"Syukurlah kau sudah bangun,"
"K-ka-kamu siapa? Ini… di mana?"
"Tenang dulu, oke? Aku nggak akan menyakitimu.”
Ellisa memeluk erat jas yang tadi diselimuti ke tubuhnya, menarik kain itu lebih rapat untuk menutupi tubuhnya yang menggigil.
"Ha-- Hachiiih!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
membuat Sam merasa
Tanpa pikir panjang, Alana maju untuk melawan, tangannya mengepal siap melepaskan emosi yang telah lama ia pendam.
“Alana!” Suara bentakan Sam memecah ketegangan.
Alana berbalik, menatap kakaknya dengan mata berkilat penuh perlawanan. “Dia udah kelewatan, Kak!” teriaknya.
Namun, Siska malah menertawakan situasi itu bersama teman-temannya. “Lihat tuh, kakaknya aja temperamen banget. Kayak nggak ada bedanya sama adiknya,” katanya sambil tertawa mengejek.
Esa, yang berdiri di samping Sam, menepuk pundaknya pelan. “Santai, Sam. Lo harus tahan emosi. Jangan malah kasih mereka bahan buat ngeledek lo lebih jauh.”
Sam menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan amarahnya. Dia menatap Siska dengan dingin, lalu berkata dengan nada rendah namun penuh tekanan, “Kalau lo punya masalah sama Alana, selesaikan dengan cara yang benar. Tapi kalau lo masih mau cari gara-gara, gue nggak akan tinggal diam.”
Siska terlihat terkejut dengan perubahan sikap Sam, tapi dia menyembunyikannya dengan senyum sinis. “Terserah lo, tapi anak kayak Alana nggak akan berubah.”
Siska dan teman-temannya akhirnya pergi, meninggalkan Alana yang masih gemetar karena marah.
Sam menatap adiknya dengan tatapan tegas namun penuh kekhawatiran. “Alana, kakak ngerti kamu marah, tapi kamu juga harus bisa kendaliin dirimu. Jangan main fisik."
"Elo nasehatin gue kek gitu? Kakak nggak sadar? Kakak hampir selalu menampar aku tiap kali aku bikin masalah."
Sam tertegun mendengar ucapan Alana. Kata-kata itu seperti tamparan balik yang menghantam dirinya.
"Alana..." Sam berusaha memulai, suaranya lebih lembut kali ini, tapi Alana sudah melanjutkan dengan nada yang penuh luka.
"Kakak selalu bilang aku harus bisa kendalikan diri, tapi kakak sendiri nggak pernah kasih contoh. Tiap kali aku bikin masalah, kakak marah besar, bentak aku, bahkan—" Alana berhenti, suaranya bergetar. "Kakak hampir selalu mau mukul aku."
"Alana!" Bentak Sam.
"Kan?! Kakak bentak aku lagi."
Sam menelan ludah, "Kakak nggak bermaksud begitu. Kakak cuma—"
"Cuma apa? Cuma pengen aku nurut? Cuma pengen aku diem?" Alana memotong dengan nada tajam. Matanya berkilat, campuran antara amarah dan kesedihan. "Kakak nggak pernah ngerti kenapa aku bertingkah kayak gini."
Esa, yang menyaksikan dari samping, mencoba meredakan suasana. "Sam, mungkin lo perlu dengerin Alana dulu. Jangan langsung ngebantah. Kadang adik lo juga cuma pengen didengerin."
Sam memandang Esa sejenak, lalu menghela napas. Dia menatap Alana dengan lebih tenang. "Oke, Alana. Kalau kamu punya sesuatu yang pengen disampaikan, kakak dengerin sekarang."
Alana tampak terkejut, seolah tidak menyangka kakaknya benar-benar memberikan kesempatan untuk berbicara.
Dia menggigit bibirnya, ragu sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Aku cuma... Aku cuma pengen kakak lihat aku bukan cuma sebagai pembuat masalah. Aku pengen kakak ngerti kalau aku kayak gini karena aku ngerasa sendirian."
Kata-kata itu membuat Sam merasa seperti tenggelam dalam perasaan bersalah yang lebih dalam. "Sendirian? Tapi kakak selalu ada buat kamu, Alana."
"Tapi aku nggak ngerasa gitu," balas Alana pelan, matanya mulai berkaca-kaca. "Kakak sibuk kerja, dan kalaupun kita ketemu, kakak selalu marah-marah. Aku ngerasa nggak pernah cukup buat kakak."
Sam mengusap wajahnya, mencoba menahan perasaan yang membuncah di dadanya. "Alana, kakak nggak pernah maksud buat bikin kamu ngerasa kayak gitu. Kakak cuma pengen kamu jadi orang yang kuat, yang nggak gampang nyerah."
"Tapi cara kakak salah," sahut Alana dengan nada lirih. "Aku nggak butuh kakak marah-marah terus. Aku cuma butuh kakak ngerti perasaan aku."
Suasana menjadi hening. Esa memandang mereka berdua dengan tatapan prihatin, tidak ingin mengganggu momen itu.
Akhirnya, Sam melangkah mendekat, menempatkan tangannya di bahu Alana. "Kakak minta maaf, Alana. Kakak salah. Kakak janji, mulai sekarang kakak bakal lebih banyak dengerin kamu. Kakak bakal berusaha lebih sabar."
Alana menatap kakaknya, dan meskipun dia masih menyimpan sedikit keraguan, dia bisa merasakan ketulusan dalam suara Sam. Perlahan, dia mengangguk.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Sam menarik adiknya ke dalam pelukan.
Esa tersenyum kecil dari belakang. "Nah, gini dong. Akur kan enak dilihat."
Alana tersenyum tipis.
Esa mencoba mencairkan suasana dengan nada bercanda. “Kayaknya gue perlu ngajarin Alana teknik bela diri, tapi yang fokus buat nahan emosi. Gimana?”
Sam berdecak, "Nggak perlu bela diri-bela dirian segala!" Dengusnya.
Tiga teman sekelasnya, Cleonia, Nurin, dan Maya langsung menghampirinya dengan wajah penuh kekhawatiran bercampur rasa penasaran.
"Alana, elo kemana aja sih?" tanya Cleonia dengan nada setengah protes. "Ada tugas dari guru matematika, dan kalo elo nggak ada, elo bakal kena masalah lagi."
"Iya, tadi gue dipanggil ke ruang kepala sekolah bentar." Jawab Alana.
Namun, perhatian ketiga gadis itu segera teralihkan. Mereka terpaku ketika melihat dua pria tinggi dengan aura menawan berdiri di dekat Alana.
Sam dengan wajah tegas dan sedikit dingin, sementara Esa menyunggingkan senyuman khasnya yang membuatnya terlihat seperti model majalah.
Cleonia, Nurin, dan Maya saling pandang dengan mulut sedikit terbuka. Maya akhirnya berbisik, "Astaga, Alana. Mereka siapa?"
"Mereka..." Alana melirik ke arah Sam dan Esa dengan malas. "Kakak gue."
"Elo punya kakak sekeren ini? Oh-my-god! Super-duper wow!" seru Nurin dengan mata berbinar.
Esa memanfaatkan momen itu dengan sempurna. Dia melangkah maju dengan anggun, merapikan sedikit jasnya, dan memasang senyuman yang lebih menawan.
"Hai, nama gue Esa. Senang ketemu kalian." Suaranya lembut tapi penuh karisma, membuat ketiga gadis itu seolah lupa cara bernapas.
Cleonia yang biasanya tegas tiba-tiba menjadi gugup. "E-eh... Halo. Aku Cleonia, Kak."
"Dan aku Nurin!" potong Nurin, mengangkat tangannya seperti murid yang ingin menjawab pertanyaan guru.
Maya hanya tersenyum malu-malu, wajahnya memerah. "Maya."
Esa tersenyum lebih lebar, mengangguk sopan. "Nama-nama yang cantik, cocok sama pemiliknya."
Mata ketiga gadis itu langsung berbinar. Nurin bahkan menepuk lengan Cleonia, berusaha menahan teriakannya. "Astaga, Cleo, dia bilang kita cantik!"
Sam yang sedari tadi berdiri dengan tangan terlipat hanya menggelengkan kepala, menggerutu pelan. "Lo terlalu banyak gaya, Esa."
Esa melirik Sam dengan santai, lalu kembali menatap ketiga gadis itu. "Kalian temannya Alana, kan? Terima kasih sudah peduli sama dia. Dia butuh teman-teman baik kayak kalian."
Cleonia langsung berkata, "Pasti! Kita selalu ada buat Alana."
Sementara itu, Alana hanya menghela napas dan mengacak rambutnya. "Udah, cukup dramanya. Gue balik ke meja gue."
Namun, sebelum Alana pergi, Nurin menarik lengannya dan berbisik, "Alana, kenalin kita lebih deket dong sama kakak lo. Sumpah, dia kayak pangeran Disney!"
Alana mendelik. "Mereka cuma kakak, bukan barang pameran."
Esa, yang mendengar bisikan itu, hanya tertawa kecil. "Kapan-kapan gue main ke sekolah lagi deh, biar kita ngobrol lebih banyak."
Ketiga gadis itu mengangguk penuh semangat, sementara Sam hanya melirik Alana dengan tatapan lelah.
Esa hanya tersenyum tipis dan melangkah pergi bersama Sam, meninggalkan kesan mendalam di hati ketiga siswi itu.
"Hari ini rasanya kayak mimpi," bisik Nurin sambil menatap punggung Esa yang perlahan menjauh.
BTW gantian ke cerita ku ya Thor. Poppen. Like dn komen kalo bs. /Grin/