yang akan menjawab.

Renjana masuk ke dalam warung kopi kecil yang hangat itu, melihat beberapa meja kayu dan kursi sederhana yang terletak di sudut ruangan.

Warung kopi ini adalah jenis tempat yang sederhana, khas angkringan yang banyak ditemukan di berbagai sudut kota kecil. Begitu Renjana melangkah masuk, suasana hangat langsung menyambutnya. Warung ini terletak di pinggir jalan kecil yang ramai, meskipun tidak terlalu besar, tetapi terasa hidup dengan banyak orang yang duduk bersama menikmati secangkir kopi atau secuil makanan ringan.

Dinding warung terbuat dari kayu yang sudah mulai pudar warnanya, di beberapa sudut terlihat sedikit keropos, namun tetap terjaga dengan baik. Di sepanjang dinding ada beberapa gambar-gambar lawas yang terbingkai kayu, menambah kesan nostalgia. Lampu-lampu neon yang sedikit redup tergantung di langit-langit, memberikan cahaya yang cukup meskipun agak kuning, memberikan nuansa temaram yang hangat.

Di bagian depan, di sebelah kiri warung, terdapat meja panjang dari kayu yang dipenuhi dengan deretan cangkir-cangkir kecil berbentuk unik, semuanya berwarna putih dengan motif biru yang sudah usang. Di atas meja itu, ada juga beberapa mangkok kecil berisi sate usus atau sate telur puyuh yang sedang dipanggang, aromanya menggugah selera. Di meja sebelahnya, ada beberapa tumpukan koran dan majalah yang sudah agak kuno, yang bisa dibaca oleh siapa saja yang ingin menghabiskan waktu.

Di tengah warung, ada sebuah gerobak besar yang diisi dengan berbagai macam makanan ringan khas angkringan seperti tahu goreng, tempe mendoan, gorengan pisang, serta beberapa jenis keripik. Semua makanan ini digantung dengan menggunakan batang kayu panjang, dipasang di atas meja agar pelanggan bisa memilih sesuai selera.

Di sudut lainnya, ada kompor kecil dengan dapur sederhana, di mana kopi sedang diseduh dengan metode tradisional menggunakan filter kain. Wangi kopi yang kuat langsung tercium begitu pintu warung terbuka. Kopi itu disajikan dengan cara yang khas, dalam cangkir-cangkir kecil, dengan gula batu atau gula merah sebagai pemanisnya.

Meja-meja dan kursi yang ada sebagian besar terbuat dari bambu atau kayu lapuk, dan tak jarang ada orang-orang yang duduk lesehan di tikar yang tersebar di beberapa sudut. Para pengunjung sebagian besar adalah warga sekitar yang datang untuk bercakap-cakap, menikmati suasana santai sambil meminum kopi. Beberapa orang terlihat sudah akrab dengan pemilik warung, menyapa dengan ramah, sementara yang lainnya lebih memilih duduk diam, menikmati kopi dan suasana yang tenang.

Suara obrolan yang bersahabat, diselingi dengan tawa dan terkadang gesekan sendok dan cangkir, menambah kehangatan suasana. Beberapa orang terlihat sibuk mengunyah gorengan atau mencocol sambel kacang, sementara yang lainnya sesekali melirik jam dinding besar di sudut warung.

Di salah satu meja, seorang wanita muda dengan jas dokter duduk sendirian, memegang secangkir teh hangat sambil menatap pemandangan luar. Renjana mendekat, merasa sedikit canggung, namun wanita itu menoleh ke arahnya dan tersenyum ramah.

"Hai, aku belum pernah melihatmu, baru tiba di sini?" tanya wanita itu, suara lembut dan penuh kehangatan.

Renjana sedikit terkejut, tapi tersenyum malu-malu. "Iya, saya Renjana. Saya baru sampai kemarin. Maaf, Anda?"

"Aku Dokter Gema. Senang bertemu denganmu." Dia menggeser kursi di depannya. "Ayo duduk, saya baru saja memesan kopi."

Renjana duduk dengan hati-hati, merasa sedikit canggung namun tersenyum karena keramahan Dokter Gema. “Terima kasih,” jawabnya.

“Bagaimana hari pertamamu di sini? Semoga tidak terlalu berat,” tanya Dokter Gema sambil menatap Renjana dengan penuh perhatian.

Renjana mengangguk, masih sedikit bingung dengan suasana baru di Manarang. “Ada banyak yang harus saya sesuaikan. Rasanya berbeda, tapi... saya coba menikmati hari pertama.”

Dokter Gema tersenyum hangat, tampaknya mengerti. "Manarang memang berbeda. Saya sendiri baru dua tahun di sini, dan awalnya saya merasa seperti kamu. Tapi, lama-lama tempat ini memberi ketenangan tersendiri. Kota ini kecil, tapi ada banyak cerita yang bisa kita dengar dan nikmati.”

Renjana mendengarkan dengan seksama. “Saya baru saja merasa… agak canggung. Tempatnya kecil, orang-orangnya pun… berbeda dari yang saya kenal.”

"Saya paham," kata Dokter Gema, sambil menatap secangkir kopinya. "Awal memang selalu terasa asing, terutama jika kita datang dari tempat yang jauh. Tapi, mungkin justru itu yang bisa membantu kita merasa lebih dekat dengan diri kita sendiri. Di sini, hidupnya lebih sederhana."

Renjana menghela napas dan tersenyum tipis. "Mungkin benar. Saya rasa saya masih perlu waktu untuk menyesuaikan diri."

Dokter Gema menatapnya dengan senyum penuh pengertian. "Kamu akan terbiasa. Dan kalau kamu butuh teman bicara, aku di sini. Siapa tahu kita bisa jadi teman," katanya sambil tersenyum lagi.

Renjana merasa sedikit lega mendengar itu. “Terima kasih, Dokter. Saya rasa saya bisa belajar banyak dari orang-orang seperti Anda.”

“Mungkin kita bisa bertemu lagi,” jawab Dokter Gema, “Dan jika kamu butuh sesuatu, jangan ragu untuk menghubungi saya.”

Renjana merasa senang karena pertemuan ini, merasa lebih ringan setelah berbicara dengan seseorang yang mengerti perasaannya. “Terima kasih banyak, Dokter Gema. Saya akan ingat itu.”

Senyum hangat Dokter Gema memberi rasa nyaman di hati Renjana saat dia bangkit untuk pergi. Warung kopi kecil itu, yang tadinya terasa asing, kini memberi kesan yang berbeda. Sepertinya Manarang bisa menjadi rumah baru, setelah semua.

1
Nicky Firma
awal yang bagus, ditunggu part selanjutnya
Karangkuna: terima kasih /Smile/
total 1 replies
Senja
bagus. lanjut thor
Karangkuna: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!