aku berdiri kaku di atas pelaminan, masih mengenakan jas pengantin yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya. tamu-tamu mulai berbisik, musik pernikahan yang semula mengiringi momen bahagia kini terdengar hampa bahkan justru menyakitkan. semua mata tertuju padaku, seolah menegaskan 'pengantin pria yang ditinggalkan di hari paling sakral dalam hidupnya'
'calon istriku,,,,, kabur' batinku seraya menelan kenyataan pahit ini dalam-dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dia suamiku
Alda membelalakkan mata. jantungnya berdegup lebih kencang. ia buru-buru mengalihkan pandangannya ke jendela, pura-pura fokus melihat pemandangan luar, "a-apa sih, Ram? jangan bercanda," elaknya gugup.
tapi Rama tidak menggubris penyangkalannya. ia justru menikmati bagaimana wajah Alda semakin memerah, "aku tidak bercanda, Da. aku hanya memastikan jika tebakan Arya itu benar atau tidak," ujarnya santai, tapi dengan nada menggoda.
Alda meremas rok panjangnya, berusaha menyembunyikan kegugupannya, "udah, fokus nyetir aja. sebentar lagi kita sampai," ucapnya cepat, berharap bisa mengalihkan pembicaraan.
Rama terkekeh pelan, tapi ia menurut. ia kembali menatap ke depan, meski senyuman di wajahnya tak kunjung hilang. sejak tadi, ia hanya berniat menggoda Alda. tapi reaksi spontan wanita itu malah membuatnya semakin yakin akan sesuatu.
mobil pun tetap melaju, namun suasana di dalamnya kini terasa berbeda, lebih hangat, lebih berdebar. dan Alda tahu, ini bukan lagi sekadar perjalanan biasa.
******
begitu tiba di sekolah, Alda langsung menunjuk ke arah area parkir khusus guru.
"langsung masuk ke parkiran guru saja, Ram," ucapnya, sambil menepuk ringan lengan suaminya.
Rama menurut dan mengarahkan mobilnya ke sana. setelah mematikan mesin, mereka berdua turun. namun, baru beberapa langkah, Rama tiba-tiba berhenti dan menatap ke arah gedung sekolah dengan ekspresi sedikit canggung. dari dalam aula, suara riuh dari dalam semakin jelas, ada musik yang mengalun, serta gelak tawa saling bersahut, menciptakan suasana meriah yang begitu hidup.
Alda menyadari perubahan sikap suaminya dan segera menoleh. "ada yang membuatmu ragu?" tanyanya dengan nada lembut.
Rama terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas. "aku hanya merasa kurang percaya diri. aku bukan seorang guru, Alda. takutnya, nanti aku tidak bisa menyesuaikan diri dengan teman-temanmu."
Alda tersenyum kecil, memahami kekhawatiran suaminya. ia melangkah mendekat dan menatap suaminya dengan lembut. "kamu tidak perlu khawatir. mereka bukan orang-orang yang sulit diajak berbicara. lagi pula, aku akan berada di sampingmu selama acara berlangsung. jika merasa tidak nyaman, kita bisa mencari tempat yang lebih tenang."
Rama menatap Alda, masih tampak ragu. "apakah tidak masalah jika aku ikut? aku khawatir keberadaanku justru mengganggu suasana."
Alda menggeleng pelan. "tentu saja tidak. aku sudah meminta izin kepada kepala sekolah untuk membawa suamiku, dan beliau tidak keberatan" ujarnya, menekankan kata suamiku dengan nada menggoda.
Rama masih tampak ragu, melirik ke sekeliling, melihat beberapa guru dan staf sekolah yang juga baru tiba. beberapa dari mereka melirik ke arahnya dengan penasaran.
Alda tertawa kecil, lalu menambahkan, "tenang aja, Ram. acara seperti ini memang terbuka buat keluarga para guru. bahkan, suami atau istri mereka juga biasa ikut."
mendengar itu, Rama menghela napas, lalu mengangguk. "baiklah, kalau memang seperti itu."
Alda tersenyum puas, lalu menggandeng tangan suaminya, "ayo, kita masuk."
dengan sedikit rasa canggung, Rama akhirnya mengikuti Alda, melangkah masuk ke dalam sekolah dengan perasaan yang campur aduk, antara penasaran, gugup, dan... mungkin, sedikit bangga karena diperkenalkan sebagai suami seorang Alda.
saat Rama dan Alda melangkah ke dalam area sekolah, suasana pagi yang sudah ramai terasa semakin hidup. di teras depan kantor, para guru masih berbaris rapi, mendengarkan sambutan dari kepala sekolah. namun, begitu mereka berdua muncul, suasana berubah.
sejumlah guru perempuan yang awalnya fokus mendengar sambutan mulai saling berbisik. ada yang melirik ke arah Alda dengan ekspresi terkejut, ada pula yang langsung memperhatikan sosok pria di sampingnya.
"itu suaminya Alda?" salah satu guru muda berbisik pelan pada rekannya.
"wah, aku kira dia bakal bawa suami yang... ya, biasa saja. tapi ternyata... Masyaallah, tampan sekali!" ujar guru lain dengan nada terkagum-kagum.
"pantas Alda nggak banyak cerita soal suaminya. kalau begini, pasti dia malas pamer," tambah seorang guru senior dengan senyum menggoda.
sementara itu, beberapa guru laki-laki tampak mengamati dengan ekspresi yang sulit ditebak. ada yang sekadar mengangguk sopan, tapi ada juga yang diam-diam menghela napas, mungkin merasa kalah saing dengan ketampanan pria yang baru datang ini.
di sisi lain, para siswi yang berkumpul di sekitar lapangan juga langsung memperhatikan Rama. reaksi mereka jauh lebih ekspresif dibanding para guru.
"astaga, siapa itu? kok aku baru tahu ada guru seganteng ini?" bisik seorang siswi dengan mata berbinar.
"yakin dia seorang guru?, tapi kalu iya sih, sukur banyak-banyak" sahut temannya, berusaha menahan kegembiraan.
"ya ampun, kenapa bisa sekeren itu?"
beberapa dari mereka bahkan terang-terangan menunjuk ke arah Rama, berbisik-bisik sambil tersenyum malu-malu. beberapa siswi yang lebih berani diam-diam mengeluarkan ponsel, mencoba mengambil gambar pria yang sedang berdiri di samping Alda.
Rama, yang sadar akan perhatian berlebihan ini, mulai merasa canggung. ia melirik Alda, berharap mendapat sedikit kepastian, tetapi istrinya justru tersenyum kecil seolah sudah menduga reaksi ini.
saat itu juga, kepala sekolah menyadari kedatangan mereka. dengan senyum hangat, pria paruh baya itu melangkah maju.
"selamat pagi, Alda. dan ini pasti suamimu." suaranya terdengar ramah namun tetap berwibawa.
Alda segera membungkukkan badan sedikit sebagai tanda hormat. "selamat pagi, Pak. benar, ini suami saya, Rama."
kepala sekolah mengangguk, lalu menatap Rama dengan senyum yang tidak berkurang sedikit pun. "selamat datang di sekolah kami, Rama. senang sekali bisa bertemu denganmu."
Rama segera menjabat tangan kepala sekolah dengan sopan. "terima kasih, Pak. saya juga senang bisa berada di sini."
di sekitar mereka, bisik-bisik masih terus terdengar. beberapa guru perempuan tampak tersenyum kecil, seolah menilai sesuatu, sementara para siswi terlihat semakin antusias.
Kepala Sekolah tertawa kecil, tampaknya juga menyadari reaksi para murid dan guru yang hadir. "sepertinya kedatanganmu membawa kejutan tersendiri pagi ini."
Rama hanya bisa tersenyum tipis, sementara Alda menahan tawa melihat ekspresi sedikit canggung suaminya.
di tengah suasana yang dipenuhi bisik-bisik kagum, ada satu orang yang reaksinya berbeda dari yang lain. seorang pria berdiri di antara jajaran guru dengan ekspresi yang sama sekali tidak antusias. rahangnya sedikit mengeras, matanya menatap Rama dengan tajam, dan kedua tangannya terlipat di depan dada.
dia adalah Rendra, salah satu guru di sekolah ini. tidak seperti rekan-rekannya yang sibuk mengagumi suami Alda, Rendra justru terlihat tidak senang. sejak dulu, dia memiliki perasaan terhadap Alda, meski ia tak pernah benar-benar mengungkapkannya.
"Jadi ini suaminya?" gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Rendra mengamati Rama dari ujung kepala hingga kaki. pria itu memang tampan, berpakaian rapi, dan terlihat memiliki kepercayaan diri yang alami, meskipun saat ini tampak sedikit canggung. itu semakin membuat Rendra muak.
"apa hebatnya dia?" pikirnya dengan kesal.
tatapannya lalu beralih pada Alda, yang terlihat begitu nyaman di sisi suaminya. perasaan tidak terima semakin menyelimutinya. selama ini, Rendra selalu berusaha mendekati Alda dengan cara yang baik. ia sopan, perhatian, dan selalu ada ketika Alda membutuhkan bantuan di sekolah. namun, pada akhirnya, wanita itu tetap memilih pria lain, seseorang yang bahkan tidak pernah muncul di lingkungannya sebelumnya.
saat kepala sekolah menyambut Rama dengan hangat, Rendra hanya bisa menghela napas panjang.
"seharusnya aku yang berdiri di sana, di samping Alda," pikirnya.
namun, dia tak bisa melakukan apa pun. ia hanya bisa berdiri di tempatnya, menyaksikan bagaimana Alda memperkenalkan suaminya dengan bangga di hadapan semua orang. dan itu membuat rasa tidak sukanya terhadap Rama semakin dalam.
kepala sekolah menyampaikan sambutan singkat, menyambut seluruh guru serta para siswa yang akan berpartisipasi dalam acara hari guru tahun ini. Rama dan Alda berdiri di sisi ruangan, mendengarkan dengan seksama. mereka tak menyadari tatapan tajam Rendra yang masih mengamati mereka dengan perasaan tak suka.
setelah beberapa saat, kepala sekolah mengumumkan bahwa para siswa akan diberi waktu 30 menit untuk mempersiapkan dagangan mereka. sementara itu, para guru dipersilakan untuk kembali ke ruangan masing-masing sebelum acara dimulai sepenuhnya.
Alda menoleh ke arah suaminya. "Rama, ayo kita duduk di sofa tamu saja, sekalian aku mengenalkanmu ke guru-guru yang lain," ujarnya sambil menggandeng tangan suaminya dengan lembut.
Rama mengangguk tanpa banyak bicara dan mengikuti alda masuk ke dalam kantor guru. beberapa guru yang sudah lebih dulu berada di sana langsung menyambut mereka dengan antusias.
"wah, ini suami Alda, ya? akhirnya ketemu juga," ujar bu Ratih, dengan senyum ramah
"selamat datang, Rama. jadi selama ini kamu yang berhasil meluluhkan hati Alda,?" timpal pak Parman sambil bercanda.
Rama tersenyum kecil. "terima kasih, pak, bu. saya juga merasa beruntung," jawabnya sopan.
obrolan pun mengalir dengan santai. mereka menanyakan pekerjaan Rama, kesehariannya, serta bagaimana ia dan alda bisa saling mengenal hingga akhirnya menikah.
"jadi, Rama kerja di bidang apa?" tanya salah satu guru pria lain.
Rama tersenyum tipis, lalu menjawab dengan santai, "saya hanya karyawan pabrik biasa, Pak."
pak Parman yang duduk di seberang mereka, menautkan alis. "di pabrik mana, mas Rama?" tanyanya penasaran.
"di pabrik kopi yang ada di jalan ambarawa," jawab Rama singkat.
mendengar itu, pak arman langsung bereaksi. "oh, saya tahu pabrik itu. salah satu pabrik kopi terbesar di kota ini," katanya. ia menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap rama dengan penuh selidik. "tapi setahu saya, untuk jabatan karyawan biasa di sana, tidak ada sistem cuti dalam alasan apa pun, kecuali berkabung atau izin melahirkan. jadi, saya yakin, mas Rama ini pasti bukan hanya sekadar karyawan biasa."
Rama sempat terdiam sejenak, menyadari bahwa perkataannya tidak akan meyakinkan siapa pun. Alda pun melirik suaminya dengan ekspresi geli. "sepertinya tidak ada gunanya kamu menyembunyikan jabatanmu, Mas. pak Parman asli orang sini, jadi dia pasti tahu," ujarnya lembut.
pak Parman hanya tertawa kecil, mengangguk setuju. "selain itu, keponakan saya juga bekerja di sana, dia sebagai karyawan biasa, jadi saya paham sistem di pabrik itu," katanya.
Rama akhirnya menghela napas pelan, lalu mengakui, "maaf, Pak, saya tidak bermaksud berbohong. sebenarnya, saya diberi mandat untuk memegang posisi manajer utama di bagian produksi." akhirnya ia mengakui.
ruangan seketika dipenuhi suara gumaman kecil dari para guru yang ada di sana. beberapa dari mereka tampak terkejut, sementara yang lain tersenyum kagum.
"wah, luar biasa! jabatan itu pasti penuh tanggung jawab," sahut salah satu guru perempuan.
para guru mengangguk mengerti, beberapa bahkan tampak tertarik. "wah, pasti sibuk ya mengurus produksi kopi dalam jumlah besar," komentar salah satu guru.
"benar, tidak mudah mendapatkan posisi itu di usia muda," timpal yang lain.
Alda tersenyum kecil, menatap suaminya dengan bangga. sementara itu, di sudut ruangan, ekspresi Rendra mengeras. Rahangnya menggertak pelan, rasa tidak suka semakin jelas di wajahnya. namun, tak ada satu pun yang menyadari perubahan ekspresi itu.
obrolan ringan terus berlanjut hingga tiba-tiba kedatangan kurir makanan mengejutkan mereka semua.
"permisi, pesanan atas nama Alda sudah datang," ujar petugas kurir dengan sopan.
Alda mengerutkan kening, jelas-jelas ia tidak memesan apa pun. sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, dua orang teman kurir tersebut masuk membawa tumpukan kotak pizza ukuran besar. selain itu, mereka juga membawa dua nasi tumpeng yang tak kalah besar.
suasana mendadak hening. semua mata di ruangan saling berpandangan, bingung dengan kejadian ini.
Alda menatap makanan dalam jumlah besar itu dengan penuh tanda tanya. "maaf, tapi saya tidak merasa memesan—"
namun, sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, salah satu kurir tersenyum dan langsung memberi salam ke arah Rama.
"terima kasih atas pesanannya, Mas Rama. selamat menikmati, dan kami permisi dulu."
Rama yang sedari tadi hanya diam kini ikut tersenyum membalas salam kepergian sang kurir. sementara Alda menoleh dengan tatapan penuh kebingungan.